Rafael tidak pernah mengira hidupnya akan berubah saat dia menemukan sebuah topeng misterius. Topeng itu bukan sembarang artefak—ia membuka gerbang menuju dunia lain, dunia yang dihuni oleh makhluk gaib dan bayangan kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Setiap kali Rafael mengenakannya, batas antara dunia nyata dan mimpi buruk semakin kabur.
Di tengah kebingungannya, muncul Harun, tetangga yang dianggap 'gila' oleh penduduk desa. Namun, Harun tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain—rahasia kelam tentang topeng dan kekuatan yang menyertai dunia lain. Tapi, apakah Rafael bisa mempercayai pria yang dianggap tak waras ini, atau dia justru menyerah pada kekuatan gelap yang mulai menguasainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ledakan Emosi
Jam istirahat tiba, dan Rafael serta Tristan bangkit dari kursi mereka, bersiap untuk keluar kelas. Namun, begitu mereka berdiri, suara sorakan dan tawa langsung terdengar dari teman-teman sekelas yang masih duduk.
“Wih, keluar bareng lagi! Beneran hombreng nih!” celetuk salah satu teman, membuat yang lain tertawa terbahak-bahak. Suara ejekan dan ledekan terus mengalir, semakin parah dan semakin menusuk.
“Emang nggak bisa hidup tanpa Tristan, ya, Raf? Lo beneran, kan, hampir mati kemarin? Gila, nggak bisa ditinggal sendirian, tuh! Gimana tuh ceritanya?” ledek yang lain dengan nada penuh cemooh.
Rafael menghentikan langkahnya, wajahnya berubah tegang. Ia mengepalkan tangannya, tapi berusaha menahan diri. Namun, Tristan tak bisa diam. “Apaan sih lo semua?! Stop ngomong yang nggak-nggak!” serunya, wajahnya memerah karena marah.
Anak-anak sekelas malah tertawa lebih keras, tidak peduli dengan amarah Tristan. “Wah, Tristan ngebelain nih! Ciyeee, sweet banget!” ledek seorang lagi, membuat tawa semakin pecah di seluruh kelas.
Bimo dan Nasya yang melihat ini merasa situasinya mulai tak terkendali. “Udah, kalian jangan keterlaluan! Itu nggak lucu!” seru Bimo mencoba menghentikan ledekan.
“Iya, stop! Lo semua udah kebangetan!” Nasya ikut membela, suaranya lebih tajam. Ia merasa bertanggung jawab karena semuanya bermula dari gosip yang tidak sengaja ia lontarkan.
Namun, meski dibela, ejekan tidak juga berhenti. Suara tawa masih terdengar, meskipun pelan.
Rafael sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. Dia langsung berjalan cepat keluar kelas tanpa sepatah kata, wajahnya merah karena marah dan malu. Tristan dengan cepat menyusulnya, sementara Nasya dan Bimo juga ikut keluar, tak tahan melihat situasi yang semakin buruk.
Begitu mereka tiba di luar, suasana terasa tegang. Rafael diam seribu kata, masih berusaha mengendalikan dirinya, sementara Tristan, yang sudah muak, langsung berbalik menatap Nasya dengan tatapan marah.
“Puas lo sekarang?!” Tristan meledak, suaranya penuh amarah. “Gara-gara lo mulai gosip aneh-aneh, sekarang kita dicengin kayak gini!”
Nasya kaget mendengar Tristan yang begitu marah padanya. “Gue nggak maksud gitu, Tris. Sumpah, gue nggak nyangka mereka bakal begitu,” ucap Nasya dengan nada bersalah, air matanya hampir mengalir.
Namun, Tristan tidak peduli. “Lo kira ini bercanda?! Ini bukan hal yang bisa lo ledekin begitu aja!”
Rafael, yang masih menahan amarahnya, tiba-tiba melangkah maju, melerai. “Udah, Tris,” katanya pelan, tapi tegas. “Gue juga kesel, tapi kita nggak bisa terus-terusan marah.”
Tristan masih memandang Nasya dengan tajam, tapi akhirnya menahan diri. “Gue cuma benci ngeliat lo ngerasa nggak salah, padahal ini gara-gara omongan lo,” gumamnya kesal, sebelum akhirnya diam.
Rafael menoleh pada Nasya, raut wajahnya penuh kekecewaan. Namun, dia tidak meledak seperti Tristan. “Gue ngerti lo nggak sengaja, tapi sekarang semua jadi kayak gini. Lo tau kan, ini nggak gampang buat gue,” ucapnya dengan nada yang lebih tenang, meskipun jelas-jelas tersirat betapa kecewanya dia.
Nasya tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia menunduk, merasa sangat bersalah. “Maaf... gue beneran nggak nyangka bakal kayak gini. Maaf, Raf... Tris...” suaranya terisak pelan, membuat suasana semakin berat.
Di sampingnya, Bimo juga mulai merasa bersalah. “Gue juga minta maaf. Gue yang bikin gosip ini makin nggak terkendali. Harusnya gue nggak ikut-ikutan nyebar cerita. Ini salah gue juga.”
Tristan menatap mereka berdua dengan amarah yang masih membara. Matanya bergantian memandang Nasya dan Bimo, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. “Lo berdua sama aja,” ujarnya dingin. “Emang bisa disebut temen kalo kayak gini? Apa gunanya lo semua bilang temen, tapi malah ngejatuhin?”
