"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"
***
"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."
***
Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan Bani dan Laras
Malam itu rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Naura mulai rewel. Tangis kecilnya menggema di ruang tengah. Bani menghela napas pelan, lalu bangkit dari sofa.
“Papa bikinin susu ya, Nak,” gumamnya.
Ia menakar susu dengan hati-hati, menuangkannya ke botol, lalu kembali ke ruang TV. Naura yang sudah bisa meraih dengan tangannya mencoba mengambil botol itu sendiri.
“Pelan-pelan,” ujar Bani refleks.
Namun botol itu terlepas.
Pluk!
Susu tumpah ke lantai, mengalir tipis membasahi keramik.
Bani menghela napas panjang—bukan marah, hanya lelah.
“Papa ambil lap dulu.”
Ia berbalik menuju dapur.
Di saat yang sama, Laras keluar dari kamar. Ia baru saja selesai menidurkan Ameera. Langkahnya ringan, pikirannya kosong. Ia tidak melihat genangan susu di lantai.
“Krak—”
Laras terpeleset.
“Astag—!”
Refleks Bani berbalik. Dalam satu gerakan cepat, ia menangkap tubuh Laras sebelum benar-benar jatuh. Namun lantai yang licin membuat kaki Bani ikut kehilangan pijakan.
Mereka jatuh bersama.
Tubuh Laras tertahan oleh dada Bani. Punggung Bani menyentuh lantai, Laras tepat di atasnya. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.
Waktu seolah berhenti. Napas Laras tersengal. Dadanya naik turun cepat. Tangannya mencengkeram baju Bani tanpa sadar.
Bani terpaku.
Aroma sabun lembut dari rambut Laras menusuk inderanya. Hangat tubuh Laras terasa nyata—terlalu nyata. Jantungnya berdetak keras, begitu jelas sampai ia yakin Laras bisa mendengarnya.
Mata mereka bertemu.
Tidak ada kata. Tidak ada niat.
Hanya dua jiwa yang terkejut oleh kedekatan yang tak direncanakan. Dalam benak Bani, satu nama melintas.
Rania…
Laras menahan napas. Dadanya terasa sesak. Ada rasa asing—bukan takut, bukan nyaman sepenuhnya, tapi sesuatu yang membuatnya ingin segera menjauh.
Namun tubuhnya belum bergerak. Detik demi detik berlalu.
Hingga—tangisan Naura kembali terdengar, lebih kencang.
Tangis itu seperti menarik mereka kembali ke dunia nyata.
Bani tersentak. “Naura—”
Ia segera menahan bahu Laras, membantu istrinya bangkit. Sentuhan itu singkat, tapi jelas dan untuk pertama kalinya, disengaja.
“Maaf,” ucap Bani cepat, suaranya serak.
“Enggak,” jawab Laras pelan. “Aku yang gak lihat lantai.”
Mereka berdiri dengan canggung. Tidak ada yang berani menatap terlalu lama.
Bani segera menggendong Naura, menenangkannya. Tangannya sedikit gemetar saat menyuapkan botol baru.
Laras berdiri di belakangnya, memeluk diri sendiri.
Jantungnya masih belum tenang.
Ia tahu, sejak detik mereka jatuh bersama—ada sesuatu yang berubah. Dan Bani pun tahu hal yang sama.
Setelah kejadian tadi, mereka kembali ke peran masing-masing. Namun di antara jarak yang selama ini terjaga rapi—retak kecil telah muncul. Dan benih itu… tak bisa lagi dipungkiri.
***
Malam rumah Bani terasa lebih sunyi dari biasanya. Naura akhirnya tertidur di boksnya, napas kecilnya teratur. Ameera sudah lebih dulu terlelap di kamar. Lampu ruang keluarga diredupkan.
Namun Bani tidak bisa tidur. Ia duduk di tepi ranjang, punggungnya bersandar pada dinding. Matanya menatap kosong ke lantai, tepat di tempat tubuhnya dan Laras tadi sore terjatuh. Terlalu dekat. Terlalu nyata.
