Binar jatuh cinta pada kakak kelasnya sudah sangat lama, namun ketika ia merasa cintanya mulai terbalas, ada saja tingkah lelaki itu yang membuatnya naik darah atau bahkan mempertanyakan kembali perasaan itu.
Walau mereka pada kenyataannya kembali dekat, entah kenapa ia merasa bahwa Cakra tetap menjaga jarak darinya, hingga ia bertanya dan terus bertanya ..., Apa benar Cakrawala juga merasakan perasaan yang sama dengannya?
"Jika pada awalnya kita hanya dua orang asing yang bukan siapa-siapa, apa salahnya kembali ke awal dimana semua cukup baik dengan itu saja?"
Haruskah Binar bertahan demi membayar penantian? Atau menyerah dan menerima keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19. Sakit
Cakra berjalan di koridor. Sesuatu yang tidak ia duga, lelaki itu kini sakit, Cakra kira ia demam dan flu karena kemarin hujan-hujanan. Ia enggan jika hanya tiduran di rumah saja, mengingat papanya hari ini masih ada di rumah, entah sampai kapan. Kemarin ia baru saja bertengkar. Bahkan tadi melewatkan sarapan pagi karena enggan bertemu sang papa.
Perutnya keroncongan, kemarin saja Cakra bela-belain ke dapur ketika tengah malam untuk makan. Sengaja ketika yang lainnya tertidur, Cakra malas kalau harus bertemu anggota keluarga lainnya.
Lelaki itu kini memasuki kelas, beberapa orang menatapnya sesaat ketika ia masuk.
"Hoi, Cak!" Putra menyapa.
Cakra mengangkat sebelah tangannya sambil tersenyum tipis untuk balas menyapa.
Putra bertatapan dengan Bima sesaat, mengode apakah Bima tahu alasan di balik sikap Cakra yang lesu, tapi tak mendapatkan jawaban apa-apa.
"Kenapa lo Cak? Letoy gitu, biasanya baterai lo full. Nggak dapat jatah semalam?---aduh!"
Lelaki itu mendapatkan jitakan di keningnya dari Bima. Sementara Cakra hanya duduk di samping temannya, tanpa membalas ucapan Putra. Biasanya lelaki itu tidak akan diam seperti ini.
"Gue pusing, sekarang mau masuk kelas dulu. Tapi kalau tambah sakit, pelajaran kedua nanti gue izin nggak masuk, mau ke UKS aja," katanya.
"Oh sakit toh, gue kira lo nggak bisa sakit," kata Putra sambil mangut-mangut.
Bima merapatkan bibir, ia mengambil smartphone dari saku celananya. Lelaki itu mengetikkan sandi setelah sebelumnya ia menghidupkan smartphone. Bima menghidupkan data, lalu menekan sebuah aplikasi berwarna hijau dan putih. Berniat memberi pesan pada seseorang.
***
Binar membawa bekal yang berada di tas jinjing miliknya. Semula, ia dan Pelangi ingin bersama-sama menuju UKS, setelah tadi Pelangi mendapatkan pesan dari Bima kalau Cakra sakit.
Tapi Bima meminta Pelangi agar Binar saja yang pergi ke UKS. Binar membiarkan itu. Lalu istirahat ini, setelah ia mendapatkan kepastian bahwa Cakra memang berada di UKS. Gadis itu ingin melihat keadaan Cakra sekaligus memberikan bekalnya, jaga-jaga saja jika Cakra tak membawa bekal.
"Permisi," ucap Binar ketika berada di ambang pintu.
Hampir semua orang yang berada di UKS menjawab Binar. Gadis itu bisa melihat ada Ravana, mbak Sena, Sasha, dan Asenaga.
"Eh, Binar? Ayo masuk, mau jenguk Cakra ya? Kebetulan hari ini gue yang piket di UKS bantuin mbak Sena." Sasha tersenyum.
Sasha piket hari ini? Oh Tuhan. Kenapa harus pas sekali ketika Cakra lagi sakit? Binar balas tersenyum, meski dalam hati menggerutu sebal.
"Iya Kak," kata Binar sambil memasuki ruang UKS.
"Rav, dia ceweknya Cakra?" Asenaga berbisik pada Ravana yang berada di sampingnya.
"Ya," jawab Ravana singkat.
"Kita udah kan jenguknya? Jadi, ayo ke kantin," kata Asenaga sambil merangkul Ravana.
Mereka berdua keluar dari UKS. Sementara Binar mengikuti Sasha, kakak kelasnya itu membukakan tirai hingga Binar bisa melihat Cakra, ada plester pereda panas demam juga di kening lelaki itu. Binar tak mau tahu jika Sasha yang menempelkan plester demam di kening Cakra. Ia tak ikhlas, semoga saja Cakra sendiri atau mbak Sena yang memasangnya, batin gadis itu bersuara.
"Kak Cakra udah minum obat?" tanya Binar.
"Justru itu Bi, Cakra nggak mau minum obat. Dia aja disuruh makan nggak mau, nggak berselera katanya."
