NovelToon NovelToon
Retak Yang Tak Kembali

Retak Yang Tak Kembali

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Pelakor jahat / Penyesalan Suami / Antagonis / Selingkuh / Sad ending
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Dgweny

Nayara dipaksa menghadapi Pengkhianatan menyakitkan dari suaminya, Ardan (Direktur Konstruksi), hanya untuk menyadari bahwa pengusiran itu adalah upaya putus asa Ardan untuk melindunginya dari konspirasi berbasis Hutang Karma masa lalu.
.
.
Didorong rasa cinta yang besar terhadap Ardan , Nayara berpacu melawan waktu memperebutkan 'Kunci Master' ke The Grid, sistem infrastruktur yang dikendalikan secara Biometrik oleh kesadaran seorang anak.
.
.
Setelah menyelamatkan Ardan dari transformasi digital, Nayara menemukan ancaman yang sebenarnya kini merasuki orang terdekatnya, menandakan bahwa perang melawan The Grid baru saja dimulai.

______________


Tolong dibantu untuk like , komen dan follow akun aku ya, bantuan kalian sangat berharga untuk aku🫶

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24: Abu di Atas Singgasana

Haiii Guys sebelum baca tolong di bantu klik like nya ya sama bolehhh komen nya dan follow nya jangan lupa hihihi. Bantuan kalian sangat berarti buat aku🫶

Happy reading 🌷🌷🌷

...****************...

Dunia Nayara kehilangan suaranya. Ledakan di area loker Borobudur itu bukan hanya menghancurkan beton dan logam, tapi juga merobek realitas yang baru saja ingin ia tata kembali. Asap hitam membubung tinggi ke langit biru Magelang, kontras dengan ketenangan stupa-stupa kuno yang memandang bisu dari kejauhan.

Nayara merangkak, telapak tangannya tergores kerikil dan serpihan kaca. Napasnya pendek, berbau mesiu dan debu. Di tangannya, ia mencengkeram erat cincin perak milik Ardan yang dilemparkan sosok misterius itu. Cincin itu masih hangat, seolah menyimpan sisa detak jantung suaminya.

"Ardan... Ardan!"

Suaranya parau, tenggelam dalam kebisingan sirene polisi dan teriakan tim medis yang mulai merangsek masuk. Lorong loker itu kini menjadi gundukan puing yang membara.

Dion berlari mendekatinya, wajahnya berlumuran jelaga. Ia menarik bahu Nayara. "Nay! Jangan masuk! Area itu tidak stabil!"

"Ardan di dalam, Dion! Dia tidak sempat keluar!" Nayara meronta, matanya nanar menatap titik ledakan.

Tim pemadam kebakaran menyemprotkan air, menciptakan uap panas yang menyesakkan. Saat asap mulai tersingkap, pemandangan itu memuakkan. Mira Adelia ditemukan pingsan beberapa meter dari lokasi, terlindung oleh pilar beton yang kokoh. Pak Tirtayasa tewas seketika di tempat ia merangkak tadi.

Namun, di titik di mana brankar Ardan berada, hanya ada lubang menganga dan besi-besi yang melengkung. Tidak ada tubuh. Tidak ada sisa-sisa manusia yang bisa dikenali.

Empat jam setelah kejadian, Nayara duduk di bangku RSUD terdekat. Ia menolak diobati meski dahinya terluka. Ia hanya menatap kosong ke arah pintu Unit Gawat Darurat, berharap keajaiban bahwa Ardan akan didorong keluar oleh perawat.

Dion duduk di sampingnya, memegang dua cangkir kopi yang sudah dingin.

"Nay," suaranya rendah. "Tim forensik tidak menemukan sisa-sisa organik yang cukup untuk mengonfirmasi... korban kedua di titik nol."

Nayara menoleh perlahan. "Maksudmu, dia hancur menjadi abu?"