Jantungnya masih berdegup setiap kali mengingat bagaimana tangan refleksnya menopang tubuh Laras. Bagaimana wajah mereka hanya terpisah beberapa senti. Bagaimana hangat napas Laras menyentuh wajahnya.
Bani memejamkan mata keras.
“Astaghfirullah…”
Ia menekan dadanya sendiri.
Bukan sentuhan itu yang membuatnya gelisah—melainkan perasaan yang muncul setelahnya.
Ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya. Bukan sekadar kasihan. Bukan sekadar tanggung jawab.
Dan itu yang membuatnya takut.
Ia bangkit, mengambil air wudhu, lalu shalat dua rakaat dengan gerakan yang berat. Dalam sujudnya, suara hatinya bergetar. “Ya Allah… aku takut. Aku takut mengkhianati kenangan istriku. Tapi aku juga takut pada diriku sendiri.” Air matanya jatuh tanpa suara.
Di kamar sebelah, Laras juga tidak tidur. Ia duduk di lantai, bersandar pada sisi ranjang. Tangannya memeluk lutut, kepalanya tertunduk. Air mata menetes satu per satu, membasahi kain gamisnya.
“Maaf, Ran…” bisiknya nyaris tak terdengar.
Bayangan wajah Rania muncul di benaknya—senyum hangat, mata lembut, suara yang selalu menenangkan. “Aku gak pernah berniat begini. Demi Allah… aku cuma mau jaga Naura. Cuma itu.”
Laras menutup mulutnya, menahan isak. “Tapi kenapa jantungku berdebar waktu dia menopang aku? Kenapa aku merasa aman di pelukannya?”
Ia menggeleng keras, seolah ingin mengusir perasaan itu.
“Aku istrinya sekarang, tapi aku gak mau jadi perempuan yang mengambil tempatmu dengan cara yang salah.”
Tangisnya pecah tanpa suara. “Aku gak mau bahagia di atas rasa bersalah.”
Laras bangkit perlahan, mengambil mukena, lalu shalat dengan tubuh gemetar. Dalam doanya, namanya sendiri tak ia sebut—yang ia sebut justru Rania. “Ya Allah… kalau perasaan ini salah, ambil. Kalau ini ujian, kuatkan. Aku gak mau mengkhianati perempuan sebaik dia.”
Di dua kamar yang berbeda, di rumah yang sama—dua manusia sama-sama gelisah.
Bani takut pada hatinya sendiri. Laras takut pada rasa bersalahnya.
Dan di antara mereka, ada nama yang terus hidup dalam doa—Rania.
Perempuan yang telah pergi, namun cintanya masih mengikat dua jiwa yang perlahan mulai saling mendekat tanpa pernah berniat melukai.
***
Malam turun dengan sunyi yang tidak biasa. Bani terbangun dalam keadaan duduk, napasnya terengah, keningnya basah oleh keringat. Jantungnya berdegup tak karuan, seolah baru saja dikejar sesuatu yang tak kasatmata. Ruangan kamar terasa asing meski sudah berbulan-bulan ia tempati. Sunyi, dingin, dan kosong.
Ia memejamkan mata lagi dan di sanalah Rania hadir. Rania berdiri di sebuah tempat yang terang, bukan kamar rumah sakit, bukan pula liang lahat. Ia mengenakan gamis putih yang sederhana, wajahnya tenang, tersenyum lembut seperti terakhir kali Bani melihatnya sebelum semua berubah. “Mas…”
Suara itu begitu nyata.
Bani melangkah mendekat, kakinya gemetar. “Rania…” suaranya pecah. “Maafin aku…”
Rania menggeleng pelan. Senyumnya tak berubah. “Mas tidak salah.”
“Tapi aku… aku mulai—”
Bani terhenti. Kata itu terlalu berat untuk diucapkan. Terlalu mengkhianati kenangan.
Rania menatapnya lebih dalam. Tatapan yang dulu selalu membuat Bani merasa pulang. “Aku tau,” ucap Rania lembut. “Dan aku tidak marah.”
Bani menggeleng keras. “Aku takut. Takut kalau perasaanku ke Laras itu artinya aku melupakan kamu.”
