Ia berjuang sendirian demi menebus kesalahan di masa lalu, hingga takdir mengantarkannya bertemu dengan lelaki yang mengangkatnya dari dunia malam.
Hingga ia disadarkan oleh realita bahwa laki laki yang ia cintai adalah suami dari sahabatnya sendiri.
Saat ia tahu kebenaran ia dilematis antara melepaskan atau justru bertahan atas nama cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Alma menutup mata sejenak, berusaha meredam gejolak dalam dada, Hatinya berisik
"Mas seandainya kamu tahu alasan dibalik sikap dinginku apa yang akan kamu lakukan?."Ratap Alma pilu.
"Al.. jawab kenapa kamu dingin sama Mas, Salah Mas apa?atau kamu mulai bosan dengan Mas?."Desak Harsya.
Tangannya terangkat seolah ingin menyentuh wajah Alma… tapi tidak jadi.
Ia menurunkan tangannya kembali, menahan diri.
Alma masih terdiam ia menunduk.
Keheningan itu menghantam Harsya lebih kuat dari apa pun.
“Kamu kenapa diam terus?” suaranya mulai meninggi.
“Kenapa? atau kamu mulai bosan sama aku? Ingin pergi dari aku?”
Alma memejamkan mata, dadanya naik turun berusaha menahan air mata. Tapi Harsya tak berhenti.
“Cukup.” suara Alma akhirnya pecah, pelan tapi getir.
“Aku hanya… sedang belajar berdamai dengan perasaan dan keadaan.
“Agar tidak berharap lebih pada lelaki yang begitu hangat pada keluarganya.”
Harsya tertegun, napasnya tertahan.
“Apa maksud kamu, Al?”
Alma akhirnya menatapnya — mata yang penuh luka.
“Aku lihat semuanya. Waktu Mas dan keluarga di mall.”
“Sejak hari itu… aku sadar aku harus menjaga jarak. Supaya hati aku tidak jatuh terlalu dalam. Karena Mas memang bukan milikku.”
Harsya kehilangan kata-kata.
Tubuhnya, serasa tidak bertulang lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
“Kamu ada di sana waktu itu?." Tanyanya suaranya lirih, nyaris tidak percaya.
"Iya aku ada disana."Sahut Alma pelan nyaris tidak terdengar.
“Mas minta maaf kamu harus lihat itu semua,” suaranya pelan.
“Tapi mereka bagian dari hidup Mas… dan Mas tidak bisa meninggalkan mereka.”
“Mas nggak salah… Mas nggak perlu minta maaf,” suaranya pecah, berusaha tetap tenang.
“Mungkin dengan aku melihat itu…seharusnya aku sadar kalau aku tidak seharusnya masuk dalam kehidupan Mas.”
Harsya langsung menggeleng, tangannya mempererat pelukan di punggung Alma.
“Bukan kamu yang masuk ke kehidupan Mas…” bisiknya nyaris tak terdengar.
“Mas yang membuka pintunya buat kamu. Jadi jangan salahkan diri kamu.”
Harsya bangkit berdiri dan mendekat. Perlahan, ia menarik Alma ke dalam pelukannya.
“Maafkan Mas…” bisiknya.
“Tapi dari awal kamu juga tahu… Mas bukan Laki laki single.”
Pelukan itu bukan kehangatan.
Itu kontradiksi antara rasa ingin memiliki, rasa bersalah, dan rasa takut kehilangan… semuanya jadi satu.
Alma tidak membalas pelukan itu. Tangannya tetap jatuh di sisi tubuh, seolah hatinya masih menimbang:
bertahan… atau pergi.
Alma menjawab di antara isaknya, suaranya nyaris patah,
“Ya… aku tahu, Mas. Semua salahku… yang tetap masuk meski sudah tahu.”
Harsya memejamkan mata, seolah kalimat itu menampar lebih keras daripada teriakan.
“Tidak ada yang salah dengan perasaan kita Al, salah cuma waktu." lanjut Harsya, suaranya serak, “
Ia memegang bahu Alma, tapi Alma refleks menepis pelan bukan marah, tapi terluka.
Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Ia mengusapnya dengan punggung tangannya.
Harsya menunduk, mendekat sedikit.
“Jangan menjauh kamu satu-satunya yang bikin Mas merasa hidup.”
Alma menggeleng pelan, air matanya kembali jatuh.
Keduanya saling menatap — bukan sebagai kekasih, bukan sebagai orang yang punya ikatan…
tapi sebagai dua manusia yang saling menyakiti tanpa sengaja, karena sama-sama ingin memiliki sesuatu yang sebenarnya nggak tidak mungkin.
Beberapa detik berlalu tanpa suara, hanya deru AC yang terdengar samar.
