Keputusan Bian dan Tiara untuk pindah ke Rumah Warisan Kakek di Desa Raga Pati adalah sebuah kesalahan fatal. Rumah itu ternyata berdiri di atas tanah yang terikat oleh sebuah sumpah kuno: Kutukan Arwah Tumbal Desa.
Gangguan demi gangguan yang mengancam jiwa bahkan menjadikannya tumbal darah selanjutnya, membuat mental Bian dan Tiara mulai lelah dan ingin menyerah.
"Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Desakan Kembali
Tiga tahun adalah waktu yang cukup lama untuk membuat kenangan buruk terasa seperti mimpi demam yang samar. Bagi Bian dan Tiara, tiga tahun adalah batas waktu yang mereka tetapkan untuk diri mereka sendiri, sebuah mantra sunyi yang mereka gunakan untuk menyembuhkan luka dan melupakan bau belerang, tanah basah, dan tawa jahat Mbah Pawiro.
Mereka tinggal di sebuah apartemen sederhana di metropolitan yang jauh dari Desa Raga Pati. Bian, sebagai peneliti data senior, terbiasa menghadapi logika yang keras, sementara Tiara menemukan ketenangan dalam mengajar sejarah. Mereka jarang membahas Jaga, Gerbang, atau Ratih.
Namun, ilmu Pawang yang diresapkan Bian tidak hilang. Ia kini hidup dengan kepekaan yang konstan. Ia bisa merasakan energi di sekitarnya,kekuatan, duka, atau niat busuk. Biasanya, Tiara, sebagai Pengimbang, mampu menenangkan energi liar Bian hanya dengan sentuhan.
Kehidupan mereka adalah sebuah oasis yang dibangun di atas dasar rawa. Dan pada suatu malam yang lembap, oasis itu mulai retak.
Bian terbangun dengan napas tersengal-sengal. Ia tidak melihat sosok Arwah Sari yang pucat dan penuh dendam. Kali ini, mimpinya adalah visi yang dingin dan mencekam.
Dalam tidurnya, raganya seolah ditarik paksa ke jalan setapak desa yang sepi, diselimuti kabut tebal berwarna kelabu. Di sana, ia melihat seorang nona cantik, guru muda itu, terhuyung-huyung sendirian saat pulang kerja.
Tiba-tiba, dari balik bayangan pohon, muncul sosok hitam besar yang tidak memiliki bentuk jelas, tetapi kehadirannya memancarkan energi kelaparan yang sangat murni. Sosok itu bukan Mbah Pawiro, melainkan manifestasi dari Tongkat Liar yang Ratih gunakan.
Nona itu tidak bisa bergerak. Matanya membelalak ketakutan saat sosok hitam itu mendekat. Bian merasakan kehadiran yang sangat dekat, seolah ia berdiri tepat di sebelah Wina.
Sosok hitam besar itu menempel di tubuh wanita itu.
Dia mulai meronta, tetapi tanpa suara. Ia memutar kepalanya ke arah Bian, seolah jiwanya yang sedang ditarik paksa melihat kehadiran Bian sebagai saksi gaib. Di matanya, Bian melihat permohonan yang tak terucapkan, Tolong aku, siapapun kau!
Bian ingin menjerit, ingin menarik nona itu menjauh, tetapi ia lumpuh, hanya bisa menyaksikan. Sosok hitam itu menyerap sukma nona itu. Tubuhnya kaku, matanya melotot ke langit, dan di detik terakhir, Bian melihat darah yang mengering di sudut mulut nona itu.
Bian tersentak bangun. Seluruh tubuhnya berkeringat, dan bau belerang dan tanah basah memenuhi kamar mereka.
"Bian, ada apa? Wajahmu pucat sekali," Tiara segera memeluknya.
"Aku...aku melihatnya," bisik Bian, suaranya parau. "Aku melihat bagaimana dia meninggal. Bukan penyakit. Sukmanya ditarik paksa oleh sosok hitam. Mereka mencuri kebahagiaan murni darinya."
Peringatan keras datang seminggu kemudian, membenarkan mimpi buruk Bian. Bian menerima amplop cokelat tebal dari Desa Raga Pati.