Rania melangkah lebih dekat, lalu seperti kebiasaan lamanya mengangkat tangan, seolah ingin menyentuh dada Bani, tempat hatinya berdegup tak menentu. “Mas… cinta itu tidak menghapus cinta yang lain. Aku tetap di hati Mas. Tapi Mas masih hidup. Mas masih punya tanggung jawab.”
Bani terisak. “Aku janji sama kamu… aku akan jaga Naura. Tapi sekarang… aku mulai melihat Laras bukan cuma sebagai ibu Naura.”
Rania tersenyum, kali ini lebih hangat. “Itulah yang aku minta.”
Bani tertegun.
“Mbak Laras tidak menggantikanku,” lanjut Rania pelan. “Ia menemani Mas melanjutkan hidup. Naura butuh ibu. Ameera butuh ayah. Dan Mas… Mas juga berhak bahagia, meski bahagia itu terasa asing dan penuh rasa bersalah.”
Air mata Bani jatuh tanpa bisa dicegah. “Kalau suatu hari aku benar-benar mencintainya… apa aku egois?”
Rania menggeleng. “Yang egois itu kalau Mas menolak hidup, hanya karena takut melangkah.”
Rania menatapnya lama, seolah menghafal wajah Bani. “Jangan sakiti mbak Laras dengan jarak yang tidak perlu. Jangan sakiti diri Mas sendiri dengan rasa bersalah yang tak ada ujungnya.”
Cahaya di sekeliling Rania perlahan memudar. “Rania!” Bani berusaha meraih tangannya.
Rania tersenyum untuk terakhir kali. “Aku tenang kalau Mas tenang. Rawat mereka… dan izinkan dirimu mencinta tanpa merasa berdosa.”
Bani terbangun dengan napas terputus-putus.
Tangannya mencengkeram dada, tepat di atas jantungnya yang masih berdegup keras. Air mata mengalir tanpa suara. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda—bukan hanya rasa kehilangan, melainkan kelegaan yang menyakitkan.
Di kamar sebelah, Laras terjaga.
Ia duduk di tepi ranjang, memeluk bantal, matanya sembab. Bayangan kejadian sore tadi terus berputar di kepalanya—tatapan Bani yang terlalu dekat, napas yang saling bersentuhan, detik-detik yang seharusnya tak pernah terjadi. “Maafkan aku, Rania…” bisiknya lirih.
Air mata Laras jatuh lagi. Ia merasa berdosa karena hatinya bergetar, karena tubuhnya tak sepenuhnya menolak, karena ada bagian kecil dalam dirinya yang ingin percaya bahwa perasaan itu nyata.
Tanpa mereka sadari, di dua kamar yang berbeda, Bani dan Laras sama-sama terjaga, dipisahkan oleh dinding, disatukan oleh rasa bersalah, dan perlahan ditarik oleh takdir yang sudah Rania titipkan sejak awal.
***
Seperti biasa, malam di rumah Bani terasa sunyi. Namun sekarang terasa hangat karena tak ada lagi ketegangan dan sikap dingin yang ditunjukkan awal pernikahan. Sudah sebulan bulan Bani dan Laras menjalankan rumah tangga tanpa berperan sebagai suami istri di dalamnya.
Naura sudah tertidur pulas di kamar bayi. Ameera juga terlelap lebih dulu, setelah Bani membacakan doa sebelum tidur—kebiasaan kecil yang kini terasa alami, seolah sudah lama ia lakukan.
Laras duduk di ruang keluarga, memeluk lututnya sendiri. Lampu redup, televisi mati. Ia tidak menunggu siapa pun, tapi juga tidak beranjak ke kamar. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya sejak sore tadi—sejak percakapan singkat mereka di dapur, sejak tatapan Bani yang terlalu lama singgah di wajahnya.
Langkah kaki terdengar.
Bani berhenti di ambang pintu, menatap Laras yang tenggelam dalam diam. Ada dorongan yang sudah sepuluh bulan ia tekan, ia bungkam, ia lawan dengan logika dan rasa bersalah. Tapi malam ini, dorongan itu justru terasa seperti kejujuran yang tak bisa lagi disangkal.
“Laras…” suara Bani rendah.
