NovelToon NovelToon
Amorfati

Amorfati

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / Keluarga / Trauma masa lalu / Tamat
Popularitas:368
Nilai: 5
Nama Author: Kim Varesta

Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa

Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam

Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya

Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

5. Rahasia Yang Terbangun

🦋

Pagi itu, seharusnya Tuan Wardana yang mewakili keluarga dalam pertemuan dengan CEO AS Grup. Namun, kesehatannya yang tiba-tiba menurun membuat Shara, putri sulung keluarga Wardana, harus turun tangan.

Ia telah rapi dalam setelan formal warna gading, hendak melangkah keluar rumah, ketika satu nama melintas di benaknya.

Tok. Tok. Tok.

"Gavriel, ikut ibu, ya?" panggil Shara dari balik pintu kamar putranya.

Tak ada jawaban.

Naluri keibuannya segera aktif. Tanpa ragu, ia membuka pintu kamar dan mendapati ruangan itu kosong. Seketika, cemas menggerayangi dadanya.

"GAVRIEL!" teriaknya panik. Jangan-jangan... Keluarga Majesty? Atharel? Atau... Emerson?

Suara langkah ringan terdengar.

"Ada apa, Bu?" tanya Gavriel tenang, muncul dari balik pintu dengan handuk kecil di lehernya, peluh masih menetes.

"Ya Tuhan... " Shara nyaris roboh karena lega, lalu menjewer telinga putranya. "Kau hampir membuat ibu jantungan!"

"Aduh... sakit! Memangnya kenapa sih?"

Shara tak menjawab langsung, hanya memandangi putranya yang tinggi dan kini mulai tumbuh mirip ayahnya. "hari ini kau ikut ibu. Ibu akan bertemu dengan CEO AS Grup."

"Kenapa aku?"

"Karena Mas Radit menolak memimpin perusahaan, dan harapan kami... cuma kamu."

"Tapi kan masih ada Latif..."

"Tidak!" bentak Shara. Matanya berkaca-kaca.

"Perusahaan ini milik Wardana, bukan Rion. Bukan keturunan lain. Kau yang akan meneruskannya. " tegas, namun rapuh dalam nada.

Gavriel menatap ibunya lama, lalu mengangguk pelan. "Baiklah."

Shara tersenyum samar dan keluar dengan langkah cepat, tak ingin air matanya jatuh di hadapan anaknya.

Gavriel menghela napas. Ia masuk ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya, dan kembali dalam balutan kemeja putih, jas navy, serta dasi yang senada. Tangannya terhenti sejenak di cermin... saat ingatannya ditarik ke masa lalu.

Lima Tahun Lalu

"Sayang, pasangkan dasi ini untukku," ucap Gavriel, berdiri di depan Valora—istrinya, yang tengah mengganti vas bunga.

"Aku... tidak bisa," jawab Valora, jujur namun malu.

"Lalu siapa yang memakaikan dasi saat sekolah?"

"Jevano..."

Seketika mata Gavriel menggelap, tapi ia menahan diri. Ia menarik tangan Valora dan meletakkannya di dasinya.

"Aku ajarkan. Lihat... begini caranya."

Gerakan tangannya lembut namun tegas, hingga akhirnya Valora berhasil mengikat dasi dengan benar. Ia tersenyum polos, dan Gavriel menciumnya di kening dan pipi chubby-nya.

"Mulai sekarang, setiap hari kau yang pasangkan dasiku."

Valora hanya terdiam. Itu bulan keempat pernikahan mereka—baru beberapa minggu mereka satu kamar. Sebelumnya Gavriel sering menyelinap diam-diam ke kamar Valora di malam hari, hanya untuk tidur di sampingnya dan kembali sebelum subuh. Valora belum bisa menerimanya sepenuh hati saat itu.

Kembali ke Masa Kini

Gavriel tersenyum samar, namun cepat menghapusnya. Kenangan itu seperti duri manis yang menusuk, tak bisa ditarik keluar.

***

Mobil keluarga Wardana melaju tenang. Shara fokus membaca berkas, sementara Gavriel memandangi jalanan kota lewat jendela. Sesampainya di Gedung AS Grup, keduanya disambut panorama arsitektur modern: dinding kaca, struktur ramping, dan rooftop luas yang menyilaukan.

