“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”
Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.
Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.
Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.
Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Lima
Davina mandi sambil berurai air mata. Sejak mamanya meninggal dan ayahnya nikah lagi, hanya Kevin yang memberikan perhatian padanya. Papanya sibuk, begitu juga ibu tirinya.
Hidupnya berubah sejak memiliki ibu tiri. Dia seperti hidup di dalam sangkar. Semua yang dilakukan di dalam rumah, hanya sekolah saja waktu dia menghirup udara luar. Jika ingin membeli sesuatu ke supermarket atau mal dia harus ditemani Kevin, abang tirinya.
Dia tak mengenal pria selain papa dan abang tirinya, karena sekolah dipilihkan yang khusus untuk wanita.
"Apa salah jika aku jatuh cinta dengan bang Kevin, karena duniaku selama ini hanya berputar dengannya saja," gumam Davina dalam hatinya.
Saat Davina sedang membersihkan badannya, pintu kamar mandi terbuka. Dia ingin mengambil handuk untuk menutupi tubuh, Kevin menepis tangannya.
"Kenapa sekarang malu? Tadi kamu tanpa malu membuka baju di depanku!" seru Kevin dengan suara datar.
Davina hanya menunduk tak menjawab ucapan abangnya. Dia menutupi bagian inti tubuh dengan tangannya.
Kevin mendekati dan memeluk pinggangnya. Dia lalu membantu Davina mandi. Gadis itu sepertinya malu, tapi abang tirinya tetap melakukan apa yang dia inginkan.
Setelah selesai memandikan adiknya, Kevin menggendong tubuh Davina dan meletakan di atas kasur dengan lembut. Dia lalu memberikan kemejanya.
"Pakai baju itu, besok baru aku pesan baju untukmu!" seru Kevin.
"Ya, Bang!"
"Ingat Davina. Apa yang kita lakukan hanya karena kamu yang memaksa dan menggodaku. Jangan berpikiran yang bukan-bukan. Aku hanya menganggap kamu sebagai adik. Aku tak suka wanita cengeng sepertimu!" seru Kevin. Setelah mengucapkan itu dia masuk ke kamar mandi.
Davina tak bisa lagi menahan air matanya. Dia seakan disadarkan pada kenyataan jika Kevin tak pernah suka dengannya. Dia tak boleh berharap lebih dari abang tirinya itu.
Lelah menangis akhirnya Davina terlelap. Napasnya pelan, wajahnya terlihat damai tapi sembab, mungkin karena terlalu lelah menangis. Rambutnya yang basah menempel di pipi, membuatnya tampak rapuh seperti anak kecil yang baru saja kehilangan arah.
Kevin merasakan sesuatu, dadanya terasa sesak melihat Davina yang tampak sedih. Dia mengecup pelan dahi adik tirinya itu.
"Maaf Davina, aku harus menyadari kamu, kalau kita tak mungkin bisa bersatu. Papa pasti tak merestui hubungan ini," gumam Kevin dalam hatinya.
Cahaya lampu kuning temaram menyapu wajah Davina yang tertidur dengan kemeja putih miliknya. Kemeja itu kebesaran, jatuh longgar sampai menutupi pahanya. Kevin menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang berisik.
“Kenapa semua terasa salah, tapi juga sulit untuk kuhindari?” bisik Kevin pelan. "Aku tau kita tak akan mungkin bisa bersama, temboknya terlalu tinggi, tapi hatiku masih mengharapkan kamu!"
Ia duduk di tepi ranjang, mengamati wajah gadis itu. Satu sisi dirinya ingin pergi, tapi sisi lain menolak meninggalkan Davina sendirian. Sejak dulu, sejak mama gadis itu meninggal, hanya dia yang bisa melihat kesedihan di balik senyum Davina. Papa mereka terlalu sibuk, sementara ibunya tak pernah bisa dekat dengan gadis itu.
Kevin mengulurkan tangan, menyibak rambut yang menutupi wajah adik tirinya itu. Sentuhannya lembut, hampir ragu. Ia tahu, seharusnya tidak ada perasaan lain di antara mereka, tapi garis batas itu sudah kabur entah sejak kapan.
“Mungkin aku cuma ingin melindungimu. Aku tak mau kamu jatuh ke pria yang tak bertanggung jawab,” ucap Kevin lirih, tapi suaranya nyaris seperti pengakuan. "Apakah perasaan ini karena sayang atau cinta?"
Perlahan, Kevin berbaring di sebelah Davina. Ia menarik selimut, membiarkan tubuhnya berjarak satu lengan dari gadis itu. Tapi beberapa detik kemudian, Davina menggeliat kecil, tanpa sadar mendekat. Kepalanya menyentuh bahu Kevin. Pria itu menahan napas, tidak berani bergerak.
Entah karena dingin atau mimpi, tangan Davina terangkat dan menggenggam ujung kemeja Kevin. Seolah takut ia pergi.
Dan tanpa sadar, Kevin membiarkan dirinya diam di sana. Ia menatap langit-langit kamar, memejamkan mata perlahan. Suara napas Davina yang teratur jadi satu-satunya hal yang terdengar. Hingga akhirnya, dalam hening yang aneh itu, mereka tertidur berdua.