Suasana menjadi semakin tegang, dan kata-kata Tristan terasa seperti pukulan keras bagi Nasya dan Bimo. Keduanya tidak tahu harus berkata apa lagi, sementara Rafael hanya terdiam, tak tahu bagaimana harus menenangkan suasana.
Tristan menghela napas panjang, mencoba menahan emosi yang meledak-ledak. Tanpa berpikir panjang, dia langsung menoleh ke Rafael dan menarik tangannya. “Udah, yuk cabut aja. Gue gak mau di sini.”
Rafael mengikuti langkah Tristan, meski hatinya masih terasa berat. Nasya dan Bimo yang merasa bersalah langsung berusaha menyusul, tapi Tristan menoleh dan membentak mereka. “Gosah ngikutin! Gue gak mau liat lo berdua sekarang.”
Nasya dan Bimo langsung berhenti, terdiam dalam keterkejutan mereka. Hati mereka hancur, tidak tahu harus bagaimana menghadapi kemarahan Tristan yang begitu dalam. Mereka hanya bisa melihat Rafael dan Tristan berjalan pergi, sementara mereka berdua terjebak dalam rasa bersalah yang terus menghantui.
***
Rafael dan Tristan berjalan menuju kantin dengan perasaan berat. Di sepanjang perjalanan, Rafael merasa ada sesuatu yang salah, tapi dia tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Begitu mereka tiba di kantin, keributan kecil yang biasa terdengar mendadak berubah ketika mereka masuk. Sorakan yang jauh lebih ramai dan ejekan yang lebih kasar tiba-tiba menggema di seluruh ruangan. Seolah-olah gosip yang awalnya hanya di dalam kelas kini telah menyebar ke seluruh sekolah.
“Woi, couple baru datang nih! Gimana, udah jadian beneran belum?” ledek salah satu siswa dari kelompok yang duduk di pojokan kantin. Suaranya jelas terdengar di seluruh ruangan, dan tawa terbahak-bahak langsung mengikutinya.
“Kalo lo jadian, undang-undang kita, ya!” teriak yang lain, membuat lebih banyak siswa tertawa.
Tristan langsung mengetatkan rahangnya, merasakan darahnya mendidih mendengar ejekan itu. Tapi sebelum dia sempat bereaksi, ejekan lain datang.
“Eh, lo udah ngajarin Rafael buat nyikat gigi bareng belum, Tris? Biar romantis gitu!” sambung seorang siswa lain, diiringi tawa yang makin keras. “Atau lo udah mandi bareng?”
Tristan tak tahan lagi. Dia maju ke arah kerumunan, suaranya meledak dengan penuh kemarahan. “Kalian semua nggak ada kerjaan ya?! Mulut kalian gampang banget buat ngomongin orang, kan?!” teriaknya, wajahnya merah padam.
Tapi bukannya berhenti, ejekan malah semakin menjadi-jadi.
“Aduh, pacarnya marah, guys!” teriak seorang siswa lagi dengan tawa sinis. “Jangan-jangan Rafael baper nih kalo lo marah-marah, Tris!”
Tristan langsung menghentak meja terdekat, suaranya penuh kemarahan. “Lo semua nggak ngerti apa yang gue alamin! Lo kira lucu? Lo kira gampang jadi bahan ejekan?!”
Tapi ejekan tak berhenti di situ. “Ih, kasian dong Rafael, ditinggal sendirian lagi kayak kemarin! Mati nggak nih kalo ditinggal?” ucap seseorang dari kerumunan, kembali menyinggung kejadian yang hampir membuat Rafael kehilangan nyawa.
Wajah Tristan makin memerah, emosinya sudah di puncak. “Gue bilang diem!” Tristan mulai mendekati meja orang yang terus mengejek mereka. “Lo bener-bener cari mati ya?! Lo kira ini hal remeh buat gue sama Rafael?!”
Dia sudah hampir menghampiri siswa yang terus-terusan mengejek, tangannya mengepal dengan kuat. Tapi saat itu, di tengah keributan yang dia ciptakan sendiri, Tristan tiba-tiba menyadari sesuatu. Dia berbalik, mencari Rafael yang tadinya ada di sampingnya.
“Raf?” Tristan menoleh dengan cepat, matanya menyapu seluruh ruangan. “Rafael?!” panggilnya lagi, tapi Rafael sudah tidak ada di tempat.
Tristan langsung merasa panik. Tadi Rafael ada di sini, kan? Tapi sekarang, dia hilang begitu saja, tanpa suara, tanpa jejak.
Di tengah kekalutannya, Tristan melihat pintu kantin, dan entah kenapa dia merasa Rafael mungkin sudah pergi keluar. “Rafael!” panggilnya lagi dengan lebih keras, tapi tidak ada jawaban.
Semua sorakan dan ejekan yang tadi memenuhi kantin perlahan mereda, tapi Tristan sudah tidak peduli lagi dengan mereka. Wajahnya cemas, jantungnya berdegup kencang, dan dia merasa bersalah karena terlalu sibuk meladeni orang-orang yang mengejeknya sampai tidak sadar Rafael pergi begitu saja.
“Lo pada puas sekarang?!” teriak Tristan lagi ke arah siswa-siswa yang tadi terus mengejeknya, suaranya penuh dengan amarah yang tak terbendung. Tapi kali ini, tidak ada yang tertawa lagi. Semua siswa menatap Tristan dengan bingung atau takut, tapi Tristan tidak peduli. Dia bergegas keluar dari kantin, berharap bisa menemukan Rafael.