Gavriel mendadak terdiam. Kepalanya berdenyut.

(Tempat ini...)

Gedung itu telah berubah, tapi ada sesuatu di sana yang memanggil memorinya.

"Ada apa, Nak?" tanya Shara pelan.

"Tidak, hanya sedikit pusing," jawabnya cepat.

"Baiklah. Ayo, CEOnya menunggu kita."

Sementara itu, di lantai atas, seorang wanita muda dengan rambut lurus rapi dan tato mawar di pergelangan tangannya sedang menanyakan laporan dari sekretarisnya.

"Kliennya sudah datang?" tanyanya datar.

"Sudah, Nona. Putri tertua keluarga Wardana dan putranya."

Wanita itu tersenyum kecil. "Kita sambut mereka."

Di rooftop, Shara dan Gavriel sudah menunggu. Pemandangan kota membentang indah, bunga tulip menghias vertikal garden. Angin membawa aroma mawar samar yang asing.

Langkah berhak tinggi mendekat.

"Maaf saya terlambat."

"Tidak apa, kami juga baru sampai," jawab Shara ramah.

Gavriel menoleh—dan matanya membelalak.

Wanita itu...

Matanya. Bibirnya. Tahi lalat kecil di samping bibir...

"Lora?!" pekiknya tak percaya.

CEO muda itu kaku di tempat.

"Siapa yang kau sebut? Lora?"

"Maaf," sahut Shara buru-buru. "Putraku sedang tidak sehat, kadang suka berhalusinasi..."

Gavriel terpaksa duduk, namun matanya tak bisa berhenti menatap wajah wanita itu.

"Perkenalkan, saya Shara Patrania Wardana," ucap Shara menjabat tangan CEO muda.

"Auliandra Calderon," jawabnya singkat, tak melepaskan tatapan pada Gavriel.

Dan saat namanya disebut, seluruh dunia Gavriel runtuh.

Suaranya, sikapnya, bahkan cara ia membuang pinggiran roti tawarnya—semuanya adalah Valora... tapi bukan.

Pertemuan bisnis berjalan lancar. Auliandra menerima kerja sama, dan bahkan menerima gelang berlian opal dari Shara. Tapi Gavriel tak pernah benar-benar kembali ke realita. Wajah itu terus membayanginya.

"Dia sama... tapi bukan." bisik hati Gavriel.

Sementara itu...

Di kamar utama rumah Wardana, seorang pria tua terbaring lemah. Tak ada satu pun pelayan yang masuk, dan rumah seolah hening tak bernyawa.

Tiba-tiba, suara lembut menyapa dari kursi kebesaran di ujung kamar.

"Kakek... sedang sakit?"

Tuan Wardana membuka mata. Ia membeku.

Wanita itu...

"Ka-kau..."

Valora tersenyum manis. "Aku sudah buatkan teh untuk Kakek."

Ia duduk di sisi ranjang, membopong tubuh lemah itu dan menyodorkan cangkir hangat.

"Dari dulu, aku yang selalu membuatkan teh untukmu, tapi... kau selalu bilang itu Latif atau Gavriel. Kenapa, Kek?"

Air mata menetes di sudut mata Tuan Wardana. Ia ingin bicara, tapi tak bisa.

Valora mendekat, menempelkan telinga ke dadanya.

"Tenang... Kakek sudah terlalu lama hidup di dunia ini. Waktunya istirahat."

Tangan mungil itu menyelipkan pecahan beling—dan menusukkannya perlahan ke perut sang kakek.

"Rasakan... seperti Zayn merasakannya saat sakaratul maut."

Darah mengalir membasahi ranjang.

"Ini... akhir yang adil, bukan?"

Valora mengambil bunga Daffodil dan menancapkannya ke luka berdarah.

"Sampaikan pada malaikat maut... Valora yang mengirimmu."

Tuan Wardana terdiam. Dunia menjadi gelap.

Dan di dunia nyata, Cakra masuk ke kamar ayahnya... terlalu terlambat.

Apakah ini akhir sang raja Wardana? Atau baru awal dari kehancuran keluarga yang selama ini merasa tak tersentuh?

