Dalam dunia yang koyak oleh perang berkepanjangan, dua jiwa bertolak belakang dipertemukan oleh nasib.
Yoha adalah bayangan yang berjalan di antara api dan peluru-seorang prajurit yang kehilangan banyak hal, namun tetap berdiri karena dunia belum memberi ruang untuk jatuh. Ia membunuh bukan karena ia ingin, melainkan karena tidak ada jalan lain untuk melindungi apa yang tersisa.
Lena adalah tangan yang menolak membiarkan kematian menang. Sebagai dokter, ia merajut harapan dari serpihan luka dan darah, meyakini bahwa setiap nyawa pantas untuk diselamatkan-bahkan mereka yang sudah dianggap hilang.
Ketika takdir mempertemukan mereka, bukan cinta yang pertama kali lahir, melainkan konflik. Sebab bagaimana mungkin seorang penyembuh dan seorang pembunuh bisa memahami arti yang sama dari "perdamaian"?
Namun dunia ini tidak hitam putih. Dan kadang, luka terdalam hanya bisa dimengerti oleh mereka yang juga terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr_Dream111, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lena dan parasnya
Baru saja membuka mata, aku langsung dibuat terpesona akan kecantikan Lena untuk kesekian kalinya. Gadis itu cantik dengan memakai gaun biru yang kami beli kemarin.
" Kakak sudah bangun? " Tanya Lena di sela-sela menyisir rambut panjangnya.
Aku segera bangkit dari kursi lalu sedikit meregangkan leher dan bahu, " bagaimana kamu bisa tau aku baru bangun? "
" Aku dengar suara napas kakak dengan energi sihir. "
" Bakatmu memang hebat. " Kagumku.
" Maaf kak aku mungkin bisa memakai baju bagus tapi aku tidak bisa berdandan merias wajahku. Kakak pasti malu mengajak gadis yang tidak berdandan ke acara pernikahan. " Dia nampak ragu dna sedih. Entah bagaimana dia bisa berpikir hal itu padahal kau saja tidak pernah memikirkannya.
" Tanpa rias pun kau tetap cantik. Jangan merendahkan dirimu, walau kau buta tapi kau sudah ditakdirkan diberi wajah cantik tanpa harus dibalut kosmetik. "
" Ah, kakak terlalu berlebihan. Sebaiknya kakak segera mandi sebelum kita terlambat. "
" Ya aku mandi dulu. "
***
Setelah semua persiapan selesai, aku dan Lena berangkat menuju kuil suci di distrik militer Burga. Ketika keluar dari penginapan, Lena cukup menjadi pusat perhatian para pejalan kaki dan ini lebih dari apa yang ku perkirakan. Wajar saja parasnya yang cantik alami dengan gaun biru membuatnya terlihat seperti putri seorang bangsawan atau semacamnya.
Kugenggam erat tangan Lena agar tidak ada satu orang yang berani mendekat mengingat wanita cantik biasanya sering menjadi korban pelecehan di kota-kota besar begini.
Dan saat tiba di kuil, sekali lagi kecantikan Lena seperti magnet yang menarik mata para tamu undangan bahkan pendeta yang memimpin upacara juga tak luput dari pesona adikku ini. Meski begitu, entah kenapa aku tidak merasa senang atau bangga saat orang-orang mengaggumi parasnya justru tanpa sebab aku kesal sendiri. Perasaan macam aapa ini sebenarnya? Harusnya aku senang mereka tidak membicarakan kekurangan Lena.
Kami berdua dipersilahkan duduk di kursi paling depan dan paling dekat dengan altar. Beberapa menit berlalu, Daylen dan Gideon bersama pasangan mereka memasuki kuil berbarengan dengan suara dentingan lonceng.
Seragam militer hijau dengan beberapa medali menempel di dada mereka berdua mengingatkanku saat pertama kali kami dilantik menjadi secara rahasia. Selain itu, 2 mempelai wanitanya juga cantik dan anggun dengan gaun putih panjangnya. Mereka berempat menyusuri karpet merah menuju Altar.
Sedikit rasa iri menggelitik hatiku saat mereka saling bergandeng tangan.
