Seorang wanita cantik dan tangguh bernama Arumi Pratama putri tunggal dari keluarga Pratama.
Namun naas suatu kejadian yang tak pernah Arumi bayangkan, ia dituduh telah membunuh seorang wanita cantik dan kuat bernama Rose Dirgantara, adik dari Damian Dirgantara, sehingga Damian memiliki dendam kepada Arumi yang tega membunuh adik nya. Ia menikah dengan Arumi untuk membalas dendam kepada Arumi, tetapi pernikahan yang Arumi jalani bagaikan neraka, bagaimana tidak? Damian menyiksanya, menjadikan ia seperti pembantu, dan mencaci maki dirinya. Tapi seiring berjalannya waktu ia mulai jatuh cinta kepada Damian, akankah kebenaran terungkap bahwa Arumi bukan pelaku sebenarnya dan Damian akan mencintai dirinya atau pernikahan mereka berakhir?
Ikutin terus ceritanya yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arinnjay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Pertemuan Yang Tak Bisa Dielakkan
Pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Changi, tapi hati Damian tak ikut tenang. Matanya menyapu jendela, memandangi kerlap-kerlip kota yang begitu rapi, begitu bersih—terlalu kontras dengan kekacauan yang ada di dalam dirinya.
Ia turun sendirian. Sesuai permintaan dalam undangan itu, ia tidak membawa siapa pun. Tapi tentu saja, Arumi tidak tinggal diam.
Satu jam sebelum keberangkatan Damian, Arumi memesan tiket dengan identitas samaran. Ia tak bisa membiarkan Damian menghadapi semuanya sendirian. Bukan karena ia tak percaya pada kekuatan laki-laki itu, tapi karena ia tahu: musuh yang sedang mereka hadapi bukan musuh biasa.
Damian menatap peta digital yang dikirimkan ke ponselnya. Titik pertemuan ada di sebuah kawasan elite, bangunan kaca modern yang mencolok tapi sepi—sebuah galeri seni bernama “The Vessel.”
Ia tiba di sana pukul delapan malam.
Pintu galeri terbuka otomatis. Suara musik klasik mengalun lembut. Damian melangkah masuk, langkahnya mantap meski jantungnya berdegup keras.
Ruangan itu kosong. Tapi di tengah-tengahnya, ada satu instalasi seni berupa kursi dan cermin besar yang retak-retak.
Dan di depan cermin itu—seorang pria muda, mengenakan jas hitam rapi, berdiri membelakanginya.
Damian berhenti. Nafasnya tercekat.
“Adam?” tanyanya pelan.
Pria itu menoleh perlahan. Wajahnya dingin. Tidak asing. Tapi jauh berbeda dari bocah kecil yang dulu dikenalnya sebagai adik.
“Hai, Kak,” ucapnya tenang.
Damian mematung. Dunia seakan berhenti berdetak.
“Kamu… hidup?”
Adam mengangguk. “Aku tidak pernah mati. Aku cuma… berpindah peran.”
Damian melangkah maju, setengah tak percaya. “Kenapa… kenapa kamu nggak cari aku? Kenapa kamu biarkan aku berpikir kamu udah tiada?”
Adam tersenyum tipis. “Karena itu bagian dari rencana. Ibu mengatur semuanya. Ia bilang, kalau aku tetap tinggal… aku akan jadi lemah. Seperti kamu.”
Damian terdiam. Luka lama kembali menganga. “Ibu… Ibu sengaja pisahkan kita?”
Adam mengangguk pelan. “Karena kamu terlalu dekat dengan kebenaran. Dan aku… ditakdirkan untuk menjaganya.”
Hening. Damian menatap adiknya yang kini bukan lagi anak-anak. Ia adalah laki-laki dewasa dengan sorot mata yang tajam, penuh perhitungan.
“Jadi… kamu yang teruskan Elapse?”
“Bukan sekadar meneruskan. Aku yang menciptakan ulang.”
Damian menghela napas dalam. “Kenapa?”
“Karena sistem ini busuk. Karena mereka yang di atas cuma tahu cara menekan dan menyembunyikan. Aku lelah melihat orang-orang menderita karena kekuasaan yang salah arah.”
“Tapi kamu menyakiti orang. Kamu ikut ambil bagian dalam jaringan ilegal. Kamu… kamu juga bagian dari kematian Rose.”
