Bagaimana rasanya menjadi istri yang selalu kalah oleh masa lalu suami sendiri?
Raisha tak pernah menyangka, perempuan yang dulu diceritakan Rezky sebagai "teman lama”itu ternyata cinta pertamanya.
Awalnya, ia mencoba percaya. Tapi rasa percaya itu mulai rapuh saat Rezky mulai sering diam setiap kali nama Nadia disebut.
Lalu tatapan itu—hangat tapi salah arah—muncul lagi di antara mereka. Parahnya, ibu mertua malah mendukung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Barra Ayazzio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. Mukena Endorse
"Saudara Rezky Raditya bin Ahmad Bashir, saya nikahkan dan saya kawinkan Anda dengan putri saya yang bernama Raisha Anindya Hartanto binti Muhammad Hartanto dengan mas kawin berupa perhiasan mas 100 gram, dibayar tunai." Suara Pak Hartanto terdengar lantang.
"Saya terima nikah dan kawinnya Raisha Anindya Hartanto binti Muhammad Hartanto dengan maskawin tersebut, dibayar tunai." Rezky Raditya menjawab tak kalah lantang.
"Sah, para saksi?" Pak Hamid sebagai penghulu bertanya kepada saksi.
"Sah, sah." Jawab saksi serentak.
Raisha menatap layar ponselnya yang mengabadikan pernikahannya 2 tahun yang lalu. Dia menyeka air matanya. Saat itu, dia sangat bahagia karena dipinang oleh lelaki pujaan hatinya, yang sebenarnya teman masa SMAnya. Namun sejak kuliah, mereka lost contact, bertemu kembali saat reuni akbar yang diadakan sekolahnya.
"Icha, malah bengong di situ, cepat angkat jemuran, hujan akan segera turun!' Bu Aina_mertuanya berkata sambil menatap tak suka pada Raisha.
"Iya Bu." Raisha menjawab sambil berdiri, dia masukan gawainya ke saku."
"Setelah angkat jemurannya, langsung setrika. Jangan ditumpuk."
"Iya Bu." Raisha menjawab dengan malas.
Semenjak ayah mertuanya meninggal setahun yang lalu, Raisha dan suaminya tinggal serumah dengan ibu mertuanya. Sejak itu, kehidupan pernikahan yang awalnya terasa manis bagi Raisha, kini terasa sangat menyiksa. Bu Aina terkenal dengan mulutnya yang pedas, semua hal yang dilakukan Raisha dikomentarinya.
"Pakeeeeeettt."
"Cha, jangan ngabisin uang suamimu terus lah, tiap hari ada aja paket yang datang. Seorang istri itu harus bisa menyimpan uang suami, jangan malah menghambur-hamburkannya. Lihat nih ibu, waktu muda itu hemat, makanya bisa punya rumah sebagus ini. Ini tiap hari, ada aja paket yang datang."
"Itu endorse Bu, jadi gratis."
"Alaaaah, alasan aja. Mana ada toko yang tiap hari kirim paket gratis."
"Kan itu beda-beda yang ngasihnya, Bu. Bukan dari 1 toko aja." Raisha masih menjawab.
"Sudah, gak usah menjelaskan segala macam, ambil tuh paketnya."
Raisha keluar rumah menemui kurir yang sudah agak lama berdiri.
"Dengan Mbak Raisha ya?" Kurir bertanya ramah.
"Iya betul Pak."
"Ini lumayan banyak paketnya, Mbak."
"O iya, lagi banyak yang endorse, Pak."
"Wah, mbaknya selebgram ya? Pantesan kayak familiar wajahnya. Akunnya apa Mbak? Nanti saya follow."
"Duh terimakasih ya." Raisha tersenyum sambil menyebutkan akun media sosialnya.
"Ichaaaaa, malah ngobrol sama laki-laki yang bukan muhrim, ingat kamu itu sudah bersuami, jaga harga dan martabat suamimu. Jangan berramah tamah kayak gitu."
"Lah Bu, Icha kan tidak ngapa-ngapain. Cuma menjawab pertanyaan kurir itu tidak akan menjatuhkan martabat suami."
"Jawab aja." Bu Aina mendelik tak suka.
"Kamu, juga sebagai kurir tidak usah ngajak ngobrol kayak gitu, bekerjalah yang baik." Bu Aina berpaling pada kurir yang baru saja menyerahkan paket kepada Raisha.
"Ya Bu, mbaknya kan selebgram, jadi wajar kalau saya beramah tamah. Siapa tahu diajak ngonten, ya kan Mbak?" Kurir melirik Raisha sambil tertawa kecil. Raisha tak menanggapinya, dia hanya tersenyum simpul.
"Sudah sana, gak usah jawab." Bu Aina murka saat kurir itu menjawab.
"Makasih ya Mbak." Kurir tersebut menatap Raisha yang masih mematung.
