Kata orang, roda itu pasti berputar. Mereka yang dulunya di atas, bisa saja jatuh kebawah. Ataupun sebaliknya.
Akan tetapi, tidak dengan hidupku. Aku merasa kehilangan saat orang-orang disekitar ku memilih berpisah.
Mereka bercerai, dengan alasan aku sendiri tidak pernah tahu.
Dan sejak perceraian itu, aku kesepian. Bukan hanya kasih-sayang, aku juga kehilangan segala-galanya.
Yuk, ikuti dan dukung kisah Alif 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Yang Tercapai
Misna menatap nanar pada kasur bekas Alif tidur. Selama kepergian Alif, secara tak langsung ada tempat yang kosong di hatinya.
Padahal, selama Alif bersamanya tak sekalipun Misna menunjukkan ksih sayangnya. Dia takut, dia takut kalau-kalau Alif merasa nyaman dan kembali enggan pergi dari hidupnya.
Apalagi, dia dibawah tekanan dari ibu mertuanya. Yang jelas-jelas membenci Alif.
Tak hanya ibu mertua. Semenjak kedatangan Alif ke rumahnya, Ratna, sang ibu kandung juga tak pernah berkunjung lagi.
Ratna berdalih, dia gak bisa melihat anak pencuri, dia gak mau kesana jika Alif masih dibawah asuhan Misna.
Makanya, Misna tak segan-segan menanam dendam di hati Raffa, dengan begitu ia berharap jika Raffa tak pernah mengingat tentang Alif lagi.
"Rindu Alif?" tanya Faisal seraya menggendong bayinya.
Tadi, Misna sengaja menitip anaknya pada Faisal. Karena dia berencana ingin membersihkan kamar Raffa.
Akan tetapi, baru setengah jam, sang anak sudah rewel, karena ingin ASI.
Saat masuk kamar Alif, yang kebetulan pintunya tak tertutup, Faisal menatap Misna yang sedang melamun. Akan tetapi, matanya menatap kasur bekas Alif tidur.
"Haus ya sayang, sini nak!" seru Misna mengulur kedua tangannya.
Faisal memilih tak mengulangi pertanyaan, dia menduga jika Misna sedang terluka, ataupun kecewa pada dirinya, karena tidak bisa mempertahankan Alif.
...🍁🍁🍁...
Begitu tiba di keramat, Alif terpaku melihat rumah ayahnya yang terbilang begitu besar. Bahkan, mengalahkan rumah Nila di lorong rumahnya.
Tak heran, jika Haris bisa membangun rumah sebesar itu, apalagi warung di samping rumahnya tak pernah sepi pelanggan.
"Ingat pesan ayah, kamu disini sebagai pekerja. Tak lebih!" tekan Haris, sebelum memasuki rumahnya.
Saat masuk rumah, kembali Alif di buat kagum. Selain interior yang dibilang mewah menurutnya, rumah tersebut juga memiliki beberapa ruangan. Bukan hanya ada tiga kamar, melainkan empat kamar.
"Bagaimana jika kamu tinggal disini aja. Nanti rumah nenek, kita jual." ujar Nanda, berharap jika Alif menyetujuinya. Karena jujur, Nanda mulai lelah mencari di setiap sudut rumah, tentang dimana surat rumah disimpan oleh Neli.h
Baik Nanda dan Haris menduga, jika hanya Alif lah, yang tahu dimana tempatnya.
Alif memilih tak menjawab, karena dia sedikit ragu sebab statusnya saja masih di sembunyikan di keluarga ibu tirinya.
Karena tak mendapatkan respon apapun dari Alif, Nanda mendecak kesal. Dia malah menatap Haris dengan tatapan sangat marah.
Haris mengejar Nanda, yang masuk ke kamar. Sebelumnya Haris juga sempat berteriak, menunjukkan kamar untuk Alif.
"Biarkan Alif disini dulu. Besok kita pergi ke rumah ibu, dan mencari di kamar Alif." rayu Haris, karena Nanda yang terlihat jengkel.
"Aku udah memeriksanya, tapi tak ketemu." ungkap Nanda.
"Lemarinya udah? Atau dibawah kolong?"
"Ya, aku belum memeriksa lemarinya. Karena selama ini, lemari itu terkunci." ujar Nanda, dan matanya langsung memancar binar bahagia.
Dia membayangkan, jika rumah itu berhasil di jual. Maka, ia akan menggunakan uang itu, untuk memperluas bisnisnya.
Nanda berencana, akan membuka cabang warungnya. Dia akan membukannya di kota, berharap jika disana, dia akan meraup keuntungan yang lebih besar.
Sudah satu minggu sejak mereka berada di keramat. Sekarang, Alif bekerja sebagai pelayan di warung milik ibunya, lebih tepat ibu tirinya.