Adam menunduk. Untuk pertama kalinya, wajahnya menunjukkan emosi.
“Rose… aku tidak ingin dia mati. Tapi dia tahu terlalu banyak. Dan dia percaya pada orang yang salah.”
Damian mengepalkan tangan. “Arumi?”
Adam menggeleng. “Bukan. Ayah.”
---
Sementara itu, di luar galeri, Arumi mengintai dari kejauhan. Ia melihat Damian berdiri menghadap seorang pria muda—tubuhnya mirip dengan foto masa kecil Adam yang dulu pernah dilihat.
Hatinya berdebar. Tapi ia tak bisa maju sekarang. Ia tahu, ini bukan waktunya.
Damian harus memilih: sebagai kakak… atau sebagai musuh.
---
Di dalam, Adam berjalan pelan ke arah instalasi cermin.
“Semua ini... bukan tentang balas dendam. Ini tentang keseimbangan. Dan kadang, keseimbangan harus dibayar dengan darah.”
“Kamu terdengar seperti Nadine,” ujar Damian pelan.
Adam tersenyum miring. “Karena aku memang hasil dari didikannya.”
Damian maju satu langkah. “Lalu kenapa kamu panggil aku ke sini?”
“Karena kamu perlu tahu. Kamu tidak bisa menghentikan Elapse. Bahkan kalau kamu mempublikasikan semua bukti yang kamu punya… sistem ini akan tetap bertahan. Yang akan hancur justru kamu.”
Damian menarik napas panjang. “Kalau aku berhenti sekarang… semua yang udah dikorbankan akan sia-sia.”
“Tidak juga. Kamu masih bisa hidup. Dengan Arumi. Dengan hidup baru. Biarkan aku selesaikan ini dengan caraku.”
Damian menggeleng. “Aku nggak bisa lagi pura-pura nggak tahu.”
Adam mendekat. Wajah mereka kini hanya berjarak beberapa langkah.
“Aku sayang kamu, Kak,” katanya pelan. “Tapi kalau kamu tetap di jalur ini… aku akan anggap kamu musuh.”
Damian menatap matanya. Sorot itu... dingin, tapi jujur.
“Kalau kamu benar-benar sayang aku,” jawab Damian lirih, “kamu akan berhenti sebelum semua terlambat.”
Adam tersenyum kecil. Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia melangkah mundur, lalu keluar lewat pintu belakang.
Damian berdiri di sana, tubuhnya kaku.
Arumi masuk beberapa saat kemudian.
“Kamu baik-baik aja?”
Damian mengangguk, tapi matanya kosong. “Dia… nggak lagi jadi adikku.”
Arumi menggenggam tangannya. “Kita tetap bisa hentikan dia.”
Damian menatap Arumi. Kali ini, sorot matanya tajam. “Kita harus mulai duluan. Karena sekarang, kita bukan lagi pemburu. Kita yang diburu.”
---
Keesokan harinya, mereka kembali ke Jakarta dengan satu misi: mengamankan semua bukti sebelum Elapse bergerak.
Saka, yang sudah kembali ke tim, membantu menghubungkan Damian dengan media luar negeri yang independen. Mereka menyusun laporan, menyamarkan identitas, dan mulai merilis sebagian informasi ke jaringan jurnalis investigasi.
Namun serangan balik datang lebih cepat.
Arumi menerima surat peringatan di rumahnya.
Tak ada nama pengirim. Hanya satu kalimat:
> “Berhenti sekarang, atau Damian akan menjadi nama berikutnya di batu nisan.”
---
Damian tahu waktunya tidak banyak.
Malam itu, ia duduk bersama Arumi di balkon.
Hujan turun deras. Lagi.
“Kalau aku kenapa-kenapa…” ujarnya pelan.
“Jangan,” potong Arumi cepat. “Jangan ngomong kayak gitu.”
“Aku harus. Karena aku nggak tahu apakah kita masih akan punya besok.”
Arumi menggenggam tangannya. “Kita pasti punya. Karena kita udah terlalu banyak kehilangan untuk menyerah sekarang.”
Damian menoleh, menatap wajah Arumi yang basah oleh air hujan dan air mata.
“Terima kasih… udah selalu di sini.”
