Dibawah langit kerajaan yang berlumur cahaya mentari dan darah pengkhianatan, kisah mereka terukir antara cinta yang tak seharusnya tumbuh dan dendam masa lalu yang tak pernah padam.
Ju Jingnan, putri sulung keluarga Ju, memegang pedang dengan tangan dingin dan hati yang berdarah, bersumpah melindungi takhta, meski harus menukar hatinya dengan pengorbanan. Saudari kembarnya, Ju Jingyan, lahir dalam cahaya bulan, membawa kelembutan yang menenangkan, namun senyumannya menyimpan rahasia yang mampu menghancurkan segalanya.
Pertemuan takdir dengan dua saudari itu perlahan membuka pintu masa lalu yang seharusnya tetap terkunci. Ling An, tabib dari selatan, dengan bara dendam yang tersembunyi, ikut menenun nasib mereka dalam benang takdir yang tak bisa dihindari.
Dan ketika bunga plum mekar, satu per satu hati luluh di bawah takdir. Dan ketika darah kembali membasuh singgasana, hanya satu pertanyaan yang tersisa: siapa yang berani memberi cinta di atas pengorbanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurfadilaRiska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yaoqin
Di dalam kamar Jingnan, kini yang tersisa hanyalah Lu Jianhong, Jingyan, dan tabib Ling An. Angin pagi yang tipis menyelinap lewat celah jendela, membawa aroma kayu basah dan dedaunan pegunungan.
Namun ketenangan itu buyar ketika seorang wanita cantik mengenakan hanfu hijau lembut melangkah masuk ke dalam ruangan. Kain hanfunya bergoyang ringan mengikuti langkahnya, wajahnya memancarkan keteduhan—dan perutnya yang membesar jelas menandakan kehamilan yang telah jauh.
Ketiganya serentak menoleh.
“Yao’er!”
Lu Jianhong berseru tanpa sadar, lalu segera berlari menghampirinya.
Melihat kondisi wanita itu, Jingyan segera maju, menuntunnya dengan hati-hati menuju bangku bulat kayu di sisi meja.
“Pelan-pelan,” ucapnya lembut.
Wanita itu tersenyum hangat.
“Terima kasih.”
Jingyan melirik Jianhong dengan sorot tanya.
“Dia…”
“Dia istriku, Putri. Namanya Yaoqin.”
Jianhong tersenyum manis, kebanggaan tak mampu ia sembunyikan.
Belum sempat suasana sepenuhnya mereda,
Jingnan tiba-tiba masuk dengan langkah tegas.
“Kenapa kalian masih di sini?” tanyanya dingin.
Lalu pandangannya berhenti pada Jianhong.
“Dan kau.”
Jianhong refleks menegakkan tubuh.
“Eh—tapi sebelum jenderal marah, sebaiknya jenderal melihat siapa yang datang hari ini.”
Jianhong tersenyum tipis. Inilah rencana yang terlintas di benaknya sejak kemarin, saat ia datang namun justru disambut amarah Jingnan Karna tak memberi tahu Jingnan saat ia menikah.
Ia yakin, kehadiran Yaoqin—istrinya—beserta kehamilan yang telah membesar itu, akan mampu melunakkan hati Jingnan.
Bagaimanapun juga, Jingnan bukan sosok yang keras tanpa perasaan.
Di balik sikap dingin dan ketegasannya sebagai jenderal, ia selalu memiliki kelembutan terhadap kehidupan yang sedang tumbuh—dan Jianhong mempertaruhkan keyakinan itu hari ini.
Jingyan segera bergeser ke samping, memperlihatkan sosok wanita hamil yang duduk dengan tenang.
“Yaoqin!”
Jingnan terkejut, begitu pula Yaoqin yang tampak sama kagetnya.
“Kalian berdua sudah saling mengenal?” tanya Jianhong heran.
Jingnan dan Yaoqin hampir bersamaan menggeleng.
