Ini adalah kisah tentang Asmara, seorang pramugari berusia 25 tahun yang meniti karirnya di atas awan, tiga tahun Asmara menjalin hubungan dengan Devanka, staf bandara yang karirnya menjejak bumi. Cinta mereka yang awalnya bagai melodi indah di terminal kedatangan kini hancur oleh perbedaan keyakinan dan restu orang tua Devanka yang tak kunjung datang. dan ketika Devanka lebih memilih dengan keputusan orangtuanya, Asmara harus merelakannya, dua tahun ia berjuang melupakan seorang Devanka, melepaskannya demi kedamaian hatinya, sampai pada akhirnya seseorang muncul sebagai pilot yang baru saja bergabung. Ryan Pratama seorang pilot muda tampan tapi berwajah dingin tak bersahabat.
banyak momen tak sengaja yang membuat Ryan menatap Asmara lebih lama..dan untuk pertama kali dalam hidupnya setelah sembuh dari rasa trauma, Ryan menaruh hati pada Asmara..tapi tak semudah itu untuk Ryan mendapatkan Asmara, akankan pada akhirnya mereka akan jatuh cinta ?
selamat membaca...semoga kalian suka yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19

Pesawat SkyAir 307 menuju Batam sudah siap di landasan.
Langit Jakarta cerah pagi itu, biru bersih dengan awan tipis menggantung seperti kapas. Di apron, deru mesin pesawat bergemuruh lembut, berpadu dengan aroma khas avtur yang menyengat.
Ryan melangkah menyusuri kabin dengan langkah pasti, memeriksa panel dan awak satu per satu. Suaranya tegas namun tak berlebihan, khas pilot berpengalaman.
“Pastikan semua peralatan keselamatan siap dan penumpang mendapat briefing yang lengkap.”
“Siap, Kapten,” jawab salah satu pramugara dengan hormat.
Asmara berdiri tak jauh dari pintu kabin depan. Tubuhnya tampak tenang, tapi jantungnya berdetak tak karuan setiap kali Ryan melangkah mendekat. Ia mencoba bersikap profesional, seolah percakapan pagi tadi tak pernah terjadi.
Namun ketika Ryan berhenti di depannya, sekilas saja, matanya menangkap tatapan itu, teduh, tapi sarat makna.
“Siap untuk terbang?” tanya Ryan, nada suaranya lembut, berbeda dari biasanya.
Asmara menegakkan bahunya. “Selalu siap, Kapten.”
Senyum kecil melintas di wajah Ryan, nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk membuat pipi Asmara memanas. Ia buru-buru menunduk, berpura-pura sibuk memeriksa daftar penumpang.
Beberapa kru lain saling pandang, menyadari ketegangan halus di antara keduanya, tapi tak berani berkomentar, mereka tahu, gosip baru saja jadi masalah besar, dan tak ada yang mau menambah bahan bakar lagi.
Pesawat pun mulai bergerak menuju landasan pacu.
Suara Ryan terdengar jelas melalui interkom kokpit, tenang dan menenangkan:
“Selamat pagi, para penumpang SkyAir 307. Saya Kapten Ryan Pratama bersama seluruh kru, mengucapkan selamat datang. Penerbangan menuju Batam akan berlangsung selama satu jam tiga puluh menit. Selamat menikmati penerbangan Anda.”
Suara itu… selalu punya efek menenangkan bagi Asmara.
Ia berdiri di bagian kabin tengah, memastikan sabuk pengaman para penumpang terpasang dengan benar. Setiap kata Ryan menggema lembut di pikirannya, menghapus sedikit demi sedikit kekhawatiran yang menumpuk sejak pagi.
Beberapa penumpang menatapnya dengan kagum, mungkin karena kecantikannya, mungkin karena caranya tersenyum ramah.
Namun Asmara hanya fokus bekerja, kali ini, lebih tenang, lebih yakin.
Ketika pesawat sudah mencapai ketinggian stabil, Ryan memanggil Asmara melalui interkom internal.
“Asmara, tolong ke kokpit sebentar.”
Suara itu membuat hatinya berdebar.
Ia melangkah pelan ke depan, membuka pintu kokpit dengan izin co-pilot yang tersenyum samar.
Ryan duduk di kursinya, menatap layar instrumen pesawat, tapi dari sorot matanya terlihat jelas bahwa fokusnya bukan hanya pada penerbangan.
“Gimana, kamu udah lebih tenang?” tanyanya tanpa menoleh.
Asmara berdiri di belakangnya, memegangi sandaran kursi. “Sudah. Terima kasih untuk tadi pagi, Kapten Ryan. Aku… nggak tahu harus gimana kalau kamu nggak ngomong di depan mereka.”
Ryan akhirnya menoleh, menatapnya lembut. “Aku cuma bilang yang seharusnya. Kamu nggak salah, Mara. Dan kalau orang lain nggak tahu kebenarannya, aku yang akan tunjukkan.”
Asmara menatapnya, bingung. “Maksudmu?”
Ryan tersenyum samar, lalu mencondongkan tubuh sedikit ke arah mikrofon internal kabin.
Namun sebelum ia menekan tombol komunikasi, ia berhenti, lalu berbisik pelan ke arah Asmara.
“Nanti, kamu bakal tahu maksudku.”
Asmara terpaku.
Suasana kokpit mendadak terasa terlalu sempit, terlalu sunyi, terlalu dekat.
“Sekarang, kembalilah ke kabin,” ujar Ryan akhirnya, menoleh lagi ke layar panelnya. “Kita masih punya penerbangan panjang hari ini. Jangan biarkan siapa pun bikin kamu tunduk lagi.”
