Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?
padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.
Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?
ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Obat Penawar Ajaib Bag 1
Di sebuah pabrik tahu yang cukup besar, aroma kedelai rebus menguar di udara. Shantand duduk di bangku kayu sederhana, sementara Pak Lanselod Suroso menuangkan teh hangat ke dalam cangkir.
"Jadi, kau ingin bekerja sama denganku, Shantand?" Pak Lanselod memulai percakapan sambil meniup uap tehnya.
"Betul, Pak. Saya ingin mengembangkan usaha tahu ini lebih besar. Bude Patmi bilang, kalau ada yang paham betul soal produksi besar, itu pasti Bapak," jawab Shantand, matanya penuh semangat.
Pak Lanselod mengangguk pelan, sesekali mengaduk tehnya. "Kebetulan, aku juga dapat tawaran kerja sama. Dari orang asing."
Shantand mengangkat alis. "Dari kerajaan seberang?"
Pak Lanselod menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Iya, mereka datang dengan rencana besar, tapi entah kenapa aku merasa ada yang janggal. Seperti ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Kau tahu, perasaan aneh kalau ada sesuatu yang tidak beres."
Shantand mengangguk. "Saya juga berpikir begitu, Pak. Kenapa tiba-tiba mereka tertarik dengan tahu? Bukankah mereka punya makanan khas sendiri?"
Pak Lanselod tertawa kecil. "Nah, itu dia. Aku belum mengiyakan tawaran mereka. Aku masih mengamati."
Ia kemudian menghela napas, tatapannya menerawang. "Sebenarnya, temanku, Pak Falir Sandung, sudah setuju bekerja sama dengan pedagang asing lainnya. Aku hanya berharap dia tidak salah langkah."
Shantand menyimak dengan saksama. Semakin banyak informasi yang ia dengar, semakin ia yakin ada sesuatu di balik semua ini.
Setelah beberapa kali berdiskusi dan mempertimbangkan berbagai aspek, Shantand akhirnya berhasil meyakinkan Pak Lanselod untuk bekerja sama. Dengan pengalaman Pak Lanselod dalam produksi tahu skala besar dan semangat serta inovasi dari Shantand, mereka sepakat untuk membangun usaha bersama.
"Baiklah, Shantand. Aku akan bekerja sama denganmu. Kita buat tahu ini lebih dari sekadar makanan rakyat, tapi juga sesuatu yang bisa berkembang luas," ujar Pak Lanselod sambil menjabat tangan Shantand erat.
Shantand tersenyum puas. "Terima kasih, Pak! Saya janji, kita akan maju bersama tanpa harus tunduk pada orang asing."
Pak Lanselod mengangguk. "Aku juga merasakan hal yang sama. Kita harus menjaga apa yang menjadi milik kita sendiri."
Dengan kesepakatan ini, langkah besar pertama Shantand dalam membangun usahanya telah dimulai.
*****
Di halaman luas perguruan Silat Harimau Terbang, debu berhamburan setiap kali kaki para murid menghantam tanah. Keringat bercucuran di pelipis mereka, sementara aba-aba pelatih menggema, membentuk ritme latihan yang disiplin.
Di sudut halaman, seorang pria berseragam instruktur bersedekap, matanya tajam mengawasi gerak-gerik Shantand. Itu adalah murid kepala, seorang lelaki bertubuh kekar dengan raut wajah penuh kewaspadaan. Ia mendekati Shantand dengan langkah mantap, lalu menatapnya dari ujung kepala hingga kaki.
“Saudara,apakah memiliki keperluan disini? ” katanya dengan nada datar.
Shantand mengulas senyum tipis. “Aku ingin bertemu Pendekar Dupak Jaya.”
Murid kepala itu mendengus pelan, lalu melirik ke arah gubuk kecil di puncak bukit yang menjulang di belakang perguruan. Angin bertiup membawa aroma tanah basah dari sana, seolah mengisyaratkan bahwa tempat itu bukan sembarang lokasi.
“Pendekar Dupak Jaya sedang bertapa,” katanya akhirnya. “Beliau tidak menerima tamu sembarangan.”
Shantand tak langsung menjawab. Matanya mengikuti arah tatapan murid kepala itu. Bukit itu tampak sunyi, tetapi entah mengapa, Shantand bisa merasakan kehadiran seseorang yang mengamati mereka dari jauh.
“Lalu bagaimana caranya agar aku bisa menemuinya?” Shantand bertanya tenang.
Murid kepala menyipitkan mata. Ia menilai pemuda di depannya. Ada sesuatu dalam tatapan Shantand yang membuatnya enggan meremehkan.
“Apa urusanmu dengan beliau?”
Shantand melangkah lebih dekat, matanya menatap lurus ke arah murid kepala itu. Lalu, dengan suara pelan namun penuh keyakinan, ia berkata,
“Bukankah gurumu sudah beberapa hari ini mengalami sakit aneh?”
Murid kepala itu sontak menegang. Tatapannya berubah tajam, seolah mencoba menelisik apakah Shantand hanya menebak atau benar-benar tahu sesuatu.
Shantand tersenyum tipis. “bagaimana jika Aku memiliki kemampuan untuk menyembuhkannya?”
Wajah murid kepala semakin serius. Ini adalah rahasia besar. Hanya mereka yang telah mencapai tingkatan tertentu di perguruan yang mengetahui kondisi sang guru. Pendekar Dupak Jaya tidak sedang bertapa—ia tengah berjuang melawan sesuatu yang tak terlihat.
“Dari mana kau tahu?” suaranya rendah, penuh kewaspadaan.
“Bawa aku padanya,” Shantand melanjutkan. “Atau kau ingin melihat keadaan gurumu semakin memburuk?”
Murid kepala mengepalkan tangan. Pikirannya berkecamuk.
Shantand tak hanya mengetahui rahasia mereka, tetapi juga membawa sesuatu yang bisa jadi merupakan satu-satunya harapan.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan sebelum akhirnya murid kepala itu menarik napas panjang.
“Baiklah. Ikut aku.”
Tanpa banyak bicara lagi, ia berbalik dan melangkah menuju jalan setapak yang mengarah ke puncak bukit. Shantand mengikuti di belakangnya, langkahnya mantap.
Angin bertiup pelan, membawa firasat bahwa apa yang menantinya di atas bukit jauh lebih besar dari sekadar menyembuhkan seorang Pendekar Dupak Jaya.
---
Semakin dekat ke gubuk, suara tabuhan gendang dan gamelan semakin jelas terdengar, berpadu dalam irama yang seolah membawa aura sakral. Murid kepala yang berjalan di depan memberi tahu,
"Itu adalah bagian dari ritual pertapaan guru kami."
Shantand mengangguk, tapi dari dalam labu, Bhaskara malah terkikik pelan.
Shantand melirik ke arah labu di pinggangnya dan berbisik, "Apa yang lucu, Guru?"
"Hahaha… pencuri sobekan kitab kali ini benar-benar menggelikan," jawab Bhaskara.
Shantand mengerutkan dahi. "Apa maksudnya? Apa yang lucu?"
"Kau tahu kenapa ada suara gendang dan gamelan mengiringi pertapaannya?"
Shantand berpikir sejenak, mencoba mencari jawaban Namun, belum bisa menemukan jawabannya.Bhaskara lalu berkata gembira,
"Untuk menyamarkan penyakit kentutnya! Wahaha!"