"Atau dia tidak ada di sana saat ledakan itu mencapai puncaknya," Dion meletakkan kopi itu di lantai. "Dengar, aku sudah memeriksa rekaman bodycam salah satu petugas polisi yang masuk. Sesaat sebelum ledakan, ada kilatan cahaya aneh—bukan api, tapi seperti lampu blitz yang sangat kuat. Dan sosok berjubah hitam itu... dia tidak muncul dari lorong masuk. Dia muncul dari dalam reruntuhan."

Nayara teringat mata dingin sosok itu. "Dia memberiku cincin Ardan. Kenapa?"

"Sebagai tanda. Atau sebagai umpan," Dion mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan foto cincin itu yang diambil sebelum disita sementara. "Nay, perhatikan bagian dalam cincinnya."

Nayara memicingkan mata. Di bagian dalam cincin perak yang menghitam itu, ada ukiran mikro yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Bukan nama mereka, bukan tanggal pernikahan.

"GRID 0.0"

"Apa itu?" bisik Nayara.

"Koordinat atau kode akses sistem," jawab Dion. "Ardan bukan hanya Direktur Operasi, Nay. Kita baru sadar bahwa ayahnya, Rayesa tua, terlibat dalam pengembangan sistem infrastruktur digital bawah tanah yang disebut 'The Grid'. Ini adalah proyek yang menghubungkan seluruh database keuangan dan rahasia operasional perusahaan konstruksi terbesar di Asia Tenggara."

Nayara terhenyak. Jadi, kotak kayu yang dikejar Tirtayasa dan Mira bukan berisi bukti penggelapan biasa. Itu berisi Master Key digital untuk mengendalikan infrastruktur itu.

"Siapa pun sosok berjubah itu, dia tidak hanya menyelamatkan kotak itu. Dia mungkin saja... menyelamatkan Ardan untuk alasan yang lebih gelap."

Malam mulai turun, menyelimuti Magelang dengan hawa dingin yang menusuk. Nayara diminta memberikan keterangan di kantor polisi, namun ia tertahan oleh kedatangan seorang wanita tua berwibawa yang turun dari mobil hitam mewah.

"Nyonya Nayara Rayesa?"

Wanita itu mengenakan kebaya hitam tradisional, wajahnya keriput namun matanya tajam dan jernih. Nayara mengenalinya dari foto-foto lama di perpustakaan rumah Ardan.

"Eyang Martha?"

Dia adalah ibu kandung Rayesa tua, nenek Ardan yang selama ini dikabarkan mengasingkan diri di sebuah biara di lereng Gunung Merapi.

"Ikutlah denganku, Nak. Polisi tidak akan memberimu jawaban yang kau cari. Mereka hanya melihat apa yang meledak, bukan apa yang terbakar di bawahnya."

Nayara melirik Dion yang mengangguk setuju. Mereka mengikuti Eyang Martha menuju sebuah vila tua di pinggiran Borobudur. Di dalam vila yang berbau dupa dan kayu jati lama, Eyang Martha duduk di kursi goyangnya.

"Ardan belum mati, Nayara. Darah Rayesa tidak berakhir di sebuah loker tua," ucap Eyang Martha dengan suara bergetar namun tenang.

"Lalu di mana dia, Eyang? Siapa orang berjubah itu?"

Eyang Martha mengambil sebuah gulungan kertas kuno dari laci mejanya. "Itu adalah 'The Keeper'. Sebuah faksi rahasia yang dibentuk oleh kakek Ardan untuk memastikan 'The Grid' tidak pernah jatuh ke tangan orang-orang serakah seperti Tirtayasa atau Mira."

Nayara gemetar. "Jadi mereka menyelamatkan Ardan?"

"Mereka 'mengambil' Ardan. Dia adalah kunci hidup yang dibutuhkan untuk mengaktifkan tahap akhir sistem tersebut. Ardan dilarikan bukan untuk disembuhkan, tapi untuk diintegrasikan."

"Diintegrasikan? Ini bukan film fiksi ilmiah, Eyang! Suamiku manusia!" Nayara berteriak frustrasi.

"Manusia yang memegang kode biometrik di dalam DNA-nya, Nak. Kenapa kau pikir loker itu hanya terbuka dengan darahnya? Karena sistem itu mengenali dia."

