novel fiksi yang menceritakan kehidupan air dan api yang tidak pernah bersatu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Syihab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Api yang Memilih untuk Tidak Membakar
Benturan pertama terjadi seperti ledakan kecil yang membuat tanah bergetar. Para penjaga Api Merah menerjang dengan tubuh raksasa mereka, nyala merah gelap memancar dari setiap retakan kulit mereka. Pijaran itu memantul ke udara, menimbulkan percikan panas yang memotong angin seperti bilah bara.
Sena berdiri paling depan, tubuhnya bersinar lebih terang dari sebelumnya, seolah seluruh energi dalam dirinya dikumpulkan untuk satu tujuan: melindungi Cai. Dua penjaga Bara Lembut berdiri di sisi kanan dan kirinya, aura api mereka lebih lembut namun tidak kalah kuat. Di belakang mereka, Cai menggenggam tangannya, mencoba mengendalikan getaran halus yang menjalar di seluruh tubuhnya.
“Bara Lembut tidak pernah menyerang,” kata salah satu penjaga di samping Sena. “Tapi untuk sesama elemen… kami tak akan tinggal diam.”
Sena menjawab dengan suara dingin, “Hari ini kita tidak menyerang. Kita hanya menghalangi.”
Ledakan panas terjadi ketika penjaga Api Merah pertama menghantam tanah di depan mereka. Tanah bergetar, batu pecah, udara berubah menjadi gumpalan panas. Namun Sena melangkah maju, menggulirkan gelombang api keemasan lembut yang memantul dari tangannya. Api itu bukan untuk menyerang—melainkan untuk meredakan.
Api Merah mengaum, nyala tubuhnya menguat.
“API LEMBUT TIDAK PANTAS ADA! KALIAN ADALAH PENIPU API!”
Sena menggeram. “Api tidak hanya menghancurkan! Kau yang tidak memahami jiwanya!”
Penjaga Api Merah menerjang. Sena dan penjaga Bara Lembut menyambut dengan perisai api lembut yang membentuk gelombang memutar, menciptakan dinding hangat berdenyut. Benturan itu membuat udara bergetar begitu keras hingga Cai harus menahan diri agar tidak terhempas.
Api Merah menabrak dinding api lembut berkali-kali, nyala tubuh mereka membesar setiap kali. Namun Bara Lembut bertahan, memaksa energi panas itu reda perlahan.
Cai menatap dengan mata membelalak. “Kau… bisa menenangkan api?”
Tanpa menoleh, Sena menjawab, “Selama api itu masih hidup… masih punya hati, api bisa ditenangkan. Tapi Api Merah… mereka hampir kehilangan itu.”
Pertempuran terus berjalan. Batu meleleh, udara memanas, cahaya berwarna merah dan emas saling bertabrakan. Sena mencoba mendorong kembali para penjaga Api Merah, namun jumlah mereka semakin banyak. Empat… lima… tujuh penjaga muncul dari kabut panas.
“Kita tidak bisa menghadapi semuanya!” teriak penjaga Bara Lembut di kanan Sena.
Sena menggertakkan gigi. “Aku tahu. Kita harus mengulur waktu sampai gerbang terbuka.”
“Gerbang?” Cai membalas panik. “Gerbang apa—?”
Belum sempat ia bertanya lagi, suara berat terdengar dari arah bangunan raksasa di belakang mereka. Pilar-pilar kuil Bara Lembut mulai bergetar, dan cahaya keemasan mengalir dari celah-celah lantai.
“Itu dia!” seru penjaga kiri. “Gerbang perlindungan mulai diaktifkan!”
Sena menoleh pada Cai. “Begitu gerbang terbuka, masuk ke dalam. Jangan menoleh. Jangan berhenti.”
Cai merasa jantungnya terlempar. “Bagaimana denganmu?!”
Sena tersenyum—senyum kecil namun hangat. “Aku akan menyusul.”
Belum sempat Cai membalas, salah satu penjaga Api Merah menerjang dengan kekuatan besar. Sena dan dua penjaga Bara Lembut menahan serangan itu, tapi tekanan panasnya luar biasa. Sena terdorong setengah langkah, tanda bahwa ia juga kewalahan.
“TIDAK AKAN ADA MAKHLUK AIR DI DUNIA KAMI!” teriakan para Api Merah bergema seperti guntur.
