Prince play boy tingkat dewa yang sudah terkenal dengan ketampan nya, cukup dengan lirikan nya mampu membuat para kaum hawa menjerit histeris meminta Prince untuk menikahi mereka.
Suatu hari Prince mendapatkan tantangan untuk memacari siswi terjelek disekolah nya selama seminggu, namun jika ia menolak hukuman yang harus ia terima yaitu memutuskan semua pacar nya yang sudah tidak terhitung jumlah nya.
Prince mau tak mau menerima tantangan teman nya yaitu memacari adik kelas nya yang di cap siswi terjelek disekolah.
Berniat untuk mempermainkan adik kelas nya, Prince justru terjebak oleh permainan nya sendiri.
bagaimana kelanjutan nya, langsung cek sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruang tanpa Nama
Hujan turun tipis membasahi jendela apartemen lantai 14 itu. Kota terlihat seperti hamparan lampu mati rasa, redup dan tak bersuara. Di dalam, suasana jauh lebih sunyi, nyaris dingin, seperti tempat yang tak pernah dihuni siapa pun… kecuali oleh waktu.
Arkan melepaskan jaketnya, menggantung rapi di belakang pintu. Apartemennya sederhana, nyaris terlalu steril—warna abu-abu mendominasi, minim perabotan. Tak ada hiasan, tak ada foto keluarga. Semuanya rapi… terlalu rapi.
Ia berjalan menuju koridor sempit di sisi kanan. Di sana, berdiri sebuah pintu logam berwarna hitam. Berbeda dengan semua pintu di unit apartemen itu, pintu ini tampak lebih kokoh. Tak ada nama. Tak ada label.
Tepat di seberangnya, kamar tidur Arkan. Tapi malam ini, ia tidak masuk ke kamarnya.
Ia berdiri di depan pintu hitam itu, mengeluarkan kunci dari saku celana, dan membukanya dengan satu gerakan lambat. Pintu itu terbuka—sedikit berderit. Arkan melangkah masuk. Tangannya meraba dinding dan menyalakan lampu.
Klik.
Lampu menyala… dan seluruh isi ruangan menyala pula.
Margaret.
Nama itu memenuhi setiap sudut. Di dinding—puluhan, mungkin ratusan foto Margaret terpasang. Ada yang diam-diam dipotret dari jauh, ada yang berasal dari tangkapan layar CCTV. Bahkan beberapa di antaranya merupakan potret candid dari rumah sakit, taman sekolah, dan kamar rumah Margaret. Lengkap.
Di tengah ruangan, berdiri sebuah meja kontrol. Di atasnya, layar monitor besar menampilkan tiga CCTV aktif—kamera tersembunyi di sekolah, rumah keluarga Margaret, dan bahkan lorong rumah sakit tempat Margaret dirawat.
Layar berganti-ganti. Ada satu cuplikan saat Margaret tertawa bersama Karin. Lalu berganti ke sudut kamar rawat inap. Margaret sedang tertidur, wajahnya tenang, tangan Prince menggenggam jemarinya.
Tatapan Arkan tak berkedip.
Ia melangkah perlahan ke meja, lalu duduk. Jari-jarinya bergerak di keyboard kecil, memperbesar salah satu layar: wajah Margaret saat tertidur semalam.
Ia bersandar.
Matanya menatap Margaret di layar itu dengan ekspresi sulit ditebak. Bukan cinta, bukan benci. Lebih seperti… penguasaan. Kepemilikan. Ketergantungan.
“Cantik, bahkan saat tubuh lo rapuh,” gumamnya pelan.
Ia memejamkan mata.
“Lo gak akan hilang kayak yang lain...”
Tangannya bergerak ke sebuah laci kecil di bawah meja. Ia membukanya perlahan—di dalamnya ada pita rambut Margaret, yang pernah jatuh di taman rumah sakit. Juga potongan kecil dari kupluk wol abu-abunya, yang Arkan ambil diam-diam entah kapan.