**
Matahari mulai naik perlahan di ufuk timur. Burung-burung mulai bersahut di pepohonan, dan udara pagi membawa aroma tanah basah. Kevin membuka mata pelan. Sesaat, ia lupa di mana dirinya berada, sampai matanya menangkap sosok Davina yang masih tidur di pelukannya.
Tubuhnya kaku. Sejenak, ia ingin memundurkan diri, tapi tangan Davina masih menggenggam lengan bajunya. Wajahnya tampak begitu damai, seperti tak ingin bangun dari dunia yang menenangkannya.
Dia akhirnya pelan-pelan bangkit, melepaskan genggaman tangan Davina tanpa membangunkannya. Ia berdiri di tepi ranjang, menarik napas panjang lalu berjalan ke arah jendela. Tirai dibuka, dan cahaya matahari pagi masuk menerpa ruangan, menyingkap segala sisa ketegangan semalam.
“Ini harus berhenti di sini,” ucapnya dalam hati, tapi nada suaranya terdengar seperti seseorang yang mencoba meyakinkan diri sendiri. "Aku harus menghilangkan semua rasa ini!"
Ia lalu mengambil ponselnya. Menghubungi asistennya, Andra. "Antarkan segera sepasang baju wanita ukuran S dengan pakaian dalam ke hotel!"
Setelah itu, dia menuju kamar mandi, membasuh wajahnya berkali-kali. Air dingin tak cukup untuk menenangkan pikirannya. Di cermin, bayangan dirinya menatap balik dengan tatapan lelah. “Aku sudah terlalu jauh melangkah. Tapi, semua juga karena Davina. Dia yang awalnya menggoda dan meminta," gumam Kevin. Dia mencoba menghilangkan rasa bersalah pada dirinya.
Saat ia keluar dari kamar mandi, Davina sudah bangun. Gadis itu duduk di tepi ranjang, menatap lantai dengan pandangan kosong. Kemeja yang dikenakannya terlipat di beberapa bagian, membuatnya tampak lebih kecil dari biasanya.
“Sudah bangun?” tanya Kevin hati-hati.
Davina menoleh pelan. “Iya,” jawabnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.
Hening. Udara di antara mereka terasa kaku.
Kevin berjalan mendekat, tapi berhenti setengah langkah. “Sarapan dulu, ya? Setelah itu kita pulang.”
Davina mengangguk tanpa menatapnya. Saat Kevin hendak berbalik, Davina tiba-tiba bersuara, pelan tapi jelas.
“Bang, maaf untuk yang semalam. Aku salah karena meminta Abang untuk menemaniku!"
Kevin berhenti di tempat. Ucapan gadis itu menembus hatinya seperti jarum. Ia tak langsung menjawab, hanya menatap lantai untuk beberapa detik sebelum akhirnya mengembuskan napas berat.
“Kadang yang salah tidak selalu mudah dihindari, Dav. Suatu yang salah itu bisa jadi sangat kita inginkan,” ucap Kevin pelan.
Davina menunduk, bahunya bergetar pelan. Ia menggigit bibir, menahan sesuatu di dadanya. Kevin ingin mendekat, ingin menenangkan, tapi ia tahu, sedikit saja ia goyah, semua akan berulang. Jadi ia memilih keluar, meninggalkan gadis itu sendiri dengan pikirannya.
Siang menjelang. Mereka duduk di meja makan restoran, berhadapan tapi nyaris tanpa percakapan. Hanya bunyi sendok yang sesekali menyentuh piring. Kevin lebih banyak menatap keluar jendela, sementara Davina menatap gelas di depannya, tak benar-benar minum.
Setelah makan, Kevin berdiri. “Ayo, pulang. Aku sudah minta mobil disiapkan.”
Davina hanya mengangguk. Dalam perjalanan pulang, suasana di mobil masih sama. Hening. Mata Davina memandangi jalanan tanpa benar-benar melihat. Pikirannya jauh, melayang ke kejadian semalam, ke perasaan yang ia sendiri tak tahu harus disebut apa.
Satu jam perjalanan mereka sampai di rumah. Kemarin papa dan mama mereka menghubungi Kevin, pria itu mengatakan kalau Davina terpaksa menginap karena pusing. Dia juga ikut menginap. Kevin mengatakan dua kamar yang dia sewa dan menunjukan buktinya, walau sebenarnya hanya satu yang digunakan berdua dengan adiknya. Papa begitu percaya dengannya sehingga tak menanyakan hal lain lagi.
Saat kaki mereka menginjak ruang keluarga, Kevin melihat ada Tia. Tunangannya itu tampak memandanginya dengan wajah cemberut dan tatapan menyelidik.
"Apa kalian menginap bersama?" tanya Tia tak sabar ingin tahu apa yang terjadi.
Kevin memandangi Tia dengan tatapan tajam. Sementara itu Davina langsung menuju kamarnya. Tangan pria itu berada di dalam saku.
"Apa kalian tidur bareng?" tanya Tia lagi. Dia tampak tak sabar menunggu jawaban dari tunangannya itu. "Kemarin kamu katakan sudah pulang, tapi kenapa tadi Tante bilang kamu menginap di hotel dengan Davina? Sebenarnya kalian ada hubungan apa?"
tega niat ibunya Kevin, Davina suruh nanggung sendiri akibatnya
semangatttt kev dg penuh tggjawab, abaikan sementara mamamu itu, yg egois🤭 aslinya ibu tiri sdh Nampak