Storm adalah gadis bar-bar dengan kemampuan aneh—selalu gagal dalam ujian, tapi mampu menguasai apa pun hanya dengan sekali melihat.
Ketika meninggal pada tahun 2025, takdir membawanya hidup kembali di tubuh seorang narapidana pada tahun 1980. Tanpa sengaja, ia menyembuhkan kaki seorang jenderal kejam, Lucien Fang, yang kemudian menjadikannya dokter pribadi.
Storm yang tak pernah bisa dikendalikan kini berhadapan dengan pria yang mampu menaklukkannya hanya dengan satu tatapan.
Satu jiwa yang kembali dari kematian. Satu jenderal yang tak mengenal ampun. Ketika kekuatan dan cinta saling beradu, siapa yang akan menaklukkan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Suasana kediaman keluarga Shu mendadak ricuh. Para prajurit bawahan Jenderal Lucien Fang berhamburan di halaman, meneriakkan aba-aba sambil mengejar para penyusup berpakaian hitam yang berlari di kegelapan malam.
Terdengar suara tembakan yang menggema memecah kesunyian.
Dor! Dor!
Beberapa penyusup berusaha melawan, sementara yang lain mencoba kabur ke arah taman belakang. Di tengah kekacauan itu, Storm muncul dengan pisau daging di tangannya, wajahnya dingin dan tajam menatap ke arah para penyerang.
“Berani sekali kalian masuk ke kediaman keluarga Shu tanpa izin,” ucap Storm dengan nada tenang namun mematikan.
Salah satu penyusup berusaha melarikan diri dari kejaran gadis itu. Storm melempar pisau daging yang ia genggam. Pisau itu melesat tajam di udara dan—
Ctak!
Menancap tepat di bokong pria berpakaian hitam itu.
“Aaahhh!” jerit penyusup itu, terjatuh sembari memegangi pantatnya yang berdarah.
Storm mendekat dengan langkah mantap.
“Siapa kalian? Berani sekali datang ke wilayah kami tanpa diundang?” tanyanya tajam.
Namun sebelum pria itu sempat menjawab, dari kejauhan terlihat seorang penyusup lain membidikkan busur ke arah Storm.
Waktu seolah melambat.
Storm baru saja menoleh ketika—
Dor!
Peluru menembus kepala pemanah itu sebelum sempat melepaskan anak panah. Tubuhnya langsung terkapar di tanah.
Lucien Fang berdiri di balik cahaya lampu minyak, pistolnya masih mengepulkan asap, tatapannya tajam menusuk kegelapan.
“Wah… tembakan yang luar biasa,” puji Storm kagum, menatap tubuh penyusup yang tewas di tempat. Nada suaranya terdengar ringan, namun matanya tetap waspada menyisir sekitar.
Namun belum sempat ia melangkah lebih jauh, Lucien tiba-tiba menangkap suara langkah ringan di belakangnya.
Refleks seorang jenderal yang telah melewati puluhan pertempuran membuat tubuhnya menegang.
Dalam sekejap, ia menoleh.
Di belakangnya, seorang penyusup berpakaian hitam sudah membidik busur ke arahnya.
“Mati sana!” teriak si pemanah.
Busur dilepaskan — namun di saat yang sama, Lucien juga menarik pelatuk pistolnya.
Dor!
Peluru melesat cepat, beradu di udara dengan anak panah itu.
Clang! suara logam bertemu logam terdengar tajam sebelum anak panah itu hancur di tengah udara. Peluru Lucien tak berhenti — menembus dada penyusup itu tepat di jantung.
Tubuh si pemanah terhuyung, matanya membelalak sebelum akhirnya jatuh tersungkur ke tanah.
Storm yang menyaksikan adegan itu hanya bisa terdiam sesaat, lalu tersenyum kecil.
“Refleks secepat itu… sepertinya tak ada yang berani menantang Jenderal Lucien Fang,” ujarnya kagum.
Lucien menurunkan pistolnya perlahan, tatapannya tetap tajam.
“Dalam pertempuran, terlambat satu detik saja bisa berakhir dengan kematian,” katanya datar, suaranya dalam dan berwibawa.
"Pantas dijuluki Jenderal hebat," batin Storm.