Ia mengangkatnya ke hidung, menghirup dalam.
Dan dalam keheningan itu… senyum tipis muncul di wajah Arkan.
Tak ada yang tahu siapa Arkan sebenarnya. Bahkan mungkin, Arkan pun belum tahu dirinya seutuhnya. Tapi satu hal pasti: Margaret adalah pusatnya. Dan semakin dekat Margaret ke ujung batas, semakin dalam pula Arkan terperangkap dalam dunia yang hanya ia ciptakan untuk gadis itu.
Di antara ratusan foto Margaret yang memenuhi ruangan rahasia itu, ada satu yang paling tua—foto hitam putih, sedikit buram, diselipkan di sudut kanan atas dinding.
Foto seorang gadis kecil… sedang tersenyum di ayunan taman. Di sampingnya, berdiri bocah laki-laki dengan tatapan kosong—Arkan kecil.
Wajah Margaret di foto itu nyaris tak berubah meski bertahun telah berlalu. Senyum yang sama. Mata yang sama. Tapi yang berbeda adalah… tidak ada satu pun orang yang tahu bahwa momen itu pernah ada. Termasuk Margaret sendiri.
Arkan menatap foto itu lama.
“Lo gak inget gue, ya…”
___________________________________________________
Beberapa tahun lalu
di sebuah panti asuhan kecil di pinggiran kota
Anak-anak berlari di halaman. Tertawa. Berteriak. Dunia mereka sempit, tapi penuh warna. Di antara anak-anak itu, ada satu yang tak ikut bermain. Bocah laki-laki pendiam, penyendiri, yang selalu membawa kertas dan pensil, duduk diam di bawah pohon.
Itulah Arkan kecil.
Ia bukan anak normal. Ia menghafal setiap langkah orang yang lewat. Ia tahu siapa yang suka curi makanan, siapa yang suka menangis malam-malam. Dan hanya satu orang yang pernah… menatapnya, bukan menilainya.
Margaret.
Gadis kecil itu baru dititipkan di panti beberapa bulan setelah Arkan. Ia ceria, suka bernyanyi, dan sering membawakan setangkai bunga liar untuk Arkan, hanya agar bocah itu tersenyum.
“Kenapa kamu nggak main?” tanya Margaret kecil suatu hari.
Arkan tak menjawab. Tapi Margaret duduk di sebelahnya, tetap bicara.
“Kalau kamu terus diam, kamu akan jadi angin. Nggak kelihatan, nggak diinget. Tapi aku mau inget kamu.”
Dan hari itu… Arkan tersenyum. Untuk pertama kalinya.
Tapi kebahagiaan itu tidak bertahan lama.
Suatu malam, mobil hitam datang ke panti. Seorang wanita muda turun, membawa dokumen. Margaret dipanggil ke kantor pengurus, dan tak lama setelah itu… ia dibawa pergi. Diadopsi. Nama belakangnya berubah. Lingkungannya berubah.
Tapi tidak bagi Arkan.
Ia hanya berdiri di balik tirai, menatap punggung Margaret yang masuk ke dalam mobil, tanpa sempat berpamitan.
Dan sejak hari itu… Arkan tidak pernah berhenti mencari.
Butuh bertahun-tahun. Tapi saat ia akhirnya melihat Margaret di koridor sekolah itu—wajah yang hanya ia simpan dalam ingatan buram masa kecil—dunia Arkan kembali diam.
“Lo balik.”
Tapi berbeda.
Margaret tak mengenalnya. Tak mengingat ayunan itu. Tak mengingat setangkai bunga kecil yang dulu ia petik tiap sore.
Namun bagi Arkan, Margaret adalah miliknya. Satu-satunya cahaya yang pernah mengakui keberadaannya.
Dan ia tak akan kehilangan cahaya itu… dua kali.
“Gue cuma mau lo liat gue. Lagi. Kayak dulu.”
“Dan kalo harus gue hancurin semua yang deketin lo… ya, itu harga yang murah.”