"Apakah cinta pernah salah memilih sasaran? Mengapa cinta tercipta diantara kita yang berbeda? Bolehkah aku marah pada Tuhan karena telah menumbuhkan cinta di hatiku untuk mu?"
Potongan sajak tulisan Renata menggambarkan luka hatinya karena kisah cintanya yang rumit. Perasaannya terhadap Gilang berkembang menjadi cinta yang tak pernah Renata sadari sejak kapan.
Jika saja mereka tidak berbeda keyakinan, apakah mereka bisa bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Purnamanisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Remuk
"Kamu ngapain disini?" tanya Gilang, heran.
"Papa ngajak mampir sini dulu abis dari gereja," kata Renata sambil menunjuk salah satu bapak-bapak yang tengah mengobrol dengan Kepala Desa.
"Papa kamu perangkat Desa?" tanya Gilang. Renata mengangguk sambil tersenyum.
"Oalaaah... Kirain ngapain malem-malem kesini,"
"Lang!" panggil Ridwan.
"Eh, aku kesana dulu ya. Ati-ati pulangnya," kata Gilang lalu berlalu pergi. Renata tersenyum, lalu kembali fokus pada ponselnya.
"Siapa, Lang?" tanya Ridwan.
"Temen,"
"Cantik,"
"Cewek mana yang nggak cantik di mata kamu?" kata Gilang.
"Ehe~ tapi kalo disuruh milih, aku lebih milih Mbak Ainun," kata Ridwan sambil meringis.
"Lagipula nggak ada yang nyuruh kamu milih kok, Wan. Tenang aja," kata Gilang.
"Yaelah, Lang. Ngayal dikit boleh lah..." kata Ridwan.
"Boleh, boleh. Asal kamu bahagia ajalah. Tuh, Bang Arifin udah mulai kerja,"
"Kamu sih pake tebar pesona dulu,"
"Nggak usah aku terbar biasanya udah terpesona sendiri kok,"
Ridwan hanya mencibir mendengar kata-kata Gilang. Keduanya lalu sibuk membantu mendekorasi ruangan yang akan mereka gunakan untuk acara besok.
"Eh, Lang," panggil Dodi. Gilang lalu mendekat ke arah Dodi yang berdiri di ambang pintu bersama seorang bapak-bapak.
"Gimana, Dod?" tanya Gilang.
"Ini, Pak Theo, salah satu perangkat desa, mau memberi donatur buat acara kita. Masih bisa nggak?" tanya Dodi.
"Oh, bisa-bisa. Nanti bisa kita alokasikan untuk hadiah pemenang lomba atau dana tambahan kalau ada peserta tambahan," kata Gilang.
"Semoga bermanfaat. Terserah nanti mau dialokasikan untuk apa, yang penting niat saya membantu kelancaran adek-adek ini," kata Pak Theo sambil menyodorkan sebuah amplop.
"Terimakasih banyak, Pak, atas bantuan dan dukungannya. Semoga acara besok dapat mendatangkan manfaat," kata Gilang sambil menerima amplop dari Pak Theo.
"Aamiin..."
"Ini cowok semua?" tanya Pak Theo pada Gilang sambil melongok ke dalam ruangan melihat tidak ada panitia perempuan disana.
"Iya, Pak. Kan Pemuda Muhammadiyah. Kalo yang remaja putri ada sendiri organisasinya," jelas Gilang.
"Oo gitu... Tadinya anak perempuan saya mau saya suruh ikut bantu-bantu," kata Pak Theo sambil menunjuk ke arah Renata dan Theresa yang sedang duduk di bangku di sisi jauh Balai Desa. Gilang cukup terkejut, ternyata Pak Theo adalah ayah Renata.
"Ooh... Kalo besok ada ceweknya, Pak. Kalo besok mau gabung juga boleh," kata Gilang mempersilakan.
"Oh? Iya? Bisa, bisa. Nanti tak tawarkan ke anak-anak. Paling yang mau yang sulung, yang bungsu itu agak-agak susah kalo disuruh kumpul-kumpul gitu," kata Pak Theo sambil terkekeh.
"Iya, Pak. Besok langsung dateng aja kesini," kata Gilang sambil tersenyum.
"Ya, ya. Ya udah kalo gitu, Mas Gilang, saya pulang dulu," pamit Pak Theo.
"Nggih. Matursuwun, Pak,"
Gilang menatap Renata yang berdiri ketika melihat ayahnya datang ke arahnya. Sesaat mata Renata menatap Gilang yang menatapnya. Keduanya saling melempar senyum.
'Duh, manisnya...'
***
Balai Desa hari Minggu terlihat sangat ramai. Acara santunan bagi anak-anak jalanan yang diadakan Pemuda Muhammadiyah setempat mendapat respon yang positif dari masyarakat. Gilang dan teman-temannya yang sudah sibuk sedari pukul enam pagi terlihat mondar-mandir memastikan kelancaran acara mereka.
Pukul tujuh empat puluh menit Ainun tiba di Balai Desa dengan ditemani oleh Reza yang lalu membantu Gilang dan kawan-kawan. Para peserta satu per satu sudah memasuki ruang Balai Desa. Ainun pun menyiapkan diri, berkoordinasi dengan sie acara yang sudah siap di depan ruangan.