"Iya sama-sama, Pak." Raisha menjawab ramah.
Raisha masuk rumah, hatinya masih kesal. Ini bukan kali pertama dia diteriaki di depan orang, bahkan pernah di depan teman suaminya yang saat itu main ke rumah mertuanya. Berkali-kali dia mengadu pada suaminya, namun jawaban yang di dapatnya hanya ucapan "sabarlah Cha, ibu emang gitu."
Tapi sampai kapan dia harus bersabar? Semua yang dilakukannya selalu salah di mata ibu mertuanya.
"Cha, kamu jangan bohong lah, masa paket sebanyak itu, kamu bilang dikasih orang?"
"Iya Bu, ini dari beberapa toko."
"Kok ibu gak percaya ya, sepertinya itu hanya alasan kamu aja."
"Ya gak apa-apa kalau ibu gak percaya." Raisha menjawab sambil melangkahkan kaki ke kamarnya.
"Jangan dulu ke kamar, gak sopan kamu diajak bicara malah mau ngeloyor pergi. Buka paketnya, pengen tahu ibu apa isinya!"
"Tapi Bu."
"Jangan tapi-tapi, cepat buka!"
Raisha membuka paketnya dengan malas.
"Wah, itu mukena yang lagi hits ya? Siniin buat ibu."
"Gak bisa Bu, Icha kan harus pakai foto dulu. Lagian Icha udah janji sama mama, untuk memberikan mukena ini padanya."
"Eeehh, kamu ini ya, kamu tinggal di rumah siapa? Kok mendahulukan mama kamu? Saya dong yang setiap hari ngasih makan kamu dan membuat hidup kamu nyaman, karena tinggal di rumah ini."
"Rumah kontrakan Icha dan Mas Rezky juga nyaman Bu. Malah lebih nyaman dibandingkan di sini." Raisha sudah hilang kesabarannya.
"Rumah kontrakan kan harus bayar mahal. Ini gratis tis tis." Mulut Bu Aina terlihat manyun.
"Gratis sih iya, tapi tetep kan semua keperluan di rumah ini Mas Rezky yang bayar?"
"Alaaaah bayar segitu aja perhitungan, lagian Rezky itu anakku, anak bungsu yang paling kusayangi. Sudah jangan banyak ngomong, siniin mukenanya"
"Ya gak bisa sekarang lah Bu, kan Icha belum foto pakai mukena itu."
"Pakai aja mukena lain, tuh banyak di lemari."
"Ya gak bisa gitu lah Bu, kan Icha diendorsenya dengan mukena ini."
"Mana aku peduli." Bu Aina menjawab sambil merampas mukena yang masih dipegang Raisha."
"Bu, pliiissss, jangan gitu. Setelah difoto nanti Icha kasihkan."
"Gak mau, nanti teman-teman ibu tahu kalau mukenanya hasil endorse."
"Tapi kan emang iya, Bu."
"Aku gak peduli." Bu Aina melenggang masuk kamar dengan santai.
Sementara itu Raisha menahan amarahnya dengan sangat, dia membereskan beberapa paketnya yang belum sempat dibuka.
"Ya Allah, bukankah posisi ibu mertua itu sama dengan ibu kandung yang harus aku hormati? Tapi kalau ibu mertua seperti ini, bagaimana aku dapat menghormatinya?. Sabar Icha, ini ujian rumah tangga yang harus kamu hadapi." Raisha berkata dalam hati sambil mengelus-elus dadanya.
Dia melangkahkan kakinya gontai menuju kamarnya. Dia berpikir bagaimana caranya meminjam mukena tersebut untuk dipakai foto, karena jadwal upload fotonya besok, tidak akan sempat kalau harus membeli dulu.
"Jangan lama-lama di kamar, itu jemuran yang baru diangkat kan belum disetrika." Terdengar Bu Aina berteriak sambil menggedor pintu.
"Bu, bisa gak jangan sambil teriak ngomongnya, Icha juga denger kok."
"Kamu kan kalau gak diteriaki mana sat set."
"Kalau gak sat set, biasanya karena Icha lagi edit video Bu."
"Edat edit edat edit, kalau menghasilkan uang mending, ini masih ngerepotin suami kamu aja."
"Ya namanya juga suami Bu, kan kewajibannya memang menafkahi.,"
"Sudah, jawab aja, bikin kesel. Ni, mukenanya cuci dan setrika dulu, besok mau dipakai shalat berjamaah di mesjid." Bu Aina melemparkan mukena ke arah Raisha. Raisha menangkapnya dengan sigap.
"Alhamdulillah, bisa ni dipakai dulu foto." Bisiknya sambil tersenyum simpul.
"Ibu mau ngafe dulu sama teman-teman, pas pulang nanti semua harus sudah beres, termasuk untuk makan malam." Bu Aina berkata sambil mengenakan high heels-nya.