Binar menganggukkan kepala.
"Gue ke mbak Sena dulu ya, lo bisa di sini. Gue tutup lagi tirainya."
Binar mengangguk. Sasha berbalik dan menutup gorden. Harus Binar akui, mungkin Sasha memang tidak seburuk yang ia pikirkan.
Gadis itu mengambil kursi dan duduk di samping ranjang. Ia menatap Cakra beberapa saat, bahkan ketika tertidur saja lelaki itu masih sangat tampan, pikirnya.
"Kak Cakra?"
Lelaki itu mengerang pelan. Binar meraba kedua pipi Cakra dengan punggung tangannya, lalu turun ke leher, kemudian menarik tangannya kembali. Ya, cukup panas. Cakra mengerang lagi, perlahan membuka mata, lalu ia mengerjap. Kini menolehkan kepala dan mendapati Binar sedang menatapnya.
"Kak Cakra udah bangun?" kata gadis itu.
Cakra meletakkan lengannya di atas kepala. Ia menghela napas pelan. "Gue nggak tidur," katanya dengan suara parau.
"Aku khawatir waktu tahu Kak Cakra sakit, katanya Kakak nggak mau minum obat sama nggak mau makan juga. Makan dulu ya, aku bawain bekal buat Kak Cakra."
Kening Cakra mengernyit. "Dari mana lo tahu gue sakit?"
"Umh ... itu, tadi kak Bima ngasih tahu Pelangi, jadi aku tahu dari Pelangi."
Cakra menghela napas pelan. Seharusnya ia sudah menduga hal itu.
"Kalau Kak Cakra butuh sesuatu, bisa minta sama aku," kata Binar.
"Gue minta lo pergi dari sini."
Gadis itu mengerjap dua kali. "A-apa?"
"Gue minta lo pergi dari sini," ulang Cakra.
Binar menelan ludahnya. "Tapi kalau aku pergi, siapa yang jaga Kak Cakra?"
"Gue nggak butuh dijaga siapa pun, gue bisa jaga diri gue sendiri. Lagian kalau gue butuh sesuatu, di sini ada mbak Sena sama Sasha. Balik sana ke kelas lo, gue pusing."
Mungkin bagi Cakra, ucapan itu tak seberapa. Tapi tidak bagi Binar, ia merasakan sesuatu yang entah apa itu mengimpit dadanya. Kini, Binar menundukkan kepala sambil menatap tas jinjing bergambar beruang, yang di dalamnya berisi bekal yang ia bawa.
Kemarin Cakra baik, sekarang sudah begini lagi. Apa lelaki itu sebenarnya masih marah? Atau Binar melakukan kesalahan lagi? Tapi apa? Bahkan ia tidak bertemu Senopati, atau pun berdekatan dengan lelaki lain.
Binar mencengkeram erat tas itu.
"Gue mau tidur. Gue nggak mau bikin repot, lo makan aja makanan yang lo bawa sendiri."
"Aku sama sekali nggak repot. Aku senang lakuin ini, aku senang kalau bisa bantu Kak Cakra, bawain bekal, dan lainnya. Kak Cakra boleh minta apa pun, tapi nggak boleh nyuruh aku pergi," kata Binar pelan.
"Kenapa nggak boleh?"
"Karena aku nggak mau. Aku nggak akan ninggalin Kak Cakra."
Lelaki itu menaikkan sebelah alis sesaat, lalu bersin kecil. "Bahkan ketika gue nyuruh lo pergi? Kenapa? Gue nggak terima alasan karena lo nggak mau."
Binar mengangkat kepala. Ia menatap lelaki itu. "Kalau gitu, aku bakal keluar dari sini. Aku bakal kembali ke kelas. Tapi ada syaratnya, Kak Cakra harus makan bekal yang aku bawa, habis itu minum obat. Lalu ... aku bakal pergi, seperti yang Kak Cakra mau."
Cakra tak habis pikir. Bagaimana bisa Binar memikirkan hal itu? Ia memijit pelipisnya sesaat. "Gue bakal makan makanan yang lo bawa, tapi lo harus keluar sekarang," kata lelaki itu.
"Aku nggak mau. Gimana aku tahu Kak Cakra makan makanannya terus minum obat kalau aku nggak di sini?"
Helaan napas pelan keluar dari mulut Cakra. Ia menggeser tubuhnya ke samping kiri, tangannya terangkat. Cakra menggeser gorden, membuat Binar mengernyitkan kening.
"Sini bekalnya," pinta lelaki itu.
Binar memberikan bekal yang ia bawa dengan kening yang masih mengernyit.
"Sha! Kalau gue nggak makan makanan ini, terus nggak minum obat. Lo laporin ke Binar," katanya sambil menatap pada Sasha yang berada di dekat mbak Sena.
"Oh?" Sasha menatap Binar dan Cakra bergantian sesaat, lalu tersenyum sambil menatap Cakra.
"Ok siap!" katanya.
Setelah itu, Cakra kembali menutup gorden. Ia menatap Binar. "Sekarang, lo bisa pergi."