Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Membakar Hati
Restoran Prive, Lantai Atas.
Cahaya lampu kristal menggantung rendah, membiaskan cahaya keemasan di atas meja bundar berlapis linen putih. Di hadapan Tessa, segelas wine berwarna merah tua dibiarkan menyentuh embun. Dia menatap sekeliling--tak ada tanda-tanda kehadiran pria yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat sejak membaca email itu.
“Semoga dia yang datang...” gumamnya pelan, nyaris seperti doa.
Di lantai bawah, David baru saja datang bersama Ghea. David menarikkan kursi untuk Ghea, gerak-geriknya manis namun terkesan dibuat-buat.
"Kenapa dia tiba-tiba mengajakku makan malam dengan alasan quality time dan nampak begitu perhatian padaku? Mencurigakan sekali," gumam Ghea dalam hati.
"Aku akan pesankan steak daging dan jus alpukat kesukaanmu," ujar David bersikap manis pada Ghea.
"Aku kira kau sudah lupa makanan kesukaanku," sahut Ghea datar.
David tertawa kecil tapi tak sampai di hati. "Mana mungkin aku lupa."
Di lantai atas.
Saat pelayan menarik kursi di hadapannya, Tessa langsung mengangkat wajah.
Yang duduk... bukan Leon.
Melainkan pria berkacamata bening dengan setelan hitam rapi, wajah tenang, dan senyum tipis yang tidak menjangkau mata. Aura elegan, tapi bukan yang ia tunggu.
"Selamat malam, Nona Tessa," ucapnya sembari mengangguk sopan. "Saya Rafael, asisten Tuan Varendra."
Tessa mengerjap. Senyumnya menghilang sepersekian detik sebelum ia pasang kembali topeng profesionalnya.
“Oh... saya kira Tuan Leon yang akan hadir malam ini.”
Rafael tersenyum simpul, memutar gelas wine-nya perlahan. “Tuan Leon tidak menemui klien sembarangan.”
Urat leher Tessa menegang. Meski ia menjaga postur duduk tetap anggun, batinnya menjerit.
“Aku sudah berdandan sepenuh hati, mengenakan gaun terbaikku — untuk Leon. Bukan untuk... asisten. Sialan.”
Rafael sekilas melirik jam di pergelangan tangan, seolah mengingatkan: waktu adalah miliknya, bukan milik siapa pun di ruangan ini.
"Kita langsung bahas detail kesepakatan kerjanya. Saya masih punya pekerjaan yang harus saya selesaikan."
Tessa terpaksa bersikap professional. Rafael tak memberi celah santai. Setelah pembahasan kerja sama selesai, mereka makan malam tanpa kata. Hingga di sela makan malam, Tessa akhirnya berkata, "Pertemuan selanjutnya, saya harap Tuan Leon saja yang mewakili Mahardika grup."
Rafael tersenyum tipis.
"Jika Nona ingin Tuan Leon yang mewakili Mahardika grup di pertemuan selanjutnya, saya pastikan Anda akan kecewa. Meski Tuan Leon begitu memesona, dia bukan tipikal pria yang mudah tertarik pada wanita. Apalagi..."
Rafael menatap penampilan Tessa yang memakai gaun cukup terbuka dan terkesan menggoda. “...terutama pada wanita yang berpakaian seolah-olah tubuh mereka adalah satu-satunya nilai jual.”
Tessa terbelalak, wajahnya seperti ditampar oleh sesuatu yang tak kasat mata. Namun, sebelum ia sempat melontarkan balasan pedas, suasana di ruangan berubah.
Seseorang melangkah masuk, pelan tapi penuh otoritas.
Langkahnya pelan tapi pasti.
Denting sepatu kulitnya menyatu dengan alunan piano jazz, membelah keheningan seolah waktu sendiri ikut menahan napas.
Rafael menoleh.
Tessa juga menoleh, dan... jantungnya seperti terseret ke dasar perut.
Leon.
