Aluna gadis yatim piatu berusia 21 tahun, menjalani hidupnya dengan damai sebagai karyawan toko buku. Namun hidupnya berubah setelah suatu malam saat hujan deras, ia tanpa sengaja menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya. Di sebuah gang kecil ia melihat sosok pria berpakaian serba hitam bernama Darren seorang CEO berusia 35 tahun yang telah melenyapkan seorang pengkhianat. Bukannya melenyapkan Aluna yang menjadi saksi kekejiannya, Darren justru membiarkannya hidup bahkan mengantarnya pulang.
Tatapan penuh ketakutan Aluna dibalik mata polos yang jernih menyalakan api obsesi dalam diri Darren, baginya sejak malam itu Aluna adalah miliknya. Tak ada yang boleh menyentuh dan menyakitinya. Darren tak ragu melenyapkan semua yang pernah menyakiti Aluna, entah itu saat sekarang ataupun dari masa lalunya.
Ketika Aluna perlahan menyadari siapa Darren, akankah ia lari atau terjatuh dalam pesona gelap Darren ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mantan Perawat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.22
© Pukul 10.00 : Arvan Corporation,Ruang Kerja Darren ©
Darren Arvanindra duduk santai di kursinya, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme perlahan, nyaris seperti detak jantung yang penuh perhitungan. Senyum tipis bermain di bibirnya saat pintu ruangannya kembali diketuk.
"Masuk."
Pintu terbuka, Renzo kembali melangkah masuk dengan langkah mantap. Wajahnya masih tetap tenang, meski ada sedikit perubahan dalam sorot matanya. Ini kabar yang bagus, Darren bisa menebaknya dari cara Renzo membawa dirinya.
"Lapor, Pak. Saya sudah beres menghubungi koneksi kita di bank," ucap Renzo, suaranya profesional. "Mereka sudah setuju untuk menekan orangtua Rayyan agar segera melunasi utang mereka. Besok pagi, mereka akan menerima surat peringatan resmi untuk perampasan aset rumah dan isinya."
Darren menyeringai pelan, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan ekspresi puas. "Bagus. Berarti sebentar lagi mereka akan mulai panik. Aku ingin melihat sampai mana mereka bisa bertahan sebelum akhirnya datang merangkak minta belas kasihan."
Renzo melanjutkan, "Untuk PT. Aruna Sentosa, saya sudah menggali lebih dalam tentang investor terbesar mereka, kontrak kerja sama, bank tempat mereka mengajukan pinjaman, serta pajak mereka. Ada kabar menarik, Pak. Investor terbesar mereka ternyata baru saja mengajukan kerja sama dengan kita, Arvan Corporation."
Darren terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Oh, ini menarik. Sangat menarik. Artinya, kita bisa memanfaatkannya. Aku ingin investor itu menarik dananya sesegera mungkin. Tekan mereka, buat mereka ragu dengan prospek Aruna Sentosa. Jika perlu, beri mereka tawaran kerja sama yang lebih menguntungkan dari kita. Pastikan mereka berbalik arah."
"Saya mengerti, Pak. Saya akan segera mengurusnya," jawab Renzo mantap.
Darren menatapnya tajam. "Bagus. Untuk bank yang memberikan pinjaman ke Aruna Sentosa, apa mereka punya celah?"
"Ada," jawab Renzo tanpa ragu. "Bank itu cukup ketat soal pengembalian dana, dan kebetulan, PT. Aruna Sentosa masih memiliki sejumlah tunggakan. Kita bisa mendorong mereka untuk segera menuntut pembayaran atau membekukan pinjaman. Itu akan membuat mereka semakin terjepit."
Darren menyeringai puas. "Lakukan. Aku ingin mereka sesak napas sebelum akhir bulan. Kalau bisa lebih cepat, lebih baik."
"Baik, Pak. Saya akan atur semuanya," ucap Renzo sebelum akhirnya berdiri. "Kalau tidak ada instruksi lain, saya akan kembali ke ruangan saya."
Darren melambaikan tangannya santai. "Pergilah. Aku tidak suka menunggu hasil."