“Aku hanya mendengar namanya dari luar,” jawab Jingnan cepat.
Jingnan kemudian melirik Jianhong.
“Dia siapa? Istrimu?”
“Ah, iya, Jenderal. Dia istriku.” Jianhong tersenyum.
“Dan lihat ini—”
Ia berlutut di samping Yaoqin, mengelus lembut perut istrinya yang membesar dengan penuh kasih.
Jingnan refleks mendekat.
“Wah…”
Senyumnya merekah tanpa ia sadari.
“Bolehkah aku mengelusnya?” tanyanya pada Yaoqin.
“Tentu saja.” Yaoqin mengangguk sambil tersenyum.
Dengan hati-hati, Jingnan mengelus perut Yaoqin. Saat ia merasakan gerakan kecil dari dalam, matanya melembut—senyum hangat muncul di wajahnya. Yaoqin ikut tersenyum, tatapannya penuh ketenangan.
Pemandangan itu membuat Jingyan, Ling An, dan Jianhong saling berpandangan, lalu tersenyum tanpa kata.
Tiba-tiba Jingnan menegakkan tubuh dan menunjuk Jianhong.
“Lu Jianhong!”
Jianhong menegang.
“Istrimu sudah hamil sebesar ini, tapi kau baru memberitahuku bahwa kau telah menikah?!”
“Benarkah?!” Yaoqin menoleh tajam.
“Benar!!” Jingnan menimpali tanpa ragu.
“Suamiku,” suara Yaoqin berubah tegas, “apakah kau berniat menyembunyikanku, hm?!”
“Eh—tidak begitu, tidak—aku hanya…”
Kata-kata Jianhong terhenti. Ia benar-benar kehabisan alasan.
Jingyan ikut menyela, nada suaranya penuh kekhawatiran.
“Dan mengapa kau membawa istrimu yang sedang hamil besar ke tempat seperti ini?”
“Putri,” Yaoqin tersenyum lembut, “aku bosan terus berada di kediaman. Lagipula, kemarin Jianhong mengatakan bahwa Jenderal Jingnan ingin bertemu denganku.”
“Aku?” Jingnan melirik tajam ke arah Jianhong.
Jianhong hanya tersenyum tanpa rasa bersalah.
“Tapi kan—” Jianhong mencoba bicara.
“Namun kau tetap harus menjaga kesehatanmu. Dengan kandungan sebesar ini, tubuhmu pasti lebih mudah lelah,” ucap Jingyan lembut, sorot matanya penuh perhatian.
““Aku tahu, Putri. Aku akan berhati-hati,” potong Yaoqin. “Lagipula ini hanya sehari saja.”
Jingnan menghela napas, lalu berkata,
“Oh iya, Jianhong… Tabib Ling An, dan juga Yanyan, bisakah kalian keluar sebentar?”
“Baik, jie,” jawab Jingyan.
“Kenapa?” tanya Jianhong curiga.
“Aku ada urusan penting dengan istrimu.”
Jingyan dan Ling An saling pandang, lalu melangkah keluar meninggalkan ruangan.
“Tapi Jenderal, tolong jangan apa-apakan istriku,” Jianhong berkata cemas.
“Tidak akan,” jawab Jingnan tenang. “Aku dan Yaoqin hanya ingin berbincang sebentar.”
“Tapi—”
“Cepat keluar,” kata Yaoqin datar.
“Baiklah… baiklah…”
Dengan berat hati, Jianhong melangkah keluar.
Hampir bersamaan dengan itu, Jingnan segera menutup pintu kamarnya, seolah tak ingin ada satu pun suara dari luar mengganggu percakapannya dengan Yaoqin.
Di dalam kamar, kini hanya tersisa dua wanita—dan satu percakapan yang tampaknya jauh lebih penting dari sekadar pertemuan biasa.
semangat teruslah aku dukung🔥❤️