Di dalamnya, terdapat surat kabar lokal yang sudah usang, dilipat rapi di halaman utama.
Judul halaman itu berbunyi "TRAGEDI DI JALAN DESA: Guru Muda Tewas Mendadak Saat Pulang, Tanda Aneh Ditemukan."
Bian membaca isinya: Nona Wina ditemukan ambruk dan meninggal secara misterius di jalan setapak desa. Laporan medis menyatakan kematian karena "syok fatal." Bian tahu kebenarannya.
Bian melihat foto buram yang menyertai artikel itu, permukaan jalan desa yang basah, dan di atasnya, terlihat jelas goresan halus yang membentuk simbol aneh.
"Ini bukan simbol Mata Tunggal," kata Bian, menunjuk ukiran itu. "Ini adalah Spiral. Ratih sedang menciptakan Gerbang kecil di sana."
"Ratih tidak lagi mencari Tumbal Acak, Tiara. Dia mencari Emosi Murni," kata Bian, mengingat kembali duka murni dalam mimpinya. "Wina adalah Tumbal Kebahagiaan Murni. Ratih mencuri kebahagiaannya untuk memberi makan Entitas Yang Tua, atau yang lebih buruk, untuk mencapai keabadiannya sendiri."
Tepat setelah menemukan surat kabar itu, telepon Bian berdering. Nomor tak dikenal dari Raga Pati.
"Halo?"
"Tuan Bian. Ini Dwi. Kepala Desa Raga Pati yang baru." Suara Dwi terdengar tegas, tetapi ada nada ketakutan yang tersembunyi.
Dwi tidak membuang waktu. "Kutukan itu kembali, Tuan Bian. Tetapi ia berbeda. Ini lebih cerdas. Nona Wina hanya awal. Kami menemukan ukiran spiral baru di mana-mana."
Dwi kemudian mengungkap bagian terburuk, "Jaga telah menghilang. Kami menemukan Tongkat Kayu-nya di tengah Gerbang, tetapi sudah dingin dan tidak bersinar. Tapi ada simbol di sana yang membuat saya panik."
"Simbol apa, Dwi?" tanya Bian, mencengkeram telepon.
"Di dasar Tongkat itu, terukir simbol Spiral penuh. Tepat di sebelahnya, ada ukiran samar dari wajah perempuan yang menangis... dan Tuan Bian, kami punya korban potensial berikutnya."
"Siapa?"
"Seorang pria lajang, Tuan Rendra. Seniman yang terkenal melankolis dan kesepian. Ia telah menghilang. Tetapi sebelum itu, ia menceritakan tentang Wanita Cantik yang Menangis yang mengunjunginya setiap malam."
Bian menutup mata. "Tumbal Kesedihan Murni. Ratih menggunakan Arwah Sari yang terdistorsi untuk menjebaknya."
"Kami membutuhkan Anda, Pawang Ilmu," kata Dwi. "Kami membutuhkan pengetahuan Anda. Datanglah sebelum Tumbal kedua selesai."
Bian menatap Tiara. Mereka telah berjanji untuk tidak pernah kembali. Tetapi janji itu kini terasa ringan dibandingkan dengan beban yang mereka pikul.
"Kita harus kembali, Tiara," kata Bian. "Ratih menggunakan sisa-sisa Sari untuk melakukan kejahatan yang lebih besar. Kita tidak hanya harus menghentikan Ratih, tetapi kita harus membebaskan Sari sepenuhnya, membebaskan jiwanya dari ikatan dendam dan kini, ikatan ritual."
Tiara mengangguk. Ia meraih Liontin Suci dari brankas. Liontin itu terasa hangat di tangannya.
"Liontin ini adalah kunci untuk memurnikan kutukan, Bian. Kita harus menggunakannya untuk menghancurkan ritual Ratih, bukan hanya memadamkan api."
Mereka tahu bahwa Ratih sengaja memancing mereka. Tetapi kali ini, mereka tidak kembali sebagai korban, melainkan sebagai Pawang Ilmu yang siap menghadapi ancaman baru. Mereka kembali untuk menyelesaikan janji yang ditinggalkan oleh Pranoto, Sari, dan Jaga.
sampai di bab ini, setiap baca gw cuma bisa,
"woh... wah... wah!"