Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 18.
“Nyi… Nyi…” Suara seorang lelaki terdengar dari halaman depan Joglo Kodasih. Suara yang sangat dikenal oleh Kodasih. Begitu jelas hingga ingatan Kodasih yang telah kembali langsung tahu siapa pemilik suara itu.
“Kang Sarwono…” gumam Kodasih lirih sambil bangkit berdiri. Sarwono adalah anak tertua Mbok Piyah.
“Nyi! Apa sing wis kelakon?!”
(Nyi! Apa yang sudah terjadi?!)
teriak Sarwono yang terus melangkah menuju pintu joglo. Di tangannya obor kecil menyala untuk penerang jalan.
Namun sebelum Sarwono mencapai ambang pintu, dari arah bawah terdengar suara banyak orang berlari mendekat, disertai teriakan panik.
“Pak! Jangan masuk! Pak Bayan bilang itu bahaya!” teriak seorang perempuan.
“Iya, Pak! Jangan mendekat!” sahut seorang pemuda.
Sarwono berhenti tepat di depan pintu joglo. Wajahnya bingung. “Tapi… aku dipesan Si Mbok... Kalau Nyi Kodasih ada apa apa, aku harus melihat.”
“Iya, Pak… tapi jangan masuk ke dalam. Kita lihat dari luar saja.” ucap seorang perempuan setengah baya,, istri Sarwono yang kini berdiri di belakangnya, menggenggam lengannya dengan cemas.
Sedangkan Kodasih berdiri terpaku di tengah ruang joglo yang remang. Suara makhluk itu masih bergaung di telinganya.. dingin... dalam.. dan menuntut.
“Dasih… wektu mu meh entek…”
(Dasih… waktumu hampir habis…)
Dada Kodasih sangat sesak. Nafasnya pendek pendek.
Di luar, suara Sarwono dan keluarganya bercampur dengan panggilan orang orang dusun Akar Wangi . Suara manusia… suara kehidupan… begitu berbeda dengan bisikan gelap yang mengekangnya di dalam.
Kodasih menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tubuhnya bergetar.. ada perang batin di dalam dirinya..
Sarwono… istrinya… anak nya .. orang orang yang tak tahu apa apa…
Mereka datang karena peduli. Karena sayang. Karena menganggap Kodasih bagian dari keluarganya sendiri.
“Apa aku tega…?” Pertanyaan di dalam hati kecil nya itu menghantamnya seperti palu godam.
Tetapi Makhluk itu ingin tubuh... Nyawa manusia..
Dan Sarwono yang kini berdiri hanya beberapa langkah dari pintu joglo… adalah pilihan yang sangat mudah.... Terlalu mudah.
Kodasih menggigit bibirnya sendiri hingga terasa asin darahnya.
Lalu ia ingat sesuatu.. wajah Mbok Piyah yang dulu sangat setia mengabdi dan menemaninya dalam suka duka. Perempuan tua yang menganggapnya seperti anak sendiri. Dan Sarwono… anak tertuanya yang mengizinkan Mbok Piyah dan Pak Karto ayahnya, mengabdi hingga di ujung usianya..
Wajah wajah itu muncul dalam ingatannya, satu per satu. Terlalu banyak kebaikan... Terlalu banyak kenangan...
“Ora… aku ora bakal gawe cilaka keluargamu, Mbok…”
(Tidak… aku tidak akan mencelakai keluargamu, Mbok…)
Kodasih menghapus air matanya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak di dada dan gemetar di jemari tangannya.
Di belakangnya, bayangan besar bergerak. Seperti asap hitam yang berputar, memanjang, menipis, lalu menebal lagi. Makhluk itu tahu jika Kodasih sedang ragu.
Suara itu kembali berbisik....
“Dasih… pilih… saiki… cepet!”
(Dasih… pilih… sekarang… cepat!)
Kodasih mengepalkan kedua tangannya.
“Tidak…” katanya lirih.
Dengan langkah berat, ia berjalan menuju pintu joglo. Setiap langkah seperti terseret beban yang tak kasat mata. Serangan angin dingin menahan punggungnya, seolah makhluk itu berusaha menariknya kembali.
Namun ia terus maju.
Ketika pintu terbuka, cahaya redup dari obor luar mengenai wajahnya yang masih basah air mata.
Sarwono terdiam melihatnya, ia yang belum melihat perubahan sosok Kodasih yang menjadi perbincangan warga dusun terlihat kaget..
“Nyi… Duh Gusti. Panjenengan piye?!”
(Nyi… Ya Tuhan. Bagaimana keadaanmu?!)
