“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.
Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.
Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulastri 22
“Jagung yang sekarung itu di jemur saja dulu, Sim. Sepertinya masih sedikit basah,” ujar Sulastri sembari memeriksa karung-karung lainnya.
Sudah satu minggu ini Petter memberinya tanggung jawab atas panenan yang datang ke rumah, memeriksa kelayakan dan beratnya timbangan.
Wanita itu dengan teliti menghitung tiap gerobak yang menurunkan hasil panenan, tidak satu karung pun lolos dari pemeriksaannya.
“Wah … kalau seperti ini, bisa semakin cepat kaya si keras kepala itu,” celetuk Anderson yang baru saja keluar dari paviliunnya.
Sulastri tersenyum simpul, lalu sedikit membungkukkan badan—tanda hormat. “Tumben sekali Dokter pagi-pagi sudah rapih.”
“Sedang ada sedikit kerjaan di klinik,” sahut Anderson.
Kecintaan Petter dengan anak-anak membawanya bertekad membangun sebuah klinik kecil yang dikhususkan untuk penduduk desa terutama balita dan ibu hamil.
Setiap bulannya, Anderson dan beberapa relawan akan membagikan susu dan vitamin untuk balita, juga pemeriksaan gratis. Kegiatan itu Petter sendiri yang menggadangnya, tujuannya hanya ingin penduduk lebih peduli dengan kesehatan mereka.
Namun, niat baik itu tak selalu diterima, banyak juga yang menganggap Petter hanya cari muka atau sekedar memanfaatkan penduduk agar mau menjual panenan ke lapak miliknya.
Sulastri mengerjap pelan, tangannya mengusap ujung pelipis. “Sekali waktu saya juga ingin membantu di sana,” ujarnya, bibirnya mengulas senyum tipis.
“Datanglah kapan saja, anak-anak pasti suka dengan kehadiranmu,” sahut Anderson.
Sulastri terdiam sejenak, lalu kembali menatap tumpukan jagung di depannya. “Beberapa hari ini saya tidak mendengar tangisan Maria? Apa dia sedang berada di klinik?”
“Maria dan ibunya sudah berangkat ke Belanda dua hari yang lalu.”
Sulastri mengernyitkan alisnya, tangannya yang cekatan menarik karung-karung yang tergeletak untuk di bedirikan. “Hum, pantas saja, paviliun terlihat sepi, lalu kapan mereka kembali?”
Anderson menggulung lengan bajunya, kemudian membantu Sulastri menarik satu karung yang ukurannya paling besar. “Entahlah, istriku bisa berbulan-bulan kalau sudah pulang kampung, apalagi sekarang ada Maria, bisa jadi tak diizinkan kembali lagi ke sini.”
Sulastri menghela napas pelan, sebelah alisnya terangkat tipis. “Benarkah?”
Anderson terkekeh kecil, lalu berjalan menuju kran air untuk mencuci tangannya. “Mereka akan kembali, mungkin bulan depan saat musim dingin berakhir,” ujarnya. “Ya sudah, saya berangkat ke klinik dulu, jangan mengangkat yang terlalu berat perutmu, bisa bermasalah nanti.” Pesan Anderson sebelum berlalu pergi.
Sulastri tersenyum teduh seraya mengangguk singkat. Ia kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya. Mengecek beberapa karung yang baru saja diturunkan dari gerobak, disusul satu grobak yang baru datang.
Tidak lama sebuah mobil sedan memasuki halaman, dari dalamya turun seorang laki-laki berpakaian rapih, dengan dasi polos berwarna biru muda. Tangan kirinya menenteng koper tua berbahan kayu mahoni.
Pramono menghampiri Sulastri yang masih tertegun. Senyum manis terulas di wajah tampannya, tangannya terulur seraya mengajak bersalaman.
“Apa kabar, saudari Sulastri?”
Sulastri menyambut uluran tangan Pramono, tersenyum simpul sembari menunduk.
“Saya baik Tuan, bagaimana dengan Anda?”
“Baik dan cukup bersemangat.” Pramono menjawab lalu menghentakkan jabatan tangan mereka, pelan.
Sulastri lekas menarik tangannya, kemudian kembali tersenyum, dahinya mengernyit samar. “Ada perlu apa Anda datang sepagi ini, Tuan?”
Pramono berdehem kecil, jari telunjuknya mengusap hidung bangirnya. “Saya datang untuk mengantarkan surat panggilan mediasi dari pengadilan, apakah … kita bisa berbincang sebentar?” ucapnya, ragu.
Sulastri tersentak, lalu dengan cepat mempersilahkan Pramono untuk duduk di kursi teras. “Tapi … meneer sedang tidak ada di rumah.”
“Tidak apa, saya hanya ingin menyampaikan beberapa hal yang harus Saudari persiapkan. Nanti, saudari bisa teruskan pada Tuan Van Beek.”
Sulastri kemudian turut duduk di kursi sebelah, tatapannya serius saat Pramono mengeluarkan beberapa lembar dokumen dan sepucuk surat dari koper kayunya.