Apakah suatu saat aku bisa seperti mereka?
Tapi siapa yang mau menjadi pasanganku?
Aku bahkan tidak tau apa itu rasa suka atau bahkan cinta seperti yang orang-orang katakan. Lagipula memangnya ada wanita yang mau menerima seorang pembunuh sepertiku?
Kami menikmati acara dengan khitmat mulai dari ucapan para mempelai, upacara pemasangan cincin pernikahan, ikrar janji suci yang ditutup ciuman sebagai tanda ikatan cinta di atas altar. Setiap apa yang terjadi kuceritakan semua kepada Lena agar dia bisa membayangkan. Pipinya merah merona saat aku menceritakan momen para pengantin berciuman.
Acara ditutup dengan pesta makan yang diiringi musik orkestra meriah di luar kuil. Aku menikmati makanan sambil mengobrol dengan Gideon dan Daylen. Kami bercerita dan mengenang masa-masa saat tim 2 masih utuh. Sementara Lena, dia pergi ke meja yang berisi puding dan kue.
Saking asik mengobrol sampai tak terasa senja tiba dan para tamu mulai berpamitan pulang. Begitu juga denganku, aku segera mencari Lena yang sedang diajak mengobrol beberapa orang. Kami berpamitan dengan pengantin dan rasanya sedikit sedih karena hari ini adalah hari terakhir kami bertemu. Gideon beserta keluarga katanya akan berbulan madu ke benua sebrang besok. Selanjutnya mereka akan kembali bertugas di kesatuan militer dan tidak ada waktu untuk mengunjungiku di Ventbert. Aku juga sama, kesibukanku di Ventbert juga menghalangiku untuk menemui mereka lagi.
Aku memberi salam perpisahan dan memberikan hadiah kepada mereka 2 kalung yang kubeli bersamaan saat berbelanja baju dengan Lena. Gideon dan Daylen lalu menjabat tanganku bergsntian sambil memberi semangat untuk tidak menyerah menghadapi traumaku.
Selain itu, mereka juga menghadiahi sebotol wine yang katanya super langka dan mereka berdua patungan untuk membelikanku. Sedangkan Lena, dia berbisik-bisik dengan 2 mempelai wanita entah apa yang ia tanyakan. Kami berdua pergi meninggalkan kuil diiringi lambaian tangan mereka berempat.
***
" Aku terlalu banyak makan manisan sampai pusing dan ingin muntah! " Cetus Lena yang segera mejatuhkan badan ke ranjang setelah kami tiba di kamar penginapan.
" Manisan yang kau makan ada kandungan alkohol wajar kalau pusing dan mual, "
Dia tiba-tiba bangkit dengan wajah merah. " Kenapa kakak baru bilang! "
Aku menutup pintu lalu berjalan duduk ke kursi, " Aku sudah memberitahumu, tapi kau justru langsung memakannya. "
Lena duduk bersimpuh dan seperti dugaanku dia mabuk. " Aku tidak tahan mencium bau manisan... "
" Sekarang tidurlah. Jangan banyak gerak nanti bisa muntah. " Ucapku.
Tanpa menjawab Lena langsung berbaring lagi dan tertidur pulas. Sepertinya dia baru pertama kali mabuk. Lena yang biasanya penakut dan pemalu justru sembarangan mengumbar pahanya padahal di kamar ada aku. Paha Lena putih dan mulus tapi aku tidak boleh seenaknya menyentuh atau berpikir kotor. Aku langsung menyelimutinya sebelum pikiranku kemana-mana.
Tapi ditengah malam Lena memuntahkan semua makananya di lantai. Aku sampai meminta maaf berulang kali kepada para pegawai penginapan tapi mereka memakluminya karena apa yang di alami Lena sering terjadi setiap malam. Kata para pekerja penginapan, banyak pengunjung yang tidak tau kalau Burga terkenal dengan makanan manis beralkohol.
Aku membawa Lena ke rumah sakit terdekat dan saat kembali, kami diberikan kamar lain. Dan Lena hanya meringkuk di ranjang membalut diri dengan selimut sampai pagi hari.
