Sebuah bakti kepada orang tua, mengharuskan perempuan berumur 27 tahun menikah dengan laki-laki pilihan kedua orang tuanya yang selama ini ia anggap sebagai adik. Qila yanh terbiasa hidup mandiri, harus menjalani pernikahan dengan Zayyan yang masih duduk di bangku SMA. “Aku akan membuktikan, kalau aku mampu menjadi imam!” Zayyan Arshad Qila meragukannya karena merasa ia lebih dewasa dibandingkan dengan Zayyan yang masih kekanakan. Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja? Bagaimana keduanya menghadapi perbedaan satu sama lain? Haloo semuanya.. jumpa lagi dengan author. Semoga kalian suka dengan karya baru ini.. Selamat membaca..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali ke Kontrakan
Lima hari liburan Qila dan Zayyan, sudah sampai di penghujung. Besok mereka harus sudah kembali ke Daerah Timur karena baik Qila maupun Zayyan harus kembali ke aktivitas normal mereka.
Dua hari yang tersisa mereka putuskan untuk menginap di salah satu wisata yang menawarkan penyewaan tenda di pinggir Pantai. Dengan memesan via online, Zayyan memesan tenda camping di pinggir Pantai lengkap dengan alat barbeque selama satu malam.
Qila mengemudikan mobil sang ayah menuju Pantai karena Zayyan belum bisa mendapatkan SIMnya. Untuk sampai ke Pantai, mereka perlu menempuh perjalanan sekitar 2 jam lebih.
Saat sampai di sana, mereka memarkir mobil di tempat yang disediakan dan berjalan menuju area camping. Ada sekitar 10 camping berjajar di sana dan keduanya mendapat camping urutan nomor 9.
“Kamu mau istirahat dulu?” tanya Zayyan setelah meletakkan barang bawaan mereka.
“Iya.”
“Ya sudah. Aku jaga di luar, sekalian melihat sekitar.” Qila mengangguk.
Zayyan keluar dan melihat sekitar. Mereka berangkat agak siang, sehingga saat sampai matahari sudah sangat Terik. Untuk bisa menikmati Pantai, mereka harus menunggu sampai matahari sedikit tenggelam.
Kebanyakan penyewa yang menyewa tenda, adalah pasangan. Entah pasangan halal seperti dirinya atau bukan, Zayyan tidak peduli karena saat memesan ia tidak ditanyai surat nikah seperti saat memesan kamar di penginapan atau hotel.
Tetapi ada pula keluarga yang beranggotakan 3 dan 4 orang. Ia memperhatikan sekitar yang ternyata memilih turun ke Pantai dengan cuaca yang panas.
Dirinya saja yang mengenakan kacamata hitam masih merasakan silau, apalagi mereka yang tanpa kacamata hitam? Apa kulit mereka tidak terbakar?
Satu jam kemudian, Qila bangun dan melihat Zayyan yang bersantai di depan tenda. Zayyan sudah dengan celana pendek dan kaos oblong, seolah sudah siap untuk menyusuri Pantai.
“Ayo! Hawanya sudah tidak terlalu panas.” Kata Zayyan sat Qila keluar dari tenda.
“Aku haus.” Zayyan menyodorkan air mineral.
“Terima kasih.”
Setelah minum, Qila melihat sekitar dan tidak menemukan siapapun. Ia merasa heran karena saat datang, banyak orang yang berlalu lalang.
“Ke mana semua orang?” tanyanya.
“Mereka sudah ke Pantai sejak tadi.”
“Benarkah?” Qila berdiri dan melihat ke arah Pantai.
Benar! Semua orang sudah ada di pinggir Pantai. Ada yang bermain air, ada yang menikmati santapan di warung pinggir Pantai, ada pula yang bermain layang-layang atau kejar-kejaran.
Zayyan memakaikan topi Pantai yang sempat ia beli ke kepala sang istri. Tetapi Qila justru mengajaknya duduk dan membongkar barang bawaannya.
Qila mengeluarkan pembersih wajah, kapas dan sunscreen dari dalam tas makeupnya. Pertama ia membersihkan wajah Zayyan dan mengaplikasikan sunscreen. Zayyan tersenyum.
Sudah sebulan ini ia ikut merawat wajahnya seperti Qila. Kulit wajahnya yang biasanya berminyak, kini mulai berkurang dan masalah jerawatyang sering ia alami juga lambat laun membaik berkat perawatan yang Qila beli untuknya.
Selesai dengan wajah Zayyan, Qila melakukan untuk wajahnya sendiri karena sunscreen harus diaplikasikan setiap 4 jam.
“Ayo!” ajak Zayyan.