Asmara tersenyum tipis, matanya berkilat lembut. “Baik, Kapten.”
Dan kali ini, ia benar-benar mengatakannya dengan bangga, tanpa ragu, tanpa takut.
Ketika ia keluar dari kokpit, hatinya terasa ringan. Untuk pertama kalinya sejak gosip itu beredar, ia tidak merasa sendirian.
Ryan menatap ke arah pintu yang baru saja tertutup di belakang Asmara.
Senyum tipis terukir di wajahnya, nyaris tak terlihat di balik cahaya panel pesawat.
Dalam hati ia bergumam, pura-pura atau tidak, aku sudah terlanjur peduli padamu, Asmara.
...♡...
Setelah mendarat di Batam, seluruh kru SkyAir 307 dikumpulkan untuk makan siang bersama di ruang makan hotel tempat mereka menginap.
Suasana awalnya santai, beberapa orang tertawa kecil, membicarakan penumpang yang bersikap lucu di penerbangan tadi, sebagian lainnya sibuk dengan ponsel. Namun di antara canda dan obrolan ringan itu, aura dingin masih terasa mengelilingi meja tempat Asmara duduk.
Beberapa pasang mata diam-diam menatapnya. Ada yang berbisik lirih, ada pula yang menahan tawa kecil di balik tangan.
Asmara menunduk, mencoba fokus pada makanannya, meski rasa nasi di mulutnya nyaris tak terasa.
Namun tak lama kemudian, Ryan masuk ke ruangan.
Seketika suasana berubah. Semua orang yang tadinya santai, langsung duduk tegak. Aura tegas seorang kapten membuat ruangan yang semula ramai mendadak hening.
Ryan berdiri di ujung meja panjang, tangan kirinya memegang map penerbangan, sementara tangan kanan diselipkan di saku celananya. Wajahnya serius, tapi nada bicaranya tenang dan berwibawa.
“Sebelum kita lanjut briefing untuk jadwal besok,” ujarnya membuka suara, “saya ingin menyampaikan satu hal yang sepertinya sudah sejak pagi jadi bahan pembicaraan di antara semuanya.”
Semua kepala perlahan menoleh padanya. Suara sendok dan garpu berhenti.
Asmara, yang duduk di tengah, bisa merasakan jantungnya berdegup keras. Ia tahu, apa yang akan Ryan bicarakan.
Ryan melanjutkan, pandangannya menyapu seluruh ruangan.
“Saya tahu, Hari ini banyak gosip beredar tentang saya dan salah satu kru pramugari, Asmara.”
Suara bergumam pelan terdengar, tapi Ryan mengangkat sedikit tangannya, membuat semua kembali diam.
“Saya ingin meluruskan semuanya, di depan kalian, sekarang.”
Ia menatap lurus ke arah Asmara. Tatapan itu dalam, teguh, dan tidak ragu.
“Ya. Saya dan Asmara memang sedang menjalin hubungan. Kami officially sepasang kekasih.”
Suara Ryan tenang, tapi cukup keras untuk menggema di seluruh ruangan.
Beberapa kru langsung saling pandang, ada yang terkejut, ada yang menatap dengan ekspresi tak percaya, sebagian lain malah memalingkan wajah dengan cemburu yang jelas terlihat.
Ryan melanjutkan tanpa jeda, suaranya tetap mantap.
“Dan tidak ada yang salah dengan hubungan kami. Kami berdua sama-sama lajang, tidak melanggar aturan kerja, tidak mengganggu profesionalitas siapa pun. Jadi, saya harap tidak ada lagi yang merasa berhak menilai atau memperbincangkan hal pribadi seseorang.”
Tatapannya kali ini beralih pada Olivia, pramugari yang paling vokal menyindir Asmara.
“Saya juga ingin menegaskan, jika saya mendengar ada yang kembali menyebarkan gosip atau fitnah di antara kru, saya tidak akan segan mengambil langkah profesional. Ini bukan ancaman, tapi peringatan tegas.”
Suasana ruangan berubah sunyi total.
Tak ada yang berani bicara, bahkan napas pun terdengar pelan.
Ryan kemudian menoleh ke arah Asmara, menatapnya lembut untuk sesaat, hanya sekilas, tapi cukup membuat waktu serasa berhenti.
Asmara terpaku, matanya sedikit berkaca-kaca. Ia tak pernah menyangka Ryan akan berdiri sejauh ini untuknya, di depan semua orang.
“Sekian dari saya,” ujar Ryan akhirnya, menutup klarifikasinya. “Terima kasih untuk kerja keras kalian hari ini. Silakan istirahat, kita punya jadwal padat besok pagi.”
Ia berbalik hendak pergi, namun sebelum benar-benar keluar dari ruangan, Ryan menoleh sedikit ke arah Asmara.
“Kamu ikut aku sebentar,” katanya datar, tapi suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya.
Asmara hanya bisa mengangguk pelan.
Begitu Ryan keluar, ruangan kembali penuh bisikan, tapi kali ini bukan ejekan.
Yang terdengar hanyalah nada takjub, kagum, bahkan iri.
“Kapten Ryan beneran ngaku depan semua orang…”
“Demi Asmara? Gila, itu… Hoki banget dia.”
“Tapi mereka cocok sih, Asmara kan pramugari tercantik, pantas saja Kapten Ryan jatuh hati padanya, lihat aja tatapan matanya ke Asmara, bikin meleleh.”
Asmara hanya diam, menunduk dalam.
Tangannya gemetar sedikit, tapi senyum kecil tak bisa ia sembunyikan.
Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendiri. Tidak lagi menjadi bahan omongan tanpa pembelaan.
...✈️...
...✈️...
...✈️...
^^^Bersambung...^^^