Akhirnya, Alif di perkenalkan sebagai orang kampung Haris, bukan sebagai keluarga apalagi anak.
Makanya, tak heran jika Alif mendapatkan kamar paling belakang, yang bahkan hanya diisi dengan sebuah kasur lajang, dan satu lemari plastik.
Tak ada perabotan, ataupun kipas angin disana, karen kebetulan disana berada di kawasan pengunungan.
Paginya, Haris dan Nanda minta izin pada Alif, mereka mengatakan jika Nanda ingin pulang ke kampungnya. Dan keduanya, tak mungkin membawa Alif, di karenakan status yang mereka sembunyikan.
"Ini uang untuk kamu, kamu bisa membeli apapun yang kamu mau. Karena kami gak lama disana, paling dua atau tiga hari aja." ujar Haris, menyerahkan tujuh lembar uang berwarna merah.
Sesuai rencana, begitu tiba di rumah mendiang ibunya, tujuan utama keduanya ialah ke kamar Alif. Keduanya berdalih, jika mereka sengaja kesana, mau mengambil beberapa barang yang ketinggalan.
Dan Alif sendiri, masih betah tinggal di rumah mereka yang di keramat.
"Periksa semuanya, bila perlu rusak aja lemarinya." ujar Nanda antusias.
"Tak usah, aku berhasil mengambil kunci lemari, saat Alif sibuk di warung." Haris memperlihatkan kunci dari tangannya.
"Ya udah, cepat buka! Tunggu apa lagi." cetusnya.
"Dimana sih, bocah itu menyimpan surat ini?" keluh Nanda, dengan kedua tangan menompang pinggangnya.
"Kamu istirahat aja dulu, biar aku yang cari." ujar seraya membuka lemari kayu, yang sebelumnya merupakan miliknya, dan sekarang diturunkan ke Alif, oleh ibunya.
Begitu pintu lemari berhasil dibuka, Nanda langsung bangkit dari duduknya, dan Haris mulai mengeluarkan baju-baju Alif. Dan dia mengeluarkan satu persatu baju milik Alif.
Dia hampir menyerah, hampir semua isi lemari, sudah di keluarkan. Sampai akhirnya matanya terpaku pada sebuah map berwarna coklat, yang berada di belakang tumpukan baju lemari paling bawah. Dan kalau di perhatikan, disana hanya ada baju-baju Neli, yang sudah kekecilan. Bahkan, Haris masih teringat baju itu, di pakai Neli, saat dia belum menikah dengan Misna.
Dengan semangat membara, dia mengambil map itu, rona bahagia tak bisa disembunyikan dari wajahnya.
"Akhirnya, milikku, hak ku, sampai juga padaku." ujar Haris, memperlihatkan surat rumah pada Nanda.
"Bagus, sekarang bereskan baju-baju Alif kembali, tutup kembali pintunya." ujar Nanda penuh semangat.
Setelah urusan mereka selesai, keduanya langsung pergi dari sana.
Semula, Haris ingin menjual atau menyuruh agen tanah untuk mempromosikan rumah ibunya. Akan tetapi, Nanda menolaknya, dia malah kembali menyuruh Haris untuk bersabar terlebih dulu. Karena keduanya takut, jika nanti Alif tahu akan hal itu.
Terpaksa, Haris menuruti keinginan istrinya.
Keduanya langsung keluar, kala sudah membereskan kamar Alif seperti sedia kala. Senyum keduanya tak pernah pudar, sampai berakhir di mobil.
Nila dan Salmi yang penasaran, sudah berada di sana. Tepatnya, dibelakang mobil Haris, menunggu pasangan suami istri itu keluar.
"Sekolah hampir mulai lo. Kok, Alif gak kembali?" tanya Nila.
"Alif kembali minggu depan, karena kami harus membeli peralatan sekolahnya dulu." ujar Nanda, seraya mengelus perutnya yang sudah terlihat.
"Beruntung ya jadi Alif, punya orang tua sebaik kalian. Mungkin, ini lah, yang dinamakan buah dari kesabaran." sambung Nila lagi. Bahkan, dia menyikut Salmi, berharap jika perempuan itu juga bisa ikut menyanjung Nanda.
"Eh, iya-ya ... Baru kali ini loh, ada ibu tiri sebaik ini." lanjut Salmi.
"Wah, makasih banyak ya bu. Tapi maaf, aku gak bisa lama-lama disini. Karena setelah dari ini, kami ada urusan yang sangat penting. Jadi, kami pamit dulu ya.," ujar Nanda, sebelumnya Haris malah, sudah menaiki mobilnya.
Salmi dan Nila saling pandang, keduanya sama-sama bingung, karena Nanda tak memberikan apapun pada keduanya.
Rugi besar ... begitu lah, kira-kira yang pikirkan keduanya.