Rafael menatap Leon. Meski Leon sering ditunjuk untuk menemui klien, tapi ia tak terlalu mengenal pria ini. Seseorang yang tak tercatat dalam struktur perusahaan. Tak punya ruangan. Tak pernah hadir di rapat direksi. Tapi tiap kali ada klien penting—terutama wanita—Varendra hanya berkata:
"Leon yang akan menemuinya."
Rambut Leon kali ini ditata rapi model koma hair, wajah tirus, mata hitam tajam yang tak memberi ruang untuk senyum.
Tapi Rafael tahu... auranya... persis seperti CEO misterius yang selalu mengenakan masker itu—Varendra, atasannya.Tatapannya menusuk, dingin, seperti sedang menilai, bukan memandang.
Leon berjalan tanpa banyak bicara. Berdiri tepat di samping Rafael.
Rafael berdiri dan menatap pria itu dengan kepala sedikit menunduk. “Tuan Leon.”
Sekilas, mata Tessa menyisir keduanya. Cara Rafael menunduk, cara Leon berdiri seperti penguasa.
"Siapa sebenarnya pria ini? Bahkan asisten CEO Mahardika grup menunduk hormat padanya."
Leon menarik kursi dan duduk di antara keduanya, angkuh dan tenang.
Senyumannya tipis, tak sampai ke mata.
“Jangan sungkan. Lanjutkan makan kalian. Aku hanya ingin tahu… sejauh mana seseorang bisa berpura-pura mencintai pria tua yang tak pernah benar-benar menyentuh hatinya.”
Tessa mengerutkan alis.
“Apa maksud Anda?”
Leon tidak menjawab. Tatapannya meluncur ke gelas wine, lalu ke wajah Tessa.
“Lanjutkan lakonmu, Nona Tessa. David membutuhkannya. Kau cocok sebagai selingkuhan—karena hanya pengkhianat yang percaya wanita murahan bisa menjadi cinta sejati.”
Rafael terdiam. Dalam hati ia bergumam, “Astaga. Sumpah, kata-kata orang ini bisa membakar hati siapa pun yang dengar.”
Tessa tercekat. “Apa... kau mengolok-olokku?”
“Aku justru berterima kasih,” bisik Leon pelan tapi menusuk. “Semakin cepat David melepas Ghea, semakin cepat aku bisa memperistrinya.”
Rafael tertegun. "Apa? Dia juga menyukai wanita yang bernama Ghea itu? Sama seperti Tuan Varendra?"
Tessa membeku.
Kepalanya penuh ledakan kecil yang saling bertabrakan.
"Leon... ingin menikahi Ghea?"
"Jadi ini semua—makan malam ini—undangan ini—hanyalah cara... mengacaukan permainan?"
Dan ia... hanya satu pion dalam permainan yang sejak awal tak ia pahami, apalagi kuasai.
Di lantai bawah.
Ghea memerhatikan gerak kepala David.
Ia menoleh cepat—lagi. Untuk ke sekian kali.
Dan saat pintu lift terbuka, mata David seperti membeku.
Tessa keluar.
Di belakangnya, Leon.
Tenang, tinggi, dan berbahaya. Bahkan tak satu pun kata diucapkan pria itu, tapi keberadaannya seperti badai yang menundukkan semua cahaya.
David tercekat.
Rahangnya mengeras. Tangannya menggenggam sandaran kursi, sedikit gemetar.
Ghea memerhatikan itu.
"Oh, pantas saja dari tadi kau menatap ke arah lift. Ternyata ada Tessa di lantai atas."
Ghea berkata ringan. Seolah kalimat itu tak bermakna apa-apa.
Tapi David menggeliat tak nyaman di tempat duduknya.
Ia mengangguk pelan, berpura-pura tidak salah tingkah.
“Ya... aku hanya penasaran. Tessa tadi naik ke atas, sendirian. Aku... khawatir dia tersesat.”
Ghea masih menatapnya.