***
" Aku mau pergi mencari oleh-oleh untuk paman dan bibi, " ucapku dengan melangkah mendekati ranjang, " yakin tidak ikut? "
Lena diam seribu bahasa dan masih meringkuk dalam selimut. Aku menarik selimut itu dan melihat dia menangis.
" Kenapa menangis? Apa ada yang mengejekmu semalam? "
Dia menggeleng pelan sambil mengusap mata, " Padahal kakak sudah mengajakku ke tempat mewah tapi aku malah mempermalukan kakak. "
Ku hela nafas sejenak kemudian duduk di ranjang lalu mengelus kepala adikku itu, " Yang terjadi semalam adalah ketidaksengajaan. Aku tidak merasa malu dan justru aku kecewa dan marah kalau kau begini terus. "
" Maaf... " Ucapnya lirih. Suaranya nyaris tak kudengar karena dia menutup wajah dengan bantal.
" Sekarang mandi dan berpakaian rapi. Aku akan menunggu di depan pintu kamar. "
20 menit kemudian gadis itu keluar dan kali ini memakai baju biasa. Kami menuruni lantai 2 diiringi lirikan mata para pegawai dan tamu terhadap Lena. Mereka melirik karena kejadian semalam bahkan ada yang mengira Lena muntah karena sedang hamil muda. Kuacuhkan rumor semacam itu lagipula kami tidak menetap di kota ini.
Setelah keluar penginapan, kulihat Lena merasa lega. Dia mulai seperti biasa walau saat kuperhatikan wajahnya masih memikirkan yang semalam. Setelah membeli oleh-oleh, aku mengajak Lena berkeliling dan mengunjungi beberapa tempat agar dia bisa melupakan yang semalam.
Perlahan tapi pasti, senyum indah itu mulai kembali. Dia mulai banyak bicara seperti biasa dan mengulangi apa yang dia lakukan kemarin. Ya, gadis itu tidak kapok membeli dan memakan kue lagi padahal sudah kuperingatkan berulang kali jika di Burga hampir semua manisan dan kue pasti mengandung alkohol.
Disela-sela berkeliling, kami menyempatkan diri berhenti di pelabuhan untuk melihat armada kapal perang Magolia yang membuatku penasaran sejak kecil karena rumor yang beredar bahwa angkatan laut Magolia adalah armada terkuat selain Aklux dan Varaya. Dan kali ini aku melihat dengan mata kepalaku sendiri ada puluhan kapal perang bersandar di pelabuhan. Dan katanya masih ada ratusan kapal perang lagi yang tersebar di beberapa pelabuhan.
Kapal perang Magolia rata-rata adalah kapal jenis baru bertenaga uap. Pasokan batu bara yang melimpah membuat kerajaan sanggup mengoperasikan banyak kapal jenis ini.
Kami berjalan terus sambil menikmati makanan khas Burga di restoran-restoran yang menggoda selera. Rasanya yang lezat dan unik menggoyang lidah kami, menciptakan sensasi kenikmatan yang tak terlupakan. Lena dan aku saling cerita, dan tanpa sadar menguatkan ikatan kami sebagai saudara.
Tak terasa hari sudah sore saat kami berdua kembali ke pelabuhan dengan niat melihat matahari tenggelam. Tapi, seorang pelaut memberitahuku jika ingin melihat langit senja lebih indah jika dilihat dari atas bukit yang ada di barat kota. Tanpa pikir panjang, aku mengajak Lena ke sana dengan menyewa kereta kuda.
***
Benar kata pak tua itu, mataku terpana setelah kakiku menapak di atas bukit ini. Seakan tak percaya ada tempat seindah ini di kota yang padatnya bukan main. Bagaimana tidak, bukit ini hanya berisi hamparan rumput hijau tak ada satupun pohon yang tumbuh ditambah aku langsung dihadapkan oleh pemandangan samudra selatan yang membentang sampai timur. Tempat ini seperti surga yang kubaca di buku-buku dongeng.
