Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.
Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.
Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.
Media menjulukinya: "Sang Hakim".
Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.
Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.
Kini, perburuan ini menjadi personal.
Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
Pukul sepuluh malam. Malam baru saja memeluk Jakarta, mengubah gedung-gedung pencakar langit menjadi menara-menara obsidian yang ditusuk oleh ribuan cahaya. Dari penthouse-nya di puncak sebuah apartemen residensial paling eksklusif di ibu kota, Ahmad Sahroni memandang pemandangan itu bukan dengan kekaguman, tetapi dengan rasa kepemilikan. Lautan cahaya itu adalah papan catur pribadinya, dan ia, di usianya yang kelima puluh lima, adalah salah satu pemain utamanya.
Ia menyesap segelas single malt whisky yang warnanya serupa ambar cair. Di sekelilingnya, keheningan dan kemewahan berpadu. Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan mahal, lantainya dilapisi marmer Italia yang dingin, dan perabotannya dirancang khusus dengan garis-garis modern yang tegas. Ini adalah bentengnya, istananya di atas awan. Sebuah monumen yang ia bangun untuk mengubur masa lalunya yang berlumpur.
Ahmad Sahroni adalah seorang politisi ulung, seorang negarawan yang dihormati, dan ketua sebuah partai besar. Citra publiknya adalah citra seorang reformis. Seorang pria yang berhasil membersihkan namanya setelah skandal korupsi di awal karirnya, dan kini mendedikasikan dirinya untuk "melayani rakyat". Pertobatannya sering kali menjadi bahan pidatonya sebuah kisah inspiratif tentang bagaimana seseorang bisa jatuh dan bangkit kembali, lebih kuat dari sebelumnya.
Ponselnya berdering, sebuah nada klasik yang sopan. Ia melihat nama asisten pribadinya di layar.
“Ya, Rahmat?” jawabnya, suaranya terdengar berwibawa dan sedikit lelah.
“Hanya ingin mengkonfirmasi jadwal Bapak untuk besok. Rapat dengan komisi energi jam sembilan, dilanjutkan wawancara dengan Metro TV jam sebelas.”
“Pastikan tim riset sudah menyiapkan semua data yang kubutuhkan untuk wawancara. Aku tidak mau ada kejutan. Terutama jika mereka mencoba bertanya soal kasus ‘Hakim’ itu lagi,” kata Sahroni, sedikit jengkel.
Kasus pembunuhan berantai itu telah menjadi obsesi media. Sahroni menganggapnya sebagai gangguan. Seminggu yang lalu, dua orang detektif salah satunya perwira senior yang tampak lelah datang menemuinya. Mereka memberinya peringatan terselubung. Mereka bilang, profilnya sebagai tokoh publik dengan "kisah pertobatan" yang terkenal membuatnya masuk dalam daftar "individu yang berpotensi menjadi perhatian".
Sahroni menertawakan mereka dalam hati setelah mereka pergi. Itu adalah upaya yang konyol. Ia memiliki tim keamanan pribadi terbaik. Gedung ini memiliki sistem keamanan berlapis. Ia lebih aman di sini daripada presiden di istananya.
“Satu hal lagi, Pak,” kata Rahmat ragu-ragu. “Kotak kayu yang diantar sore tadi, apakah sudah Bapak terima?”
Kening Sahroni berkerut. Ia melihat ke sekeliling ruang tamunya yang luas dan remang. “Kotak kayu apa? Tidak ada kiriman untukku hari ini.”
Hening sejenak. “Aneh, Pak. Kurirnya bilang paketnya sangat penting dan harus langsung diletakkan di dalam unit Bapak. Tim keamanan Bapak di lobi yang mengizinkannya naik. Mereka bilang kurir itu punya clearance level Alfa.”
Jantung Sahroni mulai berdebar sedikit lebih cepat. Clearance level Alfa? Itu adalah kode keamanan tertinggi, kode yang sama dengan yang ia gunakan.
“Aku tutup teleponnya,” kata Sahroni tiba-tiba, suaranya kini serak.
Ia mematikan panggilan. Keheningan di dalam penthouse itu kini tidak lagi terasa mewah; rasanya mengancam. Bagaimana mungkin?
Ia meletakkan gelasnya. Matanya menyapu ruangan. Dan kemudian, ia melihatnya.
Di atas meja kopi dari kaca tebal, di samping sebuah majalah Forbes, tergeletak sebuah kotak kayu kecil berwarna gelap.
Benda itu tidak ada di sana sepuluh menit yang lalu. Ia yakin sekali.
Napasnya tertahan. Seseorang telah berada di dalam unitnya. Seseorang telah melewati lobi, melewati lift pribadi yang hanya bisa diakses dengan kartu, dan melewati pintu unitnya yang terbuat dari baja.
Dengan langkah ragu, ia mendekati meja kopi itu. Kotak itu terbuat dari kayu eboni yang dipoles halus. Tidak ada ukiran. Terlihat elegan dan mahal. Dengan tangan yang mulai terasa dingin, ia membukanya.
Isinya sederhana. Di atas lapisan kain beludru hitam, hanya ada segenggam pasir pantai yang kasar dan sebuah koin perak tua yang warnanya sudah kusam dan teroksidasi.