Kodasih memaksakan senyum. Wajahnya pucat, tetapi matanya memancarkan tekad yang baru.
“Aku… aku baik baik saja, Kang,” jawabnya pelan namun tegas.
“Ini hanya kesalahpahaman… aku tidak apa-apa.” lanjutnya
Istri Sarwono tampak lega, walau masih dibayangi cemas..
“Syukurlah, Nyi… kami pikir terjadi apa apa…”
Kodasih mengangguk, sambil kembali menata napasnya.
“Pulanglah . Sudah malam. Aku tidak ingin ada yang celaka karena aku.”
Sarwono hendak protes, tapi melihat mata Kodasih yang sedikit bergetar, ia mengurungkan niatnya. Ia hanya mengangguk pelan.
“Kalau begitu… kami pulang dulu, Nyi. Tapi besok pagi saya datang lagi.”
Kodasih tersenyum tipis.
“Sudah, Kang… terima kasih.”
Satu per satu mereka menjauh, langkah kaki terdengar mundur menuruni halaman. Obor yang mereka bawa perlahan meredup dari pandangan.
Dan ketika keluarga Sarwono benar benar hilang dari pandangan…
Gelap di belakang Kodasih bergerak.
Makhluk itu berdesis.. marah!
Namun Kodasih menutup pintu joglo perlahan, tanpa menoleh.
Dan malam itu.. Kodasih memilih untuk melawan.
Ia tahu, ia tidak bisa menunggu. Makhluk itu semakin kuat, dan jika ia tidak melakukan sesuatu sekarang, tubuhnya bisa diambil alih sebelum fajar.
Dengan tangan bergetar, Kodasih mengambil kendi hitam miliknya. Kendi itu tetap dingin seperti batu kubur, meski dipegang erat oleh tangan manusia.
Kodasih duduk bersila di tengah ruang depan joglo. Kedua matanya terpejam, ia merapalkan mantera mantera kuno..
Bayangannya bergetar.
Cahaya redup bulan masuk dari celah dinding, memantul pada kulit mudanya yang pucat.
Suara roh roh di sekelilingnya mulai semakin jelas.
“Dasih… ritual iki ora selamet… seng metu saka alas kuwi ora iso digembok maneh…”
(Dasih.. ritual ini tidak selamat.. yang keluar dari hutan itu tidak bisa dikunci lagi..)
Tapi Kodasih tidak peduli. Ia lebih takut kehilangan dirinya sendiri. Ia menarik napas dalam....
Beberapa menit kemudian, ia membukakan matanya.. masih dengan tubuh gemetar ia melangkah ke belakang... langkah kakinya begitu berat, seolah olah ada rantai yang mengikat di kedua kaki mudanya..
Lalu.. Kodasih menggambar lingkaran di lantai ruang depan dengan arang dari kayu di dapur. Selanjutnya lingkaran kedua dengan taburan garam dapur..
Lingkaran itu kemudian ia isi dengan bunga kenanga yang dipetik dari kebun belakang, bau yang selalu melekat pada tubuh Mbah Ranti.
Setelah itu, ia menggigit ujung jarinya.
Darahnya jatuh pada garis lingkaran, mewarnai bunga bunga dengan merah gelap.
Saat darah menyentuh lantai..
GHRREERRGKK!
Seluruh joglo bergetar.
Lampu lampu yang telah padam sebelumnya menyala sendiri, dengan api biru yang dingin.
Roh roh menjerit serempak.
“Dasih… mandeg! Iki ritual sing paling dilarang…!”
(Dasih .. berhenti! Ini ritual yang paling dilarang..!).
Kodasih hanya menutup mata.
Ia mulai melafalkan lagi mantra mantra kuno.. mulut nya komat kamit..
“Roh roh yang hilang… kembali lah … yang kusekap, pulang ke wadahmu…”
Tiba tiba, di tengah lingkaran, asap hitam muncul.. berputar, menggumpal, seperti kabut pekat yang tidak semestinya ada di alam manusia.
Asap itu berkumpul, menebal… lalu membentuk raga samar sosok perempuan tua… lalu berubah menjadi anak kecil… lalu menjadi lelaki… Lalu menjadi bayangan tanpa bentuk.
Semua itu terjadi dalam hitungan detik.
Roh roh yang ia serap berusaha keluar.
Tubuh Kodasih tersentak.
Ia menahan dada dengan kuat.
Suara roh itu menggema dari dalam dirinya:
“Ojo! KOWE WIS JANJI CAOS DHAHAR!”
(Jangan! Kau sudah berjanji memberi kami makanan!)
Suara suara itu sangat keras dan begitu menyakitkan kepala Kodasih.. Kodasih menjerit....
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