" Apa seindah itu? " Ucap Lena yang dibarengin hembusan nafas. " Dari tadi kakak diam saja, "
Ku menoleh pada Lena sambil memberinya senyum, " Ya! Tempat ini sangat indah. "
Lena mengangguk dan balas memberiku senyuman, " Dari hembusan anginya, aku juga bisa membayangkan betapa indahnya tempat ini. "
Kami duduk bersama menikmati hembusan angin laut dan hangatnya mentari senja yang mulai meredup lalu perlahan tenggelam. Pemandangan yang menakjubkan ditambah suasana sepi nan hening karena cuma kami berdua di atas bukit ini. Sudah sangat lama sekali aku tidak rasakan suasana seperti ini.
" Kudengar Burga adalah pusat militer Magolia, tapi kenapa kakak cuma mengunjungi 2 teman saja? Kemana teman kakak yang lain? " Tanya Lena membuka percakapan kami.
Mendengar pertanyaan Lena, sesaat ku teringat kematian teman-temanku. " Semuanya sudah pergi dan tersisa kami bertiga. " Jawabku lirih.
" Pergi? Maksud kakak dipindah tugas? " Tanya Lena polos. Wajahnya menunjukan rasa keingintahuan yang begitu besar.
" Mereka sudah dibebas tugaskan. "
" Begitukah? Apa suatu saat kakak akan mengunjungi mereka? "
" Ya, mungkin suatu saat aku akan ikut bersama mereka juga. "
Seketika seluruh tubuhku membatu ketika tangan lembut yang dingin menyentuh pipiku. Aku menoleh dan melihat Lena tersenyum tulus. " Aku tidak tau apa maksud perkataan kakak. Tapi sebelum kakak pergi ke tempat teman kakak, aku ingin kau lebih lama disini untukku dan untuk ayah ibu. "
" Tentu saja aku akan bersama kalian cukup lama. Tapi aku harus pergi mencari obat untuk matamu dulu. "
Lena menggeleng pelan seakan sudah pasrah dan tak berharap matanya bisa melihat, " Selama ada kakak, ayah, dan ibu. Aku sudah tidak berharap mataku sembuh. "
" Aku dengar kau mau jadi dokter kan? Karena itu kau harus bisa melihat. Lagipula aku sudah menemukan dimana obat itu berada. Hanya perlu mencarinya saja. " Jelasku yang membuatnya terdiam sejenak.
" Kakak serius? Ini tidak bohongkan? "
" Tapi efek samping obat ini menghilangkan kemampuan energi sihirmu. "
" Bisa melihat dan meraih impianku lebih berharga daripada energ sihir semacam ini. Lebih baik menghilang agar aku tidak diambil istana dan bisa terus bersama ayah dan ibu. "
Aku memegang tangannya yang menyentuh pipiku. " Aku hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk pergi mencarinya jadi bersabarlah. "
" Aaaah... Saat aku sembuh nanti, orang pertama yang sangat ingin kulihat adalah kakak. Ayah dan ibu bilang kalau kakak tampan jadi aku penasaran seperti apa wajahmu. "
Sesaat ketika hendak membalas perkataan Lena, sayup-sayup kulihat titik aneh di atas cahaya jingga matahari yang nyaris tenggelam. Ku tajamkan mataku. Terlihat dengan jelas itu adalah balon udara mengeluarkan asap hitam lalu jatuh ke laut.
Aku punya firasat buruk soal ini. Apalagi saat kulihat kebawah, juga ada beberapa tentara dan polisi yang berlari ke pos mereka.
" Lena kita harus segera pulang ke Ventbert! " Kataku. Segera kuberdiri dan menarik tangan Lena.
" A-ada apa kakak? Mengapa buru-buru sekali? "
" Akan kujelaskan saat di Ventbert. Sekarang diam dan ikuti aku."
Kami menuruni bukit secepat mungkin dan segera menuju penginapan untuk mengemasi barang-barang. Aku juga terpaksa membeli tiket kereta menuju Ventbert dari calo dengan harga 3x lipat. Aku tidak peduli semahal apa harga tiketnya, yang penting kami bisa pulang karena aku sangat khawatir dengan paman dan bibi. Tidak salah lagi balon udara itu milik Varaya dan kemungkinan keluar dari jalurnya.
^^^To be continue^^^