🦋

Setelah satu jam di ambang maut, akhirnya Kakek Wardana perlahan membuka matanya. Cahaya putih rumah sakit memantul di bola matanya yang keruh. Namun tak ada sepatah pun cerita tentang apa yang ia alami saat tak sadarkan diri. Menurutnya, itu hanya mimpi… dan mimpi, katanya, adalah bunga tidur—tak perlu dihiraukan.

"Syukurlah, kondisi Kakek sudah stabil. Ini resep obatnya," ujar sang dokter, menyerahkan beberapa lembaran pada Cakra.

Dan sebelum pergi, sang dokter menambahkan peringatan pelan namun tegas,

"Satu lagi, jangan pernah beri teh mawar lagi. Kakek alergi kelopak mawar."

"Terima kasih, Dok."

"Saya permisi."

"Mari, biar saya antar."

Cakra mengantar dokter dan suster hingga ke halaman rumah. Langit Magelang sore itu mendung, seolah tahu bahwa badai sesungguhnya belum benar-benar berlalu.

Di dalam kamar…

"Latif, di mana bibikmu?" tanya Kakek Wardana dengan suara lemah, tangannya gemetar mencoba menyesuaikan posisi tidur.

"Bibik masih di perusahaan AS Grup, Kek. Katanya belum selesai bahas kerja sama," jawab Latif sambil membenarkan selimut sang kakek.

Kakek mengangguk kecil.

"Kalau begitu… kamu ambilkan bubur, Kakek lapar."

"Siap Kek."

Latif pergi ke dapur. Untuk kesekian kalinya, Kakek Wardana sendirian di kamar. Ia menarik napas dalam, merasa bersyukur masih diberi hidup... terutama karena mimpi mengerikan tentang Valora tadi—mimpi di mana gadis itu hendak membunuhnya. Ia tersenyum kecil. Hanya mimpi, katanya dalam hati.

Tapi senyum itu menghilang saat ia menyadari sesuatu… tangan kanannya menggenggam erat setangkai bunga.

Daffodil.

Bunga yang ada di dalam mimpinya. Dan dari kursi kebesarannya, terdengar suara halus namun dingin.

"Kenapa Kakek selalu mengabaikanku?" Valora duduk di sana, bibirnya mengerucut.

"Kalian selalu jahat padaku…" gumamnya, lembut namun penuh luka.

Kakek Wardana membelalak… lalu kembali jatuh tak sadarkan diri.

***

Singapura

Sementara itu, di seberang lautan, keluarga Majesty hidup damai dalam keheningan kota Singapura. Mereka memulai lembaran baru dari beberapa tahun yang lalu—tanpa jejak keluarga Wardana.

Maura kembali tersenyum. Tawa cucunya memenuhi ruang-ruang sunyi. Hidup kembali terasa layak untuk dijalani.

"Lupakan mereka, Pih… Mereka hampir menghancurkan kita," ucap Maura memeluk suaminya, Rion.

"Selagi itu membuatmu bahagia… akan kulakukan," jawab Rion, memeluk balik.

Maura tersenyum. "Hari ini… ada tamu spesial. Mami sudah siapkan bajunya untuk Papi."

"Dia… sudah kembali?" mata Rion bersinar haru.

"Iya, malam ini."

Maura memberi perintah pada seluruh keluarga untuk bersiap menyambut kedatangan orang yang selama ini mereka rindukan. Viora, putri kedua Maura, segera menghubungi Jevano dari keluarga Atharel.

Malam pun datang.

Keluarga Majesty, Emerson, dan Atharel berkumpul di ruang tamu. Jevano, baru pulang kerja, tiba dengan setelan putih dan jas navy. Nafasnya cepat. Bukan karena kelelahan—tapi karena harap.

Pintu terbuka perlahan.

Siluet seorang wanita muncul. Cantik, putih, dengan senyum yang menenangkan. Ia langsung berlari ke pelukan Maura.

Akhirnya… ia kembali.

Indonesia

Sementara itu, di Indonesia, pagi yang cerah menampar perusahaan Wardana dengan kengerian.

Mayat ditemukan.

Terkubur di dalam dinding lantai dasar perusahaan.