Laras menoleh. Ada gugup di matanya, juga kesiapan yang ia sendiri tak mengerti sejak kapan tumbuh. “Ada apa, Mas?”
Bani mendekat, tapi tidak langsung duduk. Ia berdiri beberapa langkah darinya, seolah masih memberi jarak, kebiasaan lama yang belum sepenuhnya hilang.
“Aku mau bicara. Tentang kita.”
Jantung Laras berdegup. Tangannya mengepal di kain gamis.
“Kalau ini soal batas—”
“Bukan,” potong Bani pelan. “Justru… karena aku sudah tidak bisa lagi berpura-pura kalau batas itu masih sama.”
Laras terdiam.
Bani menarik napas panjang, lalu duduk di sofa seberang. Jarak di antara mereka tidak jauh, tapi terasa sarat.
“Sepuluh bulan ini,” lanjutnya, “aku pikir aku hanya menjalani amanah. Menjaga kamu, menjaga Naura, menjaga Ameera. Aku kira semua ini hanya soal tanggung jawab.”
Ia tersenyum tipis, getir. “Tapi ternyata tidak sesederhana itu.”
Laras menunduk. Air mata menggenang, tapi tak jatuh. “Aku nyaman denganmu, Laras,” kata Bani jujur. “Aku tenang saat kamu ada. Aku kehilangan arah saat kamu sakit. Dan aku… mulai takut kehilanganmu, padahal aku tidak pernah berniat memiliki.”
Laras menggigit bibirnya. Suaranya bergetar saat akhirnya bicara. “Aku juga, Mas. Aku tidak pernah berani berharap. Aku hanya ingin menjalani peranku sebaik mungkin. Tapi setiap hari… rasanya semakin sulit membohongi hati sendiri.”
Bani mengangkat wajah Laras dengan tatapan yang penuh kehati-hatian, bukan nafsu. “Ada satu hal yang harus kamu tahu,” katanya. “Rania… akan selalu ada di hatiku. Cintaku padanya tidak akan hilang, tidak akan tergantikan.”
Laras mengangguk pelan. Air matanya akhirnya jatuh. “Aku tau. Dan aku tidak pernah ingin menggantikannya.”
“Aku mencintaimu,” lanjut Bani jujur, tanpa janji manis. “Tidak sebesar cintaku pada Rania. Tidak dengan cara yang sama. Tapi nyata. Dan aku tidak ingin lagi bersembunyi dari itu.”
Laras mengusap air matanya sendiri. “Aku tidak butuh menjadi yang paling dicintai, Mas,” ucapnya lirih. “Aku hanya ingin diterima. Dihadirkan. Bukan sekadar dijalani.”
Hening menyelimuti mereka.
Bani menggeser duduknya, lebih dekat. Tangannya terangkat—ragu—lalu akhirnya menggenggam tangan Laras. Tidak terburu-buru. Tidak menuntut.
Untuk pertama kalinya, Laras tidak menarik diri.
Genggaman itu hangat. Nyata. Menenangkan.
“Kalau kamu siap,” kata Bani pelan, “aku ingin menjalani peran ini sepenuhnya. Sebagai suamimu. Bukan bayang-bayang masa lalu, bukan sekadar janji pada orang yang telah pergi.”
Laras menatapnya, matanya basah tapi penuh keteguhan. “Aku siap,” jawabnya. “Selama kita jujur. Selama tidak ada yang kita khianat, termasuk kenangan Rania.”
Bani mengangguk.
Malam itu, tidak ada euforia. Tidak ada kata-kata besar. Hanya dua hati yang akhirnya berhenti menyangkal arah. Dan ketika Bani menarik Laras ke dalam pelukannya perlahan, penuh izin, Laras menutup mata.
Di dalam doanya, ia berbisik. Rania, aku tidak mengambil tempatmu. Aku hanya menjaga apa yang kau titipkan… dan kini, aku juga menjaga hatiku sendiri.
Dan malam itu... Bani dan Laras telah menjadi sepasang suami istri sesungguhnya. Bani dan Laras mulai saling mencintai tanpa meninggalkan nama Rania dalam hati mereka. Rania tetap akan hadi di antara mereka.