Rio seorang master chef yang menyukai seorang wanita penyuka sesama jenis
bagaimana perjuangan Rio akankah berhasil mengejar wanita yang Rio cintai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayunda nadhifa akmal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 20
Malam itu Rey tertidur di bahuku, wajahnya tampak begitu kurus,aku harus mengurusnya agar bayi dalam kandungannya sehat.
Aku mengusap pelan perutnya yang sedikit membuncit,ia tampak menggeliat dengan segera ku usap rambutnya agar ia tertidur kembali.
Pagi hari yang cerah....
Aku bergegas menuju supermarket terdekat untuk membeli susu ibu hamil untuk Rey,dan beberapa buah buahan.
saat aku sampai di apartemen ku lihat Rey tampak terduduk di lantai sedang menangis,
"Rey"
aku bergegas memeluknya dan menenangkannya,
"aku takut kamu pergi Rio"ujar Rey menangis di pelukan ku,ku tenangkan Rey sampai tangisannya reda.
aku membawanya ke kamar mandi, membersihkan wajahnya yang tampak lelah.
aku segera memasak dan membuat susu hangat untuk Rey.
"minumlah secara perlahan"
Rey meneguk susu hangat,aku tersenyum melihat Rey.
Aku menyajikan makanan,Rey tampak tertunduk.
"Rey, kenapa tak segera memakannya,apa terlihat tidak enak"
"aku mual Rio"
Aku segera menyuapinya,Rey memakannya secara perlahan.
"kau harus makan yang cukup,bayi kita butuh nutrisi Rey"
"ya Rio"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sinar matahari pagi menembus jendela apartemen, tapi hatiku terasa berat, bahkan sesak. Rey duduk di tepi tempat tidur, wajah pucat dan gemetar. Botol obat dokter tergenggam di tangannya, tapi ia menunduk, menolak.
“Rey… minum obatnya sekarang!” suaraku pecah, lebih keras dari yang kuduga. Panik dan takut menyelimuti setiap kata yang keluar dari mulutku.
“Aku… aku tidak mau, Rio!” suaranya nyaris tersobek oleh tangis. “Aku takut… takut bayi kita kenapa-kenapa jika aku meminumnya!”
Aku melangkah mendekat, menatapnya dengan mata membara, marah sekaligus cemas. “Rey! Kau tidak mengerti! Dokter bilang ini penting… penting untuk keselamatanmu dan bayi kita!”
Rey mengguncang-guncangkan kepala, menutupi wajahnya dengan tangan gemetar. “Aku… aku merasa lebih baik tanpa itu! Aku… aku hanya ingin menjaga bayi kita sendiri tanpa obat itu!”
Jantungku berdegup kencang. Rasa marah bercampur panik membakar dadaku. “Kau tidak bisa memilih begitu saja, Rey! Aku… aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi pada kalian!”
Ia menangis tersedu, tubuhnya gemetar di tempat tidur. Aku merasakan takut yang menjerat hatiku. Tanpa sadar, aku meraih tangannya, memegangnya erat. “Dengar… aku marah bukan karena ingin menyakitimu! Aku… aku hanya ingin menjaga kalian tetap aman!”
Rey menatapku, air mata mengalir di pipinya, napasnya tersengal. Dengan suara bergetar, aku menambahkan, “Aku tidak akan membiarkan kalian… aku tidak akan kehilangan kalian begitu saja!”
Perlahan, ia meraih botol obat itu, tangannya gemetar. Aku menuntunnya dengan lembut, tapi tegas, memastikan ia menelan obat itu.
Setelah itu, aku menariknya ke pelukanku, menekannya ke dadaku. “Aku janji, Rey… aku selalu akan menjaga kalian, aku tidak akan membiarkan hal buruk terjadi,” bisikku, suaraku pecah karena campuran cinta, marah, dan ketakutan yang tumpah.
Rey menangis, menempel di dadaku, sementara aku terus mengusap punggungnya, menenangkan hatinya, dan menenangkan hatiku sendiri. Hanya di momen itu, aku sadar—cinta dan ketakutan bisa sama kuatnya, tapi yang terpenting adalah tetap bersama.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam itu, suasana apartemen tenang. Rey duduk di sofa, menunduk sambil memainkan jemarinya. Wajahnya memerah, seperti menahan sesuatu yang ingin diungkapkan.