Nayara meninggalkan vila Eyang Martha dengan membawa sebuah kenyataan baru yang lebih mengerikan. Ardan masih hidup, tapi mungkin bukan sebagai Ardan yang ia kenal. Ia adalah 'properti' bagi faksi The Keeper.

Ponselnya berdering. Pesan teks dari nomor tak dikenal.

"Datanglah ke Sektor 4. Jika ingin melihat suamimu untuk terakhir kali."

Pesan itu disertai dengan pin lokasi di tengah hutan pinus di kawasan perbukitan Menoreh.

"Jangan pergi sendirian, Nay," Dion memperingatkan saat mereka berada di dalam mobil. "Ini jebakan lain."

"Aku tidak peduli, Dion. Jika mereka menginginkan suamiku, mereka harus melewati aku."

Mereka memacu mobil menembus kabut tebal perbukitan. Jalanan menanjak dan berliku, dengan jurang di satu sisi. Saat mereka mencapai lokasi, hanya ada sebuah bangunan beton tua yang mirip bunker sisa perang.

Nayara turun, memegang pisau roti yang masih ia simpan sebagai senjata pertahanan diri terakhir. Pintu bunker terbuka perlahan.

Di dalam, suasananya sangat kontras. Itu adalah laboratorium canggih yang tersembunyi. Monitor-monitor besar menampilkan grafik data yang mengalir cepat. Di tengah ruangan, terdapat sebuah tabung kaca berisi cairan biru jernih.

Dan di dalamnya... Ardan.

Ia mengapung dengan berbagai kabel terhubung ke punggung dan kepalanya. Matanya tertutup, namun tangannya tampak bergerak sedikit, seolah merespons aliran data tersebut.

"Hentikan ini!" teriak Nayara.

Sesosok pria keluar dari kegelapan. Dia tidak mengenakan jubah, tapi setelan jas rapi. Wajahnya... Nayara terbelalak.

"Pak Basuki?"

Basuki Adelio. Ayah Mira. Pria yang dikabarkan bangkrut dan tewas lima tahun lalu.

"Selamat malam, Nayara yang pemberani," Basuki tersenyum, namun senyumnya tidak mencapai matanya yang dingin.

"Anda... Anda masih hidup? Mira... Mira menghabiskan hidupnya mencari keadilan untuk Anda, dan Anda ada di sini?" Nayara mundur, shock.

"Mira adalah bentuk kekecewaan. Dia terlalu emosional, sama seperti ibunya. Dia mencari balas dendam murahan, sementara aku mencari kekuatan sejati. Ardan adalah alat terbaik yang pernah diciptakan Rayesa. Aku tidak menghancurkannya, aku sedang... mengoptimalkannya."

Basuki berjalan mengitari tabung Ardan. "Dengan Ardan sebagai inti biometrik, aku bisa meretas seluruh jaringan infrastruktur negara. Aku bisa menghentikan air, mematikan listrik, atau menguras rekening bank siapa pun hanya dengan pikiran Ardan."

"Dia suamiku! Bukan server komputer!" Nayara menyerang Basuki, namun dua pengawal bersenjata muncul dari belakang tabung dan menahan lengannya.

"Lepaskan dia!" Dion masuk, namun ia juga segera diringkus.

Basuki menoleh ke arah monitor besar. "Proses integrasi mencapai 98%. Saat mencapai 100%, Ardan Prasetyo yang kau kenal akan menghapus memori emosionalnya untuk memberi ruang pada kapasitas data 'The Grid'."

"Ardan! Bangun!" Nayara berteriak, air mata mengalir deras. "Ingat aku, Dan! Cincin ini! Ingat rumah kita!"

Tiba-tiba, mata Ardan di dalam tabung terbuka. Matanya tidak lagi berwarna cokelat hangat, tapi berpendar biru pucat. Ia menatap Nayara, namun tidak ada pengenalan di sana. Hanya tatapan dingin mesin.

"Integrasi 99%," suara komputer bergema.