“Sebenarnya tidak ada yang perlu saudari siapkan secara khusus, hanya mental saja,” ujar Pramono.
“Bukankah kemarin Anda bilang ada berkas yang sedikit bermasalah?” tanya Sulastri.
Pramono membuka map dokumen di meja, lalu mengambil ballpoint yang terselip di saku kemejanya.
“Saya dan Rudolf sudah menyelesaikannya, beruntungnya saudari membawa semua data diri dan juga surat nikah, jadi memudahkan saya menyiapkan berkasnya.”
Laki-laki itu kemudian menyodorkan lembaran dokumen kepada Sulastri. “Tolong tanda tangan di sini.”
Sulastri menandatangani dengan cepat, tatapannya masih mengamati setiap arahan dari sang pengacara.
Pramono menyesap teh hangat yang di siapkan salah seorang pembantu, netranya menatap Sulastri dalam. “Usahakan saat mediasi, saudari menjawab dengan tenang apapun pertanyaan yang diajukan hakim, dan jangan sampai terprovokasi oleh keterangan suami saudari, agar proses kita berjalan lancar.”
Sulastri mengangguk mantap.
“Baik, saya rasa cukup untuk hari ini, kita akan bertemu kembali lusa nanti.” Pramono lalu beranjak dari duduknya seraya berpamitan. “Sampaikan salam saya kepada Tuan Van Beek,” imbuhnya.
“Baik, akan saya sampaikan.”
Mereka kemudian berjalan beriringan menuju mobil Pramono, laki-laki itu berhenti sejenak sebelum masuk ke mobilnya.
“Ehm … kalau tidak keberatan, lusa nanti saya akan menjemput saudari untuk berangkat bersama, kebetulan rumah saya tidak jauh dari sini,” tawarnya.
Sulastri terdiam sejenak, bibirnya bergumam pelan.
“Ee—”
“Aku akan mengantarkannya sendiri,” sela Petter dingin.
Pramono seketika tersenyum masam, kemudian berbalik menyapa Petter yang baru datang.
“Selamat pagi, Tuan. Saya datang untuk memberitahukan jadwal mediasi saudari Sulastri, mungkin nanti Saudari bisa menjelaskan pada Anda.”
Petter mengangguk pelan, tatapannya masih tajam.
Pramono dengan cepat membuka pintu mobilnya, lalu kembali berpamitan, dan pergi meninggalkan halaman rumah Petter.
Sulastri berjalan pelan menuju teras, membereskan bekas cangkir teh setelah itu membawanya ke dapur. Langkahnya terhenti saat suara dingin Petter menyentak pendengarannya.
“Kenapa tidak memberitahuku, kalau ada tamu yang datang?!”
“Meneer sedang di gudang, bagaimana saya bisa memberi tahu!” sahut Sulastri sembari melanjutkan jalannya.
Petter mendengus kesal. “Kau bisa saja menyuruh Broto atau para pekerja, lagipula jarak gudang dan rumah tidak begitu jauh.”
“Tuan Pramono sendiri yang mengatakan, cukup saya yang menyampaikan pada, Meneer.”
“Tetap saja, seharusnya kau memberitahuku!”
Sulastri menghela napas pelan. “Baik, lainkali kalau ada siapapun yang datang, akan saya laporkan,” ujarnya, sorot matanya setengah terpejam—malas.
“Ah, Meneer … saya besok pagi harus ke pasar membeli beberapa keperluan untuk tujuh bulanan Anne, Mbok Sum bilang ada yang kurang,” lanjutnya sembari mencuci cangkir teh.
Petter mengerutkan alisnya, tatapannya menyelidik. “Dengan siapa kau akan pergi?”
“Dasim yang akan mengantarkan.”
“Kenapa Dasim?”
Sulastri mengangkat setengah bahunya, napasnya terdengar berat. “Kalau tidak Dasim lalu siapa? Dokter Anderson?!”
Petter menelan ludah kasar, bibirnya terkatup rapat. “Bukankah kau bisa minta bantuanku?!”
“Meneer ‘kan sedang sibuk dengan panenan, bagaimana mungkin saya minta bantuan, lagi pula pergi dengan Dasim juga sama saja.”
Petter berjalan perlahan, mendekati Sulastri yang sedang mengelap tangannya. “Aku yang akan mengantarmu besok.”
“Tidak perlu, biar Dasim saja.”
“Apa kau lupa bahwa di luar sana berbahaya, kau lupa kejadian terakhir yang menimpamu?!”
“T-ta—”
Sulastri setika tertegun saat bebalik, Petter sudah berada tepat di hadapannya. Posisi badannya yang terjepit meja makan membuatnya tidak bisa bergerak leluasa. Petter masih menatapnya, sorot matanya dingin—seolah membekukan udara di sekitarnya.
“Apa kau tidak bisa patuh dan menjawab iya saat aku memberi perintah!”
Bersambung.
Nurut Lastri nurutt daripada di terkam ... 🤣