Renzo mengangguk dan keluar dari ruangan dengan tenang, meninggalkan Darren yang kini bersandar nyaman di kursinya. Tangannya terangkat ke dagu, matanya menatap langit kota dari balik kaca tinggi di ruangannya.
Ia menghela napas panjang, menikmati betapa rencananya mulai bergerak seperti yang ia inginkan.
Dengan santai, Darren meraih ponselnya dan membuka chat yang tadi ia kirim untuk Aluna. Pesannya sudah terbaca, tapi tidak ada balasan.
Mata Darren menyipit.
"Masih menangis, hm?" gumamnya pelan, nyaris seperti berbicara sendiri. "Gara-gara mulut murah Rayyan? Jangan khawatir, sayang. Aku sudah menyiapkan pembalasan untuknya."
Senyumnya semakin melebar saat ia menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke kursi.
"Kau hanya perlu menungguku, Baby Chubby."
© KAMAR KOS ALUNA: 11:40 SIANG ©
Aluna duduk di atas kasur, bersandar pada dinding kamar yang dingin. Kedua lututnya ia tekuk, merapat ke dadanya. Jarinya menggenggam selimut, erat, seolah mencari pegangan di tengah sesaknya perasaan.
Air mata kembali menggenang di sudut matanya.
"Aku lega..." gumamnya pelan. "Akhirnya aku bisa bilang semuanya. Tapi... kenapa masih sakit?"
Ia memejamkan mata, mengatur napas yang terasa berat. Dadanya berdenyut perih, seperti ada luka yang tak kunjung sembuh.
"Apa aku cewek yang semurah itu?" bisiknya, menatap kosong ke arah lantai. "Sampai mereka bisa menjadikanku bahan taruhan? Sampai... Kak Rayyan bisa bicara seperti itu?"
Tenggorokannya terasa kering. Ia mengusap pipinya yang basah, tapi air mata terus mengalir.
"Mereka tertawa malam itu... Aku masih ingat jelas. Aku berdiri di tangga, dengar semuanya... Kak Rayyan bilang aku polos dan lugu... cukup dengan kata-kata manis, aku pasti mau diajak jalan..."
Tawa mereka bergema lagi di kepalanya. Ia menggigit bibir, menahan isak yang mulai pecah.
"Kenapa aku harus jadi bahan taruhan? Aku salah apa...? Aku cuma mau hidup tenang... Aku nggak pernah ganggu mereka..." suara Aluna semakin kecil, nyaris tak terdengar.
Ia menggeleng pelan, tak ingin tenggelam dalam rasa sakit itu lagi. Dengan punggung tangan, ia menghapus sisa air mata yang masih mengalir.
Perlahan, matanya turun ke lututnya yang masih ada bekas luka. Jemarinya mengelus pelan kulit yang masih terasa perih di sana.
Bayangan lain muncul di benaknya.
Gudang belakang toko buku.
Tangan-tangan kasar yang mencengkeramnya.
Wajah dingin dua pria suruhan Yasmin.
Aluna meremas selimutnya erat. Kalau saja saat itu kak Darren dan temannya tidak datang...
Ia menggigit bibir, menolak membayangkan kemungkinan terburuk.
"Aku bisa saja... nggak ada lagi sekarang..."
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.
"Kak Darren..." bisiknya, suaranya bergetar.
Tatapannya melembut. Pikirannya melayang pada sosok pria yang bahkan baru dikenalnya kemarin.
"Kalau bukan karena kak Darren... aku mungkin nggak akan selamat..." Aluna mengelus lututnya pelan, mengingat bagaimana Darren mengobati lukanya siang kemarin. Sentuhannya lembut, tatapannya serius,dingin,tajam tapi ada ketulusan di sana.
"Terima kasih..." ujarnya pelan, matanya menerawang. "Terima kasih, kak Darren..."
Bibirnya mengulas senyum tipis, meski air mata masih membasahi pipinya.
"Walaupun baru pertama kali ketemu...kak Darren bukan cuma menyelamatkanku... tapi juga... membawaku makan malam di vila pribadinya..."
Matanya menatap kosong ke dinding kamar.
"Dekat pantai..."
Ia menarik napas dalam, mengingat suara ombak yang menenangkan. Cahaya bulan yang membias di air laut. Rasa tenang yang sejenak membuatnya lupa akan ketakutannya.