"Bunuh mereka," perintah Basuki pada pengawalnya. "Kita tidak butuh saksi dari dunia lama."

Saat salah satu pengawal menodongkan pistol ke kepala Nayara, ledakan terjadi. Tapi bukan ledakan fisik. Seluruh monitor di ruangan itu pecah serentak. Cairan biru di tabung Ardan mulai bergejolak hebat.

Ardan memukul kaca tabung dengan kekuatannya yang tak manusiawi.

PRANG!

Tabung itu pecah. Air biru tumpah ke lantai, menciptakan arus pendek yang mematikan di seluruh laboratorium. Basuki terpelanting terkena gelombang kejut.

Nayara berlari ke arah Ardan yang terjatuh lemas di lantai, kabel-kabel tercabut dari kulitnya.

"Dan! Ardan!"

Ardan terengah-engah. Warna biru di matanya mulai memudar, kembali ke cokelat. Ia menatap Nayara, tangannya yang gemetar meraih wajah istrinya.

"Na... ya... ra..."

"Ya, ini aku. Kita harus pergi, Dan!"

Dion berhasil melepaskan diri di tengah kekacauan dan membantu Nayara memapah Ardan. Mereka berlari keluar menuju mobil saat alarm bahaya bunker mulai meraung.

Basuki bangkit, wajahnya penuh luka bakar ringan akibat ledakan monitor. "Kau tidak bisa membawanya pergi! Dia milikku!"

Mereka masuk ke mobil dan melaju turun dari bukit Menoreh. Di belakang mereka, bunker tua itu meledak karena kegagalan sistem inti.

Di dalam mobil, Ardan menggenggam tangan Nayara erat-erat. Tubuhnya sangat panas, seolah ia sedang demam tinggi.

"Maafkan aku, Nay. Di dalam sana... aku melihat semuanya. Aku melihat masa depan yang direncanakan ayahku dan Basuki. Ini belum berakhir."

"Tidur saja, Dan. Kita akan ke tempat aman."

"Tidak aman, Nayara," Ardan menatapnya dengan pandangan yang membuat Nayara merinding. "Basuki hanyalah wajah dari satu kelompok. Ada 'The Grid' yang lebih besar. Dan sekarang... aku tahu di mana bagian terakhirnya."

Saat mobil melaju di tengah kegelapan, ponsel Nayara bergetar. Tapi bukan pesan teks biasa.

Tiba-tiba, audio mobil mereka menyala sendiri. Sebuah suara frekuensi radio yang aneh terdengar, diikuti oleh suara tangisan seorang anak kecil.

"Tolong... Ayah... Ibu..."

Nayara menatap Ardan. Wajah Ardan berubah pucat.

"Suara itu..." bisik Ardan. "Itu bukan anak kecil biasa. Itu adalah AI utama dari sistem Grid yang baru saja diaktifkan Basuki sebelum kita lari. Dia mencari inangnya."

Ponsel semua orang di jalanan mulai berdering serentak, menciptakan simfoni dering yang mengerikan di tengah sunyi malam Menoreh.

Nayara melihat ke luar jendela. Dari kejauhan, lampu-lampu di kota Yogyakarta mulai berkedip-kedip tidak beraturan, membentuk sebuah pola yang menyerupai simbol di cincin Ardan.

"Apa yang terjadi, Dan?"

Ardan menatap tangannya yang mulai memancarkan cahaya biru samar dari balik pori-porinya.

"Nayara, turunkan aku dari mobil. Sekarang. Jika tidak... kota ini akan terbakar karena aku."

Di spion mobil, Nayara melihat puluhan drone hitam kecil muncul dari balik kabut, mengejar mereka dengan laser merah terkunci tepat di kepala Ardan.

Bersambung......

1
Sanda Rindani
kok jd istri tolol,
Dgweny: wkwk aku juga Gedeg Ama nayara ka🤣
total 1 replies
Nindi
Namanya Mira Lestari atau Mira Adelia, thor?
Dgweny: Adeliaa wkwk typo aku ka hehe
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!