Arumi tersenyum lirih. “Aku nggak pergi ke mana-mana. Bahkan kalau kamu jatuh, aku akan jatuh bareng kamu.”
---
Dan malam itu, satu ledakan mengguncang Jakarta.
Bukan di kantor Elapse. Bukan di rumah Damian.
Tapi di rumah masa kecil Adam—tempat semua rahasia disimpan.
Api membakar semua. Dan Adam… menghilang.
Berita di media lokal hanya menyebutnya “kebakaran akibat korsleting.”
Tapi Damian tahu lebih baik.
Adam sudah mulai menghapus jejak. Dan waktu mereka semakin menipis.
---
“Kalau kamu siap, besok kita mulai babak akhir,” kata Arumi.
Damian mengangguk.
“Karena ini bukan lagi soal masa lalu. Ini soal siapa yang akan bertahan hidup.”
---
Malam setelah ledakan itu, Damian tidak bisa tidur.
Matanya terus menatap layar ponsel, memandangi sisa file yang belum sempat ia backup dari flashdisk Raka. Sebagian sudah hancur dalam ledakan—berkas-berkas fisik yang disimpan di rumah masa kecil Adam, satu-satunya tempat yang tersisa dari masa lalu mereka.
“Aku merasa gagal,” gumam Damian.
Arumi duduk di sampingnya, membawa dua cangkir teh hangat.
“Gagal karena kamu selamat?” tanyanya pelan.
Damian menggeleng. “Karena aku nggak bisa selamatkan dia. Adam... dia dulu anak yang manis. Dia suka manggil aku ‘kakak pelindung’. Tapi sekarang... dia jadi sosok yang bahkan nggak bisa kutebak.”
“Orang berubah, Dam,” sahut Arumi. “Tapi bukan berarti kamu harus menanggung semuanya sendirian.”
Damian menatapnya, dan kali ini... matanya penuh luka.
“Aku cuma takut, Arum. Takut suatu hari nanti kamu juga pergi. Seperti Ibu. Seperti Rose.”
Arumi menarik nafas panjang, lalu menggenggam tangan Damian erat-erat.
“Aku nggak akan pergi. Kecuali kamu nyuruh aku pergi.”
Damian membalas genggaman itu. Kuat. Seolah mencari pegangan terakhir di dunia yang terus runtuh.
“Kalau begitu... kita harus serang duluan.”
---
Besok paginya, mereka bertemu dengan Saka di sebuah rumah aman. Saka datang membawa kabar baru—jaringan Elapse mulai memindahkan dananya ke sistem kripto bawah tanah yang tidak bisa dilacak lewat jalur biasa.
“Kalau mereka udah mulai cabut duitnya, artinya kita udah nyentuh titik vital,” kata Saka, membuka laptopnya.
Ia memperlihatkan grafik transfer digital dari lima rekening utama yang mereka curigai—semuanya dialihkan ke satu dompet utama bernama "Exodus".
“Siapa pemiliknya?” tanya Arumi.
Saka mengangguk pelan. “Adam. Tapi bukan atas namanya langsung. Dia pakai identitas palsu, nama samaran: Ezra Halim.”
Damian menatap grafik itu lama.
“Ezra…” gumamnya. “Itu nama yang Ibu sering sebut sebelum beliau meninggal. Katanya… itu nama yang ‘harus dijaga’.”
Arumi menelan ludah. “Mungkin itu bukan cuma samaran. Mungkin... itu nama asli Adam sekarang.”
Saka menatap mereka berdua. “Kalau kita mau potong alirannya, kita harus masuk ke jaringan Exodus. Tapi risikonya besar. Mereka bisa tahu siapa yang akses sistemnya.”
Damian menatap Saka tajam. “Kamu bisa bantu?”
Saka mengangguk. “Bisa. Tapi aku butuh waktu. Dan kamu harus siap... kalau ini akan buat Elapse buka semua kartu.”
---
Satu minggu kemudian.
Damian dan Arumi bersiap untuk ‘perang digital’. Saka bekerja siang malam menembus enkripsi sistem Exodus. Setiap file yang berhasil diambil, mereka salin ke dua tempat: satu untuk disebar ke media, satu lagi sebagai jaminan hidup.
Pukul tiga pagi, Saka masuk ke ruang tamu dengan wajah pucat.