Bau busuk merembes dari celah retakan dinding. Cleaning service awalnya mengira itu hanya masalah pipa… hingga ia melihat sesuatu. Ia gemetar, dan langsung menghubungi polisi.

"Bagaimana bisa… di perusahaan sebesar ini… ada mayat?" bisik seorang karyawan.

"Tumbal proyek?"

"Kalau tumbal dari dulu, harusnya sudah menyatu dengan dinding…"

Karyawan ketiga bergumam, "Setelah ini… aku resign. Ini gila."

Dan efeknya merambat. Satu per satu karyawan mengundurkan diri.

Kakek Wardana tiba… dan tubuhnya hampir tak sanggup menopang diri.

Tumbal itu… ditemukan?

Shara segera menarik ayahnya ke ruang CEO, menghindari amukan massa. Bodyguard berjaga di luar, suasana mencekam.

"Shara! Bagaimana bisa tumbal kita ketahuan!?" seru Kakek Wardana panik.

"Aku juga bingung Yah! Aku sudah penuhi semua syarat dari Mbah Santoso… semua!"

"Berarti ada yang lebih kuat dari Santoso… yang mencoba menghancurkan kita…"

Mereka terdiam. Ketakutan bukan karena hantu, tapi karena manusia yang lebih licik dari iblis.

"Oh ya… gelang itu, sudah kau berikan ke Auliandra?"

"Sudah Yah. Dia menyukainya. Dan dengan itu, dia akan tetap di bawah kendaliku. Aku akan jadikan dia menantu Gavriel. Sempurna, bukan?"

"Perusahaan ini… akan bertahan. Kita akan bangkit kembali, Shara."

Tapi mereka lupa satu hal… kutukan tidak bisa disuap.

Di tempat lain…

Miss Ki masih bergelut dengan tumpukan berkas. Ed, yang sejak tadi memperhatikannya, menyodorkan segelas susu.

"Minum dulu."

Tak hanya itu—Ed mengangkat dagu Miss Ki lembut, dan membantu menyuapinya susu hingga setengah.

"Pemaksaan," desis Miss Ki dingin.

Ed hanya tersenyum, duduk di sofa, dan meminum sisa susu dari gelas yang sama.

"Mau jalan-jalan?" tawar Ed.

Miss Ki tidak menjawab. Ia berdiri, meregangkan tubuh, lalu menarik tangan Ed menuju pintu. Ed tersenyum. Dia tahu—dia berhasil.

Dia hanya ingin Miss Ki keluar dari ruang kerja, jauh dari beban. Meski itu berarti isi dompetnya menipis.

Flashback on

Di tengah desa kecil, Miss Ki berdiri sendiri. Matanya menyala murka.

"Ini… tempat mereka mengambil anak-anak untuk dijadikan tumbal…"

Dengan mantra pelan, bola api muncul di tangannya. Api ia lemparkan ke rumah pertama.

Teriakan dan jeritan pecah. Api melalap cepat. Di salah satu rumah, seorang ibu memeluk erat bayinya.

"Tolong… tolong anakku…" ucap sang ibu nyaris pingsan.

Miss Ki mengambil bayi itu tanpa sepatah kata. Bayi itu menangis kencang.

Sang ibu merintih, "Selamatkan aku juga… uhuk…"

Tanpa rasa bersalah, Miss Ki menginjak jemari wanita itu hingga berdarah. Tangisan bayi makin keras.

"Tidur yang nyenyak, sayang… mulai hari ini kau aman," bisik Miss Ki.

Tiba-tiba…

Ed muncul, menggendong Miss Ki keluar dari kobaran api. Api tak menyakitinya—tapi Ed tetap panik.

"Jangan lakukan ini lagi Ki. Aku takut kehilanganmu…"

Miss Ki menunduk. Ia tahu ia salah.

"Bagaimana dengan bayi ini?" tanyanya lirih.

Ed menatap bayi itu dalam diam.

Flashback off

🦋To be continued...

1
eva lestari
🥰🥰
Nakayn _2007
Alur yang menarik
Sukemis Kemis
Gak sabar lanjut ceritanya
Claudia - creepy
Dari awal sampe akhir bikin baper, love it ❤️!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!