Aku duduk di sebelahnya, memperhatikannya dengan lembut. “Rey, ada apa? Kau tampak gelisah,” tanyaku.
Rey menghela napas panjang, kemudian menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Rio… aku… aku ngidam sesuatu,” ucapnya pelan, hampir berbisik.
Aku tersenyum kecil, mencoba menenangkan hatinya. “Ngidam apa, Rey? Kau tahu aku akan mencarikan untukmu.”
Rey menunduk lagi, menutupi sebagian wajahnya dengan tangan. “Aku… aku malu bilangnya… tapi aku ingin makan es krim cokelat, malam-malam gini,” bisiknya, suaranya nyaris terdengar gemetar.
Aku tertawa pelan, meraih tangannya, dan menggenggamnya hangat. “Tidak perlu malu, Rey. Kalau itu yang kau inginkan, kita bisa ambil sekarang juga,” ujarku sambil menatapnya penuh kasih.
Wajahnya memerah semakin dalam, tapi matanya berbinar. “Benarkah, Rio?” tanyanya, suaranya sedikit lebih yakin.
“Benar. Apa pun yang kau inginkan, aku akan usahakan. Ini bagian dari merawatmu… dan bayi kita,” jawabku, sambil tersenyum lembut.
Rey tersenyum malu, tapi kini ada rasa lega di wajahnya. Aku memeluknya dari samping, membiarkan momen sederhana ini menghangatkan kami di malam itu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Tanpa menunggu lama, aku mengenakan jaket dan keluar ke jalan yang dingin. Toko 24 jam agak jauh, dan di perjalanan aku harus berkelok mencari yang buka. Hati ini campur aduk—takut Rey marah kalau terlambat, tapi juga geli membayangkan dia menunggu es krim di sofa sendirian.
Akhirnya, aku berhasil mendapatkan es krim cokelat favorit Rey. Dengan hati-hati kubawa pulang, membuka pintu apartemen, dan melangkah ke ruang tamu.
Namun, pemandangan yang kutemui membuat hatiku mencelos. Rey sudah terlelap di sofa, selimut menutupi tubuhnya, napasnya tenang. Di sampingnya, masih ada botol obat dan gelas susu yang belum habis.
Aku tersenyum pelan, menaruh es krim di meja kecil. Pelan, aku membungkusnya agar tetap dingin untuk besok. Kemudian, aku duduk di sampingnya, memeluknya dari belakang, membiarkan Rey tetap tidur.
“Besok, bayi kecil… kau dan ibumu akan mendapatkannya,” bisikku lembut, hati ini campur aduk antara lega, sayang, dan geli. Malam itu, misi es krim berakhir tanpa Rey tahu, tapi rasa cinta dan perhatian semakin menguat di antara kami.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi berikutnya, aroma sinar matahari pagi menyelinap ke kamar. Rey duduk di sofa, wajahnya merah padam, mata menatapku penuh kemarahan.
“Rio! Kenapa kau tidak membangunkanku tadi malam?!” teriaknya, suaranya setengah menggeram.
Aku tersentak, menatapnya bingung. “Maksudmu… es krimmu?”
“Ya, es krim cokelatku! Kau bilang akan membawakannya untukku… tapi aku bangun tadi tengah malam, dan kau… kau sudah ada di sampingku, tapi diam saja!” protesnya sambil menunjuk sofa.
Aku menahan tawa, tapi mencoba terdengar serius. “Rey… aku lihat kau sudah tertidur pulas… aku tak tega membangunkanmu. Lagipula, aku pikir kau akan lebih senang makan es krim ini pagi ini dengan segar, bukan saat ngantuk dan lelah.”
Rey menempelkan tangan di pinggang, mukanya masih merah. “Rio! Itu momen ngidamku, bukan besok pagi! Kau tidak mengerti penderitaanku!”
Aku tertawa pelan, meraih tangannya, dan menggenggamnya hangat. “Baiklah, bayi kita, aku minta maaf. Tapi lihat sisi positifnya—es krimnya masih ada, dan sekarang kita bisa menikmatinya bersama-sama. Bukankah itu lebih manis?”
Rey menatapku, marahnya perlahan memudar, digantikan senyum kecil yang malu-malu. “Hmpf… baiklah… tapi kau jangan ulangi lagi, ya, Rio!”
Aku tersenyum, memeluknya dari samping. “Janji… es krim dan ngidam mu akan selalu jadi prioritasku.”