“Aku masuk,” katanya pendek.
Damian dan Arumi langsung berdiri.
“Tapi... aku juga nemuin sesuatu,” lanjut Saka. Ia memperlihatkan sebuah file tersembunyi dalam jaringan Exodus. Judulnya: "NOIR."
Saat dibuka, file itu berisi foto-foto dokumentasi pembunuhan. Sebagian menunjukkan wajah orang-orang yang dulu pernah jadi bagian dari yayasan Nadine. Termasuk... foto Rose. Tapi yang paling mengerikan, ada satu folder khusus bernama: “Arumi.”
Arumi terdiam, wajahnya memucat.
Ia membuka folder itu perlahan. Isinya: foto-foto dirinya saat kecil, remaja, bahkan saat di pernikahan dulu. Semua diambil diam-diam. Ada pula rekaman suara yang diambil dari ponselnya. Bahkan, ada salinan email pribadinya.
“Ini... ini sejak kapan?” suaranya nyaris tak terdengar.
Saka menggeleng. “Aku nggak tahu. Tapi ini berarti... kamu target mereka sejak awal.”
Damian langsung berdiri, marah. “Dia nggak akan disentuh. Apa pun yang terjadi, kamu dengar?”
Saka mengangguk. “Kita harus cabut dari Jakarta. Sekarang. Mereka udah tahu kita buka file ini.”
Arumi berdiri kaku. Tapi saat ia menoleh ke Damian, ada tekad yang menyala di matanya.
“Aku nggak akan kabur.”
Damian mematung. “Apa maksudmu?”
“Aku udah dikejar setengah hidupku. Aku kehilangan cinta pertamaku, dihina keluargamu, diancam hampir setiap hari, dan sekarang aku tahu... hidupku diawasi dari jauh selama ini.”
Arumi menggenggam tangan Damian. Kuat.
“Kalau aku harus berakhir... setidaknya aku berakhir sebagai orang yang melawan.”
Damian menatapnya dalam-dalam.
“Kita lawan bareng,” ujarnya lirih.
---
Hari berikutnya, mereka menggelar konferensi pers rahasia. Lewat bantuan jaringan jurnalis independen dari luar negeri, mereka menyiarkan bukti-bukti jaringan Elapse ke media global.
Efeknya cepat. Dalam dua hari, pasar saham perusahaan milik keluarga Dirgantara anjlok. Penyidikan terbuka mulai dilakukan.
Dan Adam… muncul.
Lewat video yang dikirim ke email pribadi Damian.
Ia duduk di sebuah ruangan gelap. Wajahnya tenang. Tapi ada bara di matanya.
> “Kakak. Aku beri kamu waktu. Tiga hari. Cabut semua laporan itu. Hentikan siaran media. Dan aku akan lupakan semuanya.”
> “Kalau tidak… Arumi akan jadi sejarah.”
---
Damian langsung mengepalkan tangan, video itu hampir ia lempar ke dinding kalau bukan karena Arumi memeluknya dari belakang.
“Dia nggak akan menang,” kata Arumi.
“Dia bisa bunuhmu, Arum.”
“Kalau dia bunuh aku... artinya dia kehilangan satu-satunya alasan kamu berhenti. Dan dia tahu itu.”
Damian memejamkan mata. Seluruh tubuhnya bergetar.
“Aku nggak siap kehilangan kamu juga.”
Arumi menyentuh wajahnya. “Kalau kamu harus kehilangan aku demi kebenaran... aku ikhlas. Tapi aku tahu... kamu akan temukan jalan buat selamatin semuanya. Termasuk kita.”
---
Dan malam itu, Damian membuat keputusan besar.
Ia membalas video Adam.
“Aku nggak akan cabut laporan. Dan aku juga nggak akan larikan Arumi. Tapi aku akan datang sendiri. Bawa semua bukti yang belum kusebar.”
“Temui aku. Satu lawan satu.”
---
Tiga hari lagi.
Jakarta. Rooftop Hotel Delmar, pukul 10 malam.
Itu waktu dan tempat yang Damian pilih.
Dan itu juga akan jadi titik akhir dari permainan panjang ini.
Apakah darah akan tumpah?
Apakah saudara bisa saling menebus dosa?
Atau... adakah cinta yang masih bisa bertahan di antara kehancuran?
---