Pasir dan koin.
Otaknya yang tajam langsung bekerja. Dan kemudian, sebuah ingatan yang telah ia paksa untuk lupakan selama dua puluh tahun menyeruak ke permukaan.
Ia tidak lagi berada di penthouse-nya yang dingin.
Tiba-tiba ia kembali ke sebuah vila di tepi pantai Anyer, dua puluh tahun lalu. Ia bisa mencium bau asin laut dan aroma kretek yang dibakar oleh kontraktor tua di hadapannya. Ia bisa mendengar suara ombak malam yang memecah pantai. Ia, seorang politisi muda yang ambisius, sedang duduk berhadapan dengan kontraktor itu. Di atas meja, terhampar peta proyek reklamasi pesisir. Proyek yang akan menggusur ratusan keluarga nelayan miskin.
“Ini berisiko, Mas Roni,” kata kontraktor tua itu, suaranya serak. “Warga pasti melawan.”
Sahroni muda tersenyum. Senyumnya yang meyakinkan. Ia mendorong sebuah koper besar ke seberang meja. Ia membukanya. Di dalamnya, bukan tumpukan uang kertas, tapi ribuan koin perak. Suap pertamanya yang masif.
“Anggap saja ini sebagai fondasi dari kota baru kita, Pak,” katanya waktu itu, suaranya semanis madu. “Pasir diganti dengan perak.”
Proyek itu berjalan. Para nelayan digusur paksa. Dan Sahroni mendapatkan modal politik pertamanya.
Napas Sahroni menjadi berat, kembali ke masa kini. Ruangan penthouse terasa berputar. Ini bukan lelucon. Seseorang tidak hanya tahu tentang dosanya; seseorang tahu detailnya.
Di bawah pasir dan koin itu, ada secarik kartu kecil. Dengan huruf cetak yang rapi, tertulis sebuah ayat.
Sebab orang-orang kaya di kota itu penuh kekerasan, dan penduduknya berkata dusta, dan lidah dalam mulut mereka adalah penipu. - Mikha 6:12
Sang Hakim.
Rasa dingin yang tadinya hanya di perutnya kini menjalari seluruh tubuhnya. Kepanikan yang murni dan primitif mengambil alih. Ia berlari ke panel interkom di dinding.
“Joko! Kunci seluruh gedung! Tidak ada yang boleh masuk atau keluar!” teriaknya, suaranya bergetar karena amarah dan rasa takut. “Periksa rekaman CCTV sekarang juga! Seseorang berhasil masuk ke unit saya! Lakukan sekarang!”
“Baik, Pak! Siap, Pak!” jawab suara kepala keamanannya yang panik.
Sahroni bersandar di dinding, mencoba mengatur napasnya. Keamanannya telah ditembus. Bentengnya telah dilanggar. Ia tidak lagi aman. Ia seharusnya mendengarkan polisi itu.
Ia mondar-mandir di ruang tamunya, merasa terperangkap. Setiap sudut gelap kini tampak mengancam. Pantulan dirinya di jendela kaca raksasa tampak seperti orang asing yang pucat.
Lalu, telepon di atas meja barnya berdering. Bukan ponselnya. Telepon kabel rumahnya. Saluran pribadi yang nomornya hanya diketahui segelintir orang. Suara deringnya yang nyaring terdengar seperti jeritan.
Dengan tangan gemetar, ia mengangkat gagang telepon. “Halo?”
Hening.
“Halo?! Siapa ini?!”
Lalu, sebuah suara menjawab. Suara yang datar, tanpa emosi, diubah secara digital.
“Pa-ket-nya… su-dah… di-te-ri-ma?”
Sahroni merasa kakinya lemas. “Siapa kau?! Apa maumu?!”
“Ke-a-man-an-mu… im-pre-sif, Tu-an Sah-ro-ni,” lanjut suara itu, mengabaikan pertanyaannya. “Pin-tu de-pan-mu ter-kun-ci. Jen-de-la bal-kon-mu a-man. Pe-nga-wal-mu a-da di lo-bi…”
Suara itu berhenti sejenak, sebuah jeda yang dirancang untuk memaksimalkan teror.
“Ta-pi… ka-u lu-pa… me-me-rik-sa… ba-yang-an.”
Gagang telepon itu terlepas dari genggaman Sahroni yang lemas dan jatuh ke lantai dengan suara berdebam pelan.
Bayangan.
Matanya yang terbelalak liar menyapu setiap sudut gelap di ruang tamunya yang remang-remang. Lukisan mahal di dinding kini tampak seperti portal ke kegelapan. Tirai sutra yang tebal di ujung ruangan bisa saja menyembunyikan seseorang. Bayangan di bawah tangga spiral menuju lantai dua... apakah itu bergerak?
Pantulan dirinya di jendela raksasa menunjukkan ia sendirian. Ruangan itu tampak kosong.
Tapi ia tahu. Dengan kepastian yang membekukan darah di nadinya, ia tahu.
Ia tidak lagi aman. Ia tidak sendirian.
Bentengnya telah runtuh dari dalam.