Qila mengangguk dan menyambut tangan Zayyan. Keduanya tanpa alas kaki, berjalan menuju Pantai. Awalnya mereka hanya menikmati semilir angin di pinggiran, tetapi melihat orang-orang bermain air, Qila mengajak Zayyan untuk bermain air juga.
Pertama mereka hanya berjalan di pinggir dengan merasakan ombak yang menerjang sampai mata kaki mereka, tetapi lambat laun, mereka sudah merendam kaki sampai betis. Qila yang mengenakan celana sampai membiarkan celananya basah karena Zayyan melarangnya untuk menggulung celana ke atas.
“Udahan, Bang! Aku lapar.”
“Ayo! Dari sini langsung mandi, sebentar lagi barbequenya diantar.” Qila mengangguk.
Keduanya kembali ke tenda dan mengambil pakaian, lalu mengantre di kamar mandi umum. Saat mereka kembali, alat barbeque dan bahan-bahan sudah ada di depan tenda.
Segera Zayyan menyalakan kompor portable dan mulai memasak barbeque. Qila hanya bertugas mengaduk sesuai arahan suaminya.
“A…” Qila membuka mulutnya dan memakan daging yang disuapkan Zayyan.
Qila juga melakukan hal yang sama kepada Zayyan, membuat keduanya terlihat seperti pasangan yang romantis. Setelah selesai makan, Zayyan mengajak Qila masuk ke dalam tenda karena hari sudah senja.
Selanjutnya mereka menghabiskan waktu di dalam tenada, kecuali saat melaksanakan kewajiban. Sebenarnya ada acara api unggun di luar, hanya saja Qila enggan untuk bergabung dengan banyak orang.
“Bang… Abang dengar suara, tidak?” tanya Qila yang menghentikan drama di ponselnya.
“Suara apa?” Zayyan melepaskan earphonenya.
Keduanya memasang telinga dengan seksama hingga suara yang Qila dengar, terdengar kembali.
Zayyan yang sadar dengan suara tersebut segera menutup telinga istrinya.
“Suara apa?” tanya Qila yang bingung.
“Suara…” Zayyan tidak menjawab, melainkan memasang earphone ke telinga Qila.
Qila yang masih penasaran, masih menatap suaminya meminta penjelasan. Dengan berbisik, Zayyan akhirnya memberi tahu istrinya, jika suara yang mereka dengar adalah suara orang yang sedang melakukan pendakian.
Terkejut dengan yang dikatakan suaminya, Qila menutup mulutnya tak percaya. Bagaimana bisa mereka melakukannya di tempat seperti ini?
“Kenapa? Apa kamu juga mau?” Qila menggeleng dengan cepat.
Zayyan tertawa telah berhasil menggoda sang istri. Ia memang ingin melakukannya, tetapi ia tidak segila itu sampai melakukannya di tempat seperti ini. Bagaimana jika ada yang merekam diam-diam?
Selain itu, ia tidak akan rela pendakian mereka di dengar atau disaksikan orang lain selain mereka berdua. Zayyan menggeleng dan mengajak Qila untuk tidur.
Pagi setelah melaksanakan sholat subuh, Qila dan Zayyan berjalan menyusuri Pantai. Zayyan mengeratkan jaket Qila agar istrinya tidak kedinginan. Mereka berjalan sambil bergandengan tangan.
Setelah puas berjalan, keduanya singgah ke warung untuk sarapan. Mereka membeli nasi kuning untuk sarapan. Selesai makan, keduanya kembali ke tenda dan mengemasi barang mereka dan bersiap kembali.
Sesampainya di rumah, kedua orang tua Qila menyambut mereka dan sudah menyiapkan oleh-oleh untuk mereka bawa pulang.
“Kalian hati-hati di jalan! Kabari Ayah kalau ada apa-apa.” kata Mukshin yang memeluk anaknya.
“Iya, Yah. Tenang saja.”
“Kalau ada masalah, bicarakan baik-baik. Jangan gunakan emosi!” kata Mukhsin kepada Zayyan.
“Iya, Yah. Saya akan ingat.” Zayyan menyalami kedua mertuanya dan mengajak Qila masuk ke dalam mobil travel.
Mereka kembali melakukan perjalanan selama 9 jam lamanya dan sampai di kontrakan dengan selamat. Setelah memilah oleh-oleh yang dibawakan oleh kedua orang tuanya, Qila kemudian membaginya untuk diantarkan ke rumah kedua orang tua Zayyan.
“Mau diantar besok apa sekarang?”
“Kalau sekarang apa tidak kemalaman?” tanya Qila.
“Tidak apa. sekalian kita menginap di sana. Bukankah masih satu hari besok liburnya?” Qila mengangguk setuju.
Sudah lama juga mereka tidak menginap di sana. Segera Qila bersiap dan berangkat ke rumah kedua orang tua Zayyan.