Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.
Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.
Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 19
Amina menatap kartu terakhir di atas meja. Kalah.
Denyut nadi di pelipisnya terasa lebih cepat dari biasanya. Bukan karena kekalahan, tapi karena tatapan Alexander yang terlalu tajam, seakan menembus pikirannya. Senyum miring pria itu tidak membantu.
"Kau kalah," ucapnya santai, memutar gelas anggurnya dengan gerakan malas. "Tapi aku tak akan memintamu mundur dari kasus ini."
Amina menyipitkan mata. "Lalu apa yang kau inginkan?"
Alexander menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangan bertaut di atas meja. "Kerja sama."
Kerja sama? Amina menahan tawanya. Jelas ini jebakan.
"Kau bercanda, kan?" Suaranya tetap tenang, tapi jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme tertentu, kebiasaan lamanya saat berpikir. "Kita berseberangan, Alexander. Kau bagian dari dunia yang ingin kubongkar."
Alexander terkekeh kecil, lalu mencondongkan tubuhnya. "Dan kau pikir aku bagian dari mereka?"
Mata Amina mengamatinya dengan lebih cermat.
"Lalu, kau ada di pihak siapa?"
Alih-alih menjawab, Alexander memberi isyarat kecil ke seseorang di sudut ruangan. Seketika, para tamu VIP mulai beranjak pergi, seolah mereka tahu waktunya sudah habis. Kini, hanya tersisa mereka berdua di ruangan itu, dengan tumpukan kartu dan aroma bourbon yang masih menguar.
Amina merasakan tengkuknya menegang. Permainan sesungguhnya baru saja dimulai.
Mereka berjalan menyusuri lorong kecil yang tersembunyi di belakang ruangan VIP. Tidak ada suara selain langkah kaki mereka yang beradu dengan lantai marmer. Cahaya remang-remang dari lampu gantung menciptakan bayang-bayang panjang di dinding.
"Aku butuh seseorang yang bisa bekerja dari dalam," ucap Alexander akhirnya.
Amina berhenti. "Jadi kau ingin menyusupkan mata-mata?"
"Lebih tepatnya, aku butuh seseorang yang bisa menjaga keseimbangan." Dia berbalik, menatapnya dengan ekspresi serius. "Aku tahu kau ingin menghancurkan mereka. Tapi kalau kau bertindak gegabah, kau hanya akan menciptakan kekosongan kekuasaan yang lebih berbahaya."
Amina mengerutkan dahi. "Dan kau ingin aku memperbaiki itu?"
Alexander tersenyum tipis. "Aku ingin kita membuat permainan ini lebih menarik."
Amina menatap pria itu lekat-lekat, mencoba menembus pikirannya. Dia bisa saja berbohong. Atau mungkin, dia hanya mencoba memanipulasinya agar melakukan pekerjaan kotor untuknya.
Tapi satu hal yang pasti, Alexander tahu lebih banyak daripada yang ia tunjukkan.
Dan itu cukup untuk membuat Amina tertarik.
Hari-hari berikutnya, Amina mulai masuk ke dalam jaringan mafia yang selama ini hanya bisa ia amati dari luar. Berada di dalamnya jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan. Tidak ada ruang untuk kesalahan, dan setiap orang memiliki agenda tersembunyi.
"Jangan percaya siapa pun," gumamnya pada diri sendiri saat melangkah ke sebuah lounge eksklusif yang sering menjadi tempat pertemuan para pemain utama.
Amina mengenakan gaun hitam yang longgar dengan hijab sutra berwarna senada. Riasannya dibuat seminimal mungkin, cukup untuk menyamarkan identitasnya tetapi tidak mencolok. Ia mengambil segelas mocktail dari bar dan mulai berjalan, memperhatikan setiap interaksi di sekelilingnya.
Seorang pria tua dengan mata elang berbicara pelan dengan seorang wanita muda yang tampak terlalu gugup. Seorang pria dengan lengan bertato menyandarkan tubuhnya ke sofa, mendengarkan percakapan yang bahkan bukan miliknya.
Mereka semua sama, predator dalam berbagai bentuk.
"Santai saja," suara berat tiba-tiba terdengar di sebelahnya.
Amina menoleh dan menemukan seorang pria bertubuh besar dengan senyum setengah menggoda. "Kau kelihatan seperti kucing liar yang tersesat."
Dia tidak langsung merespons, hanya menaikkan alis. "Dan kau terlihat seperti seseorang yang terlalu banyak bicara."
Pria itu tertawa. "Aku lebih suka bicara daripada diam dan berakhir dengan pisau di punggung."
Amina menghela napas. Alexander benar, ini bukan hanya permainan kekuasaan, tetapi juga permainan bertahan hidup.
Beberapa jam kemudian, Amina duduk di sudut ruangan, mengamati Alexander yang sedang berbincang dengan seorang pria paruh baya. Suaranya rendah, tetapi ekspresinya tenang seperti biasa.
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.