Pukul delapan tepat. Suara pembawa acara sudah memenuhi ruangan, menyapa para peserta yang semuanya adalah anak-anak jalanan dengan kisaran usia lima sampai tiga belas tahun. Setelah pembukaan acara, dan sambutan dari Kepala Desa dan ketua panitia, acara masuk ke acara inti yang diisi oleh Ainun.
Ainun segera membuka sesinya dengan brainstroming yang diisi dengan menyanyikan lagu berbahasa Inggris. Setelah anak-anak terlihat santai, Ainun memperkenalkan diri dengan bahasa Inggris juga.
"Hello, everyone! My name's Ainun. Please call me Miss Ainun. Got it?" kata Ainun penuh semangat. Anak-anak yang mendengar hanya tersenyum dan ada pula yang tertawa.
Ainun melanjutkan sesi belajar dengan mengajarkan berhitung dan mengenal nama-nama benda dalam bahasa Inggris dengan menggunakan lagu dan flashcard. Anak-anak terlihat antusias. Kemudian Ainun membagi peserta menjadi enam kelompok untuk bermain quiz, mengasah memori setiap peserta.
"Keren Mbak Ainun," gumam Gilang yang terdengar oleh Reza yang berdiri di samping Gilang.
"Keren kan? Jadi, yang dulu itu gimana?" tanya Reza pada Gilang.
"Apaan, Bang?"
"Mau nggak sama Ainun?" tanya Reza dengan nada menggoda.
"Bang Reza ini, guyonan terus,"
"Serius gue,"
"Hah?"
"Mau ya? Biar gue yang urus," kata Reza.
"Eh, Bang. Jangan asal urus. Mbak Ainun aja belum tentu mau sama aku," kata Gilang.
"Eeee... Kan kemarin gue udah bilang. Masa' lo nggak percaya?"
Gilang mengerutkan alisnya, matanya menatap Ainun yang tengah mengisi acara di depan ruangan. Gilang masih ragu dan tak percaya kalau perempuan seperti Ainun akan tertarik pada dirinya.
"Gue yakin, Ainun tertarik sama lo," kata Reza yang seolah tahu apa yang dipikirkan Gilang.
"Masa' sih, Bang?"
"Percaya sama gue," kata Reza percaya diri.
Gilang kembali menatap Ainun yang dengan ceria mengisi acara di depan ruangan. Tanpa Gilang sadari, Gilang tersenyum melihat Ainun. Seketika mata Ainun dan Gilang beradu. Sedetik, dua detik, lalu Ainun kembali fokus pada tugasnya. Sebuah senyum terkembang di wajah Gilang.
Tanpa Gilang sadari, Renata berdiri di belakang Gilang, mendengar semua pembicaraan Gilang dan Reza. Meski samar-samar, Renata menangkap inti pembicaraan tersebut. Hatinya perih saat itu. Ingin rasanya berlalu pulang, tapi kedatangannya yang baru saja bersama papanya membuatnya mengurungkan niatnya.
"Gue rasa, Bu Siti juga bakal seneng kalo lo sama Ainun jadi," kata Reza, masih melanjutkan pembahasan tentang perjodohan Ainun dan Gilang.
"Ibuk, ibuk," kata Gilang sambil menggelengkan kepalanya membayangkan reaksi ibunya.
Hati Renata semakin hancur. Bayangan tentang Bu Siti dan Ainun yang saling berpelukan tergambar jelas di pikirannya. Rasanya Renata sudah tak sanggup lagi kalau harus mendengarkan apa yang akan Reza dan Gilang bahas setelah itu.
"Kamu kok diem aja, Ren?" sebuah suara menyadarkan Renata, dan juga membuat Gilang otomatis langsung menoleh ke belakang.
"Katanya mau ikut bantu-bantu. Malah cuma liat disini. Eh, Mas Gilang, ini putri sulung saya, Renata. Maaf telat, tadi ke gereja dulu," kata Pak Theo pada Gilang.
"Eh, iya. Nggak apa-apa. Kamu nanti bantu bagiin alat-alat lomba mewarnai aja ya?" kata Gilang pada Renata.
Renata hanya mengangguk sambil menunduk, mencoba menata hatinya yang remuk karena telah tak sengaja mendengar pembicaraan Reza dan Gilang.
'Tuhan, bisakah Kau cabut rasa cinta ini?'
***
Author's note:
Nggih. Matursuwun : Ya. Terimakasih
Guyonan : Candaan
Tipe cwo kyk gilang itu mang paling sukses bkin cwe2 kebaperan 😂
Klo tar punya pasangan yg sensian, gampang cemburuan, posesif,, Gak akan kuat deh..
Pasti bakal makan ati mulu tiap hari 🤣🤣
Gilang keknya tipe cowo friendly gtu 🤣 jd kesannya suka tebar pesona ke cwe2, tipe gtu biasanya bkin mkn ati, bkin srg cembokur 😂
Yodahlah mending gilang sama ainun aja..
tuh nun ambil sono gilang 🤣🤣
aku jd keinget film Ayat Ayat Cinta, kisahnya Maria, Fahri & Aisyah..
Agak mirip 😅
tapi dak baca kepo ma penasaran ma critanya kk author
Aku sbnrnya lebih suka gilang sama renata.. Klo sama ainun kyknya gimana gtu susah jelasin..
Tp terserah author lah endingnya tar gmn 😁