Beberapa saat kemudian, para prajurit berhasil menahan penyusup yang masih hidup di halaman depan kediaman Shu. Tubuhnya tersungkur, darah mengalir dari luka di kakinya. Di sekeliling, pelayan dan keluarga Shu berdiri terpaku di dekat pintu, wajah mereka penuh kecemasan.
Di sisi lain, Lucien berdiri tegap. Storm berdiri di sampingnya, matanya tajam menatap pria yang terkapar. Salah seorang prajurit menahan tangan kiri penyusup itu agar tak melawan. Storm menekankan kakinya ke tangan pelaku
“Katakan ... siapa yang menyuruh kalian datang ke rumah kami?” tanya Storm dingin.
Pria itu meraung menahan sakit. “A-ahh! Maaf… kami hanya ... berniat merampok…” jawabnya terputus-putus, wajahnya menegang karena kesakitan.
Max maju selangkah, menatap tajam. “Siapa bos kalian? Di mana dia sekarang?”
Penyusup itu menelan ludah, suaranya serak. “Bos kami… dia bersembunyi di hutan, di sebelah barat sungai. Kami butuh dana… dan bahan makanan.”
Percakapan itu membuat suasana mendadak tegang. Lucien melangkah maju, tatapannya menusuk. “Tunjukkan lokasi persembunyian bos kalian sekarang juga. Kalau kalian tidak bekerja sama, kami tidak ragu menjatuhkan hukuman mati ... dan keluarga kalian akan terlibat.” ancamnya dingin, kata-katanya seperti baja.
Penyusup itu menggigil, matanya melebar. “Baik! Baik! Kami akan tunjukkan. Tolong… tolong jangan bunuh kami!” ia memohon, suaranya dipenuhi ketakutan.
Lucien memerintahkan para prajurit: “Pergi temukan dalang utamanya, malam ini juga!"
"Siap, Jenderal!" jawab mereka serentak.
"Begitu banyak kediaman mewah, kenapa kita yang menjadi sasarannya?" tanya Storm yang penasaran.
"Kakak, jangan ikut campur lagi, kau tidak akan mengerti. Jenderal lebih hebat darimu," sindir Mimi.
"Saat ada penyusup kau ketakutan, seperti kucing betina di musim kawin. Sekarang malah banyak bicara," balas Storm.
"Ah Zhu, jaga ucapanmu!" kata Ah Ming.
"Tuan Shu, kami pergi dulu, terima kasih makan malamnya," ucap Lucien dan kemudian beranjak dari sana.
Keesokan harinya
Storm duduk di kursi kamarnya, di atas meja dikelilingi kertas kaligrafi dan beberapa kuas yang tertata rapi. Cahaya pagi menyelinap melalui tirai, menerangi debu yang berterbangan.
“Kaligrafi adalah tulisan pemilik tubuh ini,” gumam Storm pelan sambil menatap goresan tinta yang sempurna. “Meski aku punya ingatan, aku tidak pernah berhasil menulis dengan rapi. Tidak mungkin di sini aku tidak belajar sama sekali.”
Ia menarik napas, menatap pena bulunya yang tertumpuk tinta. “Kalau aku ingin kembali bekerja di rumah sakit, aku harus bisa menulis. Di zaman ini, tanpa Nic, aku harus mampu melakukan semuanya sendiri.”
Pintu kamarnya terbuka perlahan. Mimi melangkah masuk dengan wajah waspada, mengamati gerak-gerik kakaknya dari balik ambang pintu. Ia berdiri sejenak, menahan diri untuk tidak langsung bertanya.
“Kenapa Ah Zhu berubah begitu drastis?” pikir Mimi dalam hati sambil memandang Storm yang tenang. “Ah Zhu yang kukenal selalu lembut, selalu tersenyum. Dulu dia begitu sabar ... terutama pada Jenderal Fang, dia selalu berusaha mengambil hatinya. Tapi sekarang, dia terang-terangan menolak menikah. Jelas dia bukan bukan sifatnya."
Mata Mimi menyipit, bibirnya menegang. Getar cemburu dan rasa curiga membakar dadanya.
“Siapa pun dirimu yang sekarang, aku akan membuatmu diusir dari keluarga ini. Tunggu saja malam ini,” batin Mimi penuh tekad, lalu ia menutup pintu pelan-pelan meninggalkan Storm dengan pikirannya sendiri.