“Tapi kau terus melihat ke arah lift. Sejak tadi.”
Suara Ghea tetap datar. Tak menuntut, tak menyindir. Tapi justru karena itulah kalimat itu terasa menampar.
David mencoba tertawa. Gagal.
“Ini pertemuan bisnis. Aku takut perwakilan Mahardika Grup tak puas dengan keuntungan yang kita tawarkan.”
Diam.
Ghea menyesap minumannya. Tenang.
Seolah tak ada yang salah.
Tapi dalam hati ia berkata,
“Kau takut kehilangan selingkuhanmu... bukan kesepakatan bisnis.”
Di mobil, dalam perjalanan pulang...
David mencoba mengulur waktu. Mengisi keheningan.
“Makan malam tadi menyenangkan, ya?”
Ghea hanya tersenyum simpul.
“Ya. Menyenangkan sekali. Bahkan bagian saat kau tidak fokus menatapku.”
Ghea tak lagi menyembunyikan sinisnya.
David terdiam. Matanya hanya ke depan, tak berani menatapnya.
Mobil berhenti di depan rumah Ghea.
“Kau tidak ikut masuk?”
David menggeleng, menatap jam tangan.
“Maaf, Sayang. Aku harus kembali ke kantor sebentar. Ada laporan yang harus dicek sebelum besok pagi.”
“Padahal tadi kau bilang hari ini full buat kita.”
“Aku juga ingin bersamamu... tapi tanggung jawab tidak bisa ditunda.”
Ghea menatapnya lekat-lekat. Tak membalas pelukan yang coba diberikan David.
Mobil David menjauh, tapi bukan ke arah kantor.
Ia menyetir menuju apartemen Tessa.
Tangannya mengepal di atas setir.
“Leon... siapa sebenarnya kau, hah?”
“Apa yang kau rencanakan pada Tessa?”
“Dan Tessa, aku tak yakin dia tak tertarik pada Leon.”
Ia mencengkeram stir erat-erat.
Bayangan tubuh Leon yang tinggi dan aura maskulinnya terpatri di kepalanya.
Kontras dengan bayangannya sendiri—pria yang hidup dari warisan istri.
“Tessa milikku. Dan aku akan pastikan dia tetap begitu.”
David bukan lagi pria hangat yang lembut seperti di depan Ghea.
Ia adalah pria yang sedang merasa kalah, terancam, dan terpojok.
Dan ia tahu... satu-satunya cara untuk membalikkan keadaan adalah mengendalikan Tessa. Lagi.
Di sisi lain, setelah masuk ke dalam kamar, Ghea melepaskan aksesoris satu per satu.
Cincin, kalung, anting.
Lalu ia menatap pantulan dirinya di cermin—mata itu tak bisa berbohong.
Ia tertawa kecil. Getir.
"Jadi... makan malam itu cuma akting, ya, David? Supaya aku percaya kalau hatimu masih buatku?"
Ia menyentuh dadanya.
"Padahal jelas-jelas... kau sudah milik perempuan itu."
Tapi baru saja ia menunduk untuk membuka sepatu, tubuhnya menegang.
Napasnya tercekat.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Vika ini terlalu curiga sama Leon yang akan menghancurkan Ghea lebih dalam daripada David - sepertinya kok tidak.
Ghea bersama Leon merasa hidup - merasa utuh dan sepertinya Leon benar mencintai Ghea dan pingin membantu Ghea mengembalikan haknya sebagai pewaris perusahaan tinggalan orang tuanya yang sekarang dikuasai si pecundang David.
Tapi baik juga kalau Vika mau menyelidiki siapa Leon dan apa maksud Leon mendekati Ghea.
W a d uuuuuhhhh siapa dia yang menjadikan Ghea membeku - tangannya mencengkeram tali tas.
Leon senang ini terbukti malah tersenyum wkwkwk
tapi tenang saja Vika, Leon orangnya baik dia yang akan menghancurkan David bersama selingkuhannya.