Akhirnya Alma melepaskan diri dari pelukannya, menatap Harsya dengan mata sembab tapi tegas — pertama kalinya sejak mereka dekat.
Harsya menatapnya dalam, seperti ingin membantah… tapi tidak menemukan kata yang tepat.
Yang keluar hanya helaan napas berat.
Harsya melepaskan pelukan perlahan,
“Jangan sedih lagi… jangan menghindar dari Mas,” ucapnya sambil mengusap pipi Alma dengan ibu jarinya.
“Mas pergi dulu, ada yang harus Mas kembali kekantor.”
Ia meraih kepala Alma, mengecupnya lembut.
“Jaga diri baik-baik ya, sayang… I love you.”
Alma menahan napas sesaat sebelum membalas, suaranya parau seperti baru saja keluar dari badai,
“I love you more… more and more.”
Harsya terdiam sepersekian detik—kalimat itu menghantam tepat di bagian yang paling rapuh dalam dirinya.
Tapi ia memilih tidak menambah apa-apa, hanya mengangguk pelan sebelum membalik badan dan menuruni tangga.
Alma mengikutinya sampai depan pintu ruko, berdiri di ambang sambil memandangi mobil Harsya menjauh.
Begitu l mobil Harsya menghilang di tikungan, ia menarik napas panjang.
Ia merapikan rambut, menghapus sisa basah di sudut mata dengan punggung tangan, lalu kembali bergabung dengan para pekerja seolah tidak terjadi apa-apa.
Namun, sorot matanya masih sedikit sembab.
Tetap ada luka, tapi berdampingan dengan rasa bangga dan kebahagiaan—karena dalam hitungan hari, butiknya akan berdiri.
Sambil mengecek posisi rak dan pernak-pernik dekor yang baru dipasang, ia mengetik
"Mbak Ren, untuk koleksi perdana kita… semua sudah siap?, Aku ingin pastikan timeline tetap jalan karena grand opening tinggal beberapa hari lagi.
Ibu jarinya sempat ragu sejenak… lalu akhirnya mengetik dan menekan “send” ke Rena.
Ia menatap layar, menunggu balasan
Setelah mengirim pesan, Alma baru saja hendak menaruh ponselnya ketika notifikasi masuk.
“Tenang Al, semua koleksi sudah 80%. Aku lembur 2 hari ini supaya kamu bisa grand opening tepat waktu."
Alma tersenyum kecil — senyum itu muncul tanpa ia paksa.
"Thank you, Ran. Proud of you.” Balasnya.
Ia memandang sekeliling ruko yang perlahan berubah menjadi ruang impiannya Rak mulai terpasang,dan manekin pertama berdiri di sudut ruangan seperti sedang menyambut sesuatu yang besar akan datang.
Tepat pukul lima para pekerja pamit pulang, Alma mengangguk dan mengucaokan terimakasih.
Sekali lagi ia memandangi ruko ada perasaan tang sulit ia ungkapkan, kemudia ia pun membereskan beberpa hal penting untuk kemudian melangkah pulang.
Alma pulang ke apartemen dengan hati yang menggelembung hangat—campuran bahagia, bangga, dan sedikit gugup karena mimpinya benar-benar sebentar lagi jadi kenyataan. Begitu pintu dibuka, suara kecil yang sangat ia kenal langsung menyambutnya.
Putrinya sedang duduk bermain balok bersama Mbak Sri, tapi begitu melihat Alma, gadis kecil itu langsung berdiri dan berlari kecil sambil tertawa.
“Ibuuuu!.”
Alma merentangkan tangan dengan refleks, membungkuk dan membopong putri kecilnya yang kini memeluk lehernya erat-erat.
“Kangen ibu ndak nduk?” tanyanya pelan, menciumi pipi tembam yang wangi bedak bayi.
Si kecil tidak menjawab, hanya mengangguk sambil memainkan liontin kalung Alma—kebiasaannya setiap kali Alma mengendongnya.
“Sudah makan dia Mbak?” tanya Alma tanpa melepas pelukan.
“Sudah Bu, baru saja selesai,” jawab Mbak Sri.
Alma mengangguk pelan, lalu memandang wajah anaknya—pipinya masih memerah karena habis makan.
“Sama Mbak dulu ya, ibu mandi dulu.” Ujarnya sambil menurunkan anaknya pelan ke lantai.
Si kecil mengerucutkan bibir protes kecil, tapi akhirnya mengangguk sambil kembali menuju mainan. Alma tersenyum melihatnya sebelum masuk ke kamar untuk mengganti pakaian dan mandi.
•Air shower mengalir membasahi tubuhnya, tapi yang memenuhi pikirannya hanya satu hal butik itu… mimpinya semuanya terasa nyata sekali.
Ia bahkan tanpa sadar tersenyum sendiri.
.