Cai merasakan ketakutan merayap seperti es dingin ke punggungnya. Bukan hanya pada bahaya fisik—tetapi ancaman bahwa Sena mungkin tidak akan bertahan.
Sementara itu, Gerbang Bara Lembut sepenuhnya menyala. Sebuah lingkaran cahaya keemasan terbentuk di depan bangunan megah itu, membuka celah seperti pintu besar yang mengundang.
Penjaga Bara Lembut menoleh ke Cai. “MASUK!”
Cai tak bisa bergerak.
Matanya hanya memandangi Sena yang masih melindunginya.
Tepat saat salah satu Api Merah mengangkat lengannya, menciptakan bola magma besar yang siap dilempar, tubuh Cai bergerak sendiri. Ia berlari menuju Sena tanpa berpikir.
“CAI, JANGAN!” Sena menjerit.
Tapi Cai tidak berhenti. Ia mengangkat tangannya, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, air di tubuhnya berputar sendiri. Aura perak dari dalam tubuhnya keluar, membentuk lapisan kabut cair tipis yang berputar bagai pusaran kecil. Kabut itu bukan air biasa. Warnanya bercampur antara biru muda dan perak, bergerak seperti arus kecil yang hidup.
Bola magma dilempar.
Cai mengangkat kedua tangannya.
BRUUUAAAAASH!
Bola magma raksasa itu menghantam kabut air perak—dan tidak meledak.
Ia membeku setengah detik.
Lalu perlahan, magma itu berubah warna, dari merah menyala… menjadi gelap… hingga akhirnya membatu seperti obsidian.
Semua terdiam.
Sena menatapnya lebar-lebar.
Para penjaga Bara Lembut terpaku.
Bahkan penjaga Api Merah berhenti bergerak.
Cai sendiri merasakan jari-jarinya bergetar. “A—aku… apa yang baru saja kulakukan?”
Suara Sena terdengar hampir seperti bisikan kagum. “Kau… menenangkan api murni. Itu tidak pernah—tidak pernah terjadi dalam sejarah dimensi mana pun.”
Penjaga Api Merah menggeram keras, tampak marah karena terkejut. “ITU TRIK! AIR TIDAK SEHARUSNYA BISA MENYENTUH API MERAH!”
Sena menarik tangan Cai. “Tidak ada waktu! Gerbang akan menutup!”
Cai masih menatap tangannya dalam shock. “Tapi… aku—”
“CAI!” Sena menariknya lebih keras. “Percaya padaku!”
Cai akhirnya tersadar dan berlari bersama Sena. Para Api Merah mencoba menghadang, namun para penjaga Bara Lembut menghadang kembali, kali ini dengan kekuatan penuh. Mereka mengangkat tangan, dan perisai api lembut membentang, melindungi jalan menuju gerbang.
“PERCEPAT! GERBANG MENUTUP!” teriak salah satu penjaga.
Cai dan Sena melewati garis terakhir jembatan. Tepat ketika mereka mendekati gerbang cahaya keemasan itu, salah satu penjaga Api Merah menerjang dari samping, lebih cepat dari yang lain.
“CAI, AWAS!”
Sena mendorong Cai ke dalam gerbang dan berbalik menghadapi serangan itu sendiri.
BLAAR!
Ledakan api merah menyala terang. Cai berhenti tepat di dalam gerbang, menoleh kembali dengan mata terbelalak.
“SENA!”
Tapi suara Sena terdengar dari tengah ledakan. “AKU BAIK! MASUK SAJA! JANGAN KELUAR!”
Gerbang mulai bergetar.
Cai meraih udara, mencoba melangkah mundur ke luar. “AKU TIDAK AKAN MENINGGALKANMU!”
Tapi Sena menatapnya dari balik kobaran api, tubuhnya masih berdiri tegak. “KAU HARUS MASUK! KAU PENTING, CAI! KAU SATU-SATUNYA YANG BISA MENUTUP RETAKAN!”
Gerbang semakin tertutup.
Cai berteriak putus asa, “SENA—!”
Namun cahaya gerbang menutup seluruh pandangannya dalam satu kilat keemasan, memutus koneksi antara dua dimensi kecil itu.
BLINK—
Cai terdorong ke dalam ruangan besar penuh cahaya lembut.
Dan saat gerbang tertutup sepenuhnya…
Cai jatuh berlutut, napasnya kacau, air matanya—air sungguhan—jatuh ke lantai.
Sena… tertinggal di luar.