"Untuk pertama kalinya... setelah sekian lama... aku bisa merasa nyaman..."
Tangannya meraba pipinya yang masih terasa hangat.
"Apa kak Darren benar-benar tidak akan seperti kak Rayyan ? Atau... aku cuma kebetulan ada di sana?"
Aluna menggigit bibirnya.
Ia ingin percaya. Tapi rasa takut itu masih ada. Luka-luka yang ia simpan terlalu dalam.
Ia kembali menatap lututnya. Luka itu masih ada, seperti bekas yang ditinggalkan ingatan pahitnya.
"Aku cuma mau hidup tenang... Apa itu terlalu sulit...?" bisiknya, sebelum akhirnya membenamkan wajah di antara lututnya dan menangis dalam keheningan.
©Markas Darren : Penjara Bawah Tanah,Pukul 12.55©
Jeritan Ayah dan Ibu Yasmin masih menggema di dalam sel yang lembap. Mata mereka terus menatap m4y4t yang menggantung di depan mereka, tubuhnya mulai membiru, darahnya mengering, dan bau busuk mulai menyebar.
"Tolong... turunkan dia... kami mohon..." Ibu Yasmin terisak, suaranya nyaris habis karena terlalu banyak menjerit. Ayah Yasmin hanya bisa terisak, tubuhnya lemas bersandar di dinding, sementara wajahnya penuh ketakutan dan keputusasaan.
Zion, yang berdiri bersandar di pintu sel, hanya tertawa kecil. "Sial, mereka masih saja berisik. Aku lebih baik menghirup bau busuk m4y4t daripada mendengar tangisan menjijikkan mereka."
Beberapa penjaga sel lainnya tertawa, salah satunya mengangkat bahu. "Aku jadi ingin menyumpal mulut mereka dengan kain kotor."
Langkah berat terdengar mendekat. Hernan dan Arga memasuki penjara bawah tanah dengan ekspresi datar. Arga langsung melirik ke dalam sel. "Masih berisik?"
Zion menghela napas dramatis dan mengangguk. "Seperti burung gagak kelaparan. Aku bahkan bisa bertaruh mereka tidak akan berhenti sebelum lidah mereka kering."
Hernan melipat tangan di dada dan menatap m4y4t yang tergantung dengan mata datar. "Hm. Sudah mulai membusuk. Aku pikir bos akan menyuruh kita menggantinya dengan yang lebih segar."
Salah satu penjaga tertawa. "Kurasa itu ide yang bagus. Bagaimana kalau salah satu dari mereka?"
Mata Ayah Yasmin membelalak ketakutan, tubuhnya bergetar hebat. "Tidak... tidak... kami mohon... kami tidak ingin m4ti!"
Arga mendecih, lalu mendekat ke jeruji dan menunduk sedikit. "Lucu. Padahal putri kalian tidak pernah memikirkan kalian ketika dia berbuat kesalahan. Kenapa sekarang kalian baru panik?"
Zion terkekeh. "Tapi tenang saja, kami belum mendapat perintah dari Bos untuk membun*h kalian. Sayangnya, itu berarti kalian harus bertahan lebih lama dengan pemandangan ini."
Ayah dan Ibu Yasmin kembali menangis. Sementara itu, Hernan berbalik dan bertanya, "Bagaimana dengan Yasmin?"
Zion mengangkat bahu. "Belum sadar. Dia pingsan karena ketakutan."
Arga tersenyum miring. "Jadi gadis itu masih tidur nyenyak dengan teman barunya?"
Penjaga lain tertawa renyah. "Mungkin dia mimpi buruk. Atau justru sudah kehilangan akalnya sepenuhnya."
Hernan mendekatkan wajahnya ke Zion. "Aku harap dia tidak mati karena shock. Bos akan sangat kecewa jika dia tidak bisa menikmati pertunjukan lebih lama."
Zion menyeringai. "Aku yakin dia akan bertahan. Lagipula, Bos ingin hukuman ini berlangsung lebih lama, bukan?"
Mereka bertiga tertawa pelan di tengah suara jeritan yang tak kunjung reda dari sel sebelah.