Seruni adalah seorang gadis tuna wicara yang harus menghadapi kerasnya hidup. Sejak lahir, keberadaannya sudah ditolak kedua orang tuanya. Ia dibuang ke panti asuhan sederhana. Tak ada yang mau mengadopsinya.
Seruni tumbuh menjadi gadis cantik namun akibat kelalaiannya, panti asuhan tempatnya tinggal terbakar. Seruni harus berjuang hidup meski hidup terus mengujinya. Akankah ada yang sungguh mencintai Seruni?
"Aku memang tak bisa bersuara, namun aku bisa membuat dunia bersuara untukku." - Seruni.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Krisan Merah Muda
Seruni
Sekarang aku mengerti kenapa Bu Surti mewanti-wantiku sebelum kedatangan Tuan Perdana. Ternyata saat Tuan Perdana datang, aura dalam rumah ini langsung berubah menjadi lebih suram. Mas Avian yang biasanya jahil dan suka mengerjaiku kini berubah menjadi anak yang pendiam dan penurut.
Saat acara makan malam bersama, Mas Avian hanya mengunyah makanannya dan menjawab pertanyaan Tuan Perdana sesekali. Mas Avian bahkan tak berani langsung masuk ke dalam kamar meskipun sudah selesai makan sampai diijinkan Tuan Perdana. Apakah Tuan Perdana semenakutkan itu sampai Mas Avian saja tak berani untuk menyanggahnya?
Aku membawakan teh manis dan kue lapis legit ke ruang keluarga. Tuan Perdana nampak sedang menanyai Mas Avian sambil menatap Mas Avian dengan lekat. "Bagaimana kuliah kamu? Lancar?" tanya Tuan Perdana dengan suara yang berat.
"Lancar, Pa," jawab singkat Mas Avian.
.
"Yakin lancar? Papa dengar, nilai kamu semester ini turun dibanding semester kemarin. Semua karena kamu kebanyakan bermain. Belajar lagi yang rajin. Papa tidak mau penerus Papa adalah anak yang bodoh." Ucapan Tuan Perdana begitu pedas dan menyakitkan hati. Kini aku tahu dari mana sifat Mas Avian berasal. Ternyata buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Kulirik Mas Avian yang menganggukkan kepalanya dengan wajah sebal. "Iya, Pa. Aku akan belajar lebih rajin lagi."
Aku menaruh kue dan minuman di atas meja dan sadar kalau aku kini sedang menjadi pusat perhatian Tuan Perdana. Aku tidak terkejut ketika suara beratnya menegurku. "Ini pembantu yang kamu pekerjakan untuk mengawasi Avian?" Tuan Perdana bertanya pada Nyonya Anita yang asyik menyeruput teh hangat buatanku. Aku tak berani mengangkat wajah dan memilih untuk menunduk.
"Iya, Pa. Mama tugaskan Runi untuk mengawasi Avian. Papa tahu sendiri kalau Bu Surti tidak bisa bekerja selama 24 jam karena harus mengurus suaminya yang sakit. Lebih baik ada Runi yang bisa mengurus rumah ini dan mengawasi Avian 24 jam," jawab Nyonya Anita dengan suaranya yang tenang.
Aku merasakan kalau diriku kini sedang ditatap oleh Tuan Avian. Selesai menaruh makanan dan minuman, aku ingin pamit dan cepat-cepat pergi ke belakang namun ternyata Tuan Perdana mengajakku bicara, "Runi, kamu harus mengawasi Avian dengan benar. Jangan sampai anak ini ikut pergaulan bebas seperti teman-temannya yang lain!"
Aku hanya menganggukkan kepalaku dengan patuh. Tak lama Nyonya Anita menyuruhku ke dalam dan mereka kembali berbicara serius. Akhirnya aku bisa bernafas lega di dalam. Ternyata benar kata Bu Surti, Tuan Perdana begitu menakutkan, hanya ditanya begitu saja sudah membuatku ketakutan, apalagi Mas Avian yang seakan sedang disidang. Aku jadi kasihan melihatnya.
Nyonya Anita dan Tuan Perdana hanya menginap semalam namun sudah berhasil membuat suasana rumah menjadi suram. Mas Avian yang biasanya ceria kini terlihat begitu tertekan. Saat aku memberitahunya kalau sarapan sudah siap, Mas Avian malah memilih untuk pergi ke halaman belakang rumah dan menatap bunga krisan merah muda dengan tatapan sedih.
Aku mendekati Mas Avian dan menepuk bahunya pelan. Kugerakkan tanganku seperti sedang memasukkan sendok ke dalam mulut agar Mas Avian tahu kalau aku memintanya untuk makan. Mas Avian menolak, ia menggelengkan kepalanya dan malah memilih untuk memotong tangkai bunga yang layu. "Aku masih kenyang, Runi. Kenyang diceramahi oleh Papa. Lebih baik aku di sini. Rasanya tenang melihat bunga-bunga krisan merah muda ini tumbuh subur, membuatku merasa damai."
Aku menuliskan sesuatu di kertas lalu memberikannya pada Mas Avian. "Aku setuju, Mas. Bunga krisan ini sangat cantik. Saat aku datang ke rumah ini, aku begitu terpukau melihat taman berisi bunga krisan yang sangat indah. Aku yakin Mas Avian yang membuat taman ini menjadi semakin indah."
Mas Avian membaca tulisanku lalu tersenyum kecil. "Sok tahu kamu! Bunga krisan ini Mama yang punya. Sayangnya, Mama terlalu sibuk sampai jarang ke rumah ini. Bunga krisan itu harus dijaga dengan sepenuh hati. Bu Surti yang selama ini merawat bunga-bunga ini, aku hanya datang kalau suntuk saja. Kamu tahu tidak kalau bunga krisan merah muda ini ada artinya?"
Aku menggelengkan kepalaku. Aku hanya tahu kalau bunga krisan merah muda itu cantik dan tidak tahu kalau ternyata setiap bunga ada artinya.
"Bunga krisan merah muda adalah simbol kebahagiaan, kehangatan dan persahabatan yang erat. Aku berharap dengan merawat bunga krisan ini, aku juga bisa mendapatkan kebahagiaan selama tinggal di rumah ini. Kamu tahu sendiri bukan kalau aku terpaksa kuliah di sini demi memenuhi keinginan Papa dan melupakan keinginanku sendiri. Menurutmu ... apakah keputusan yang aku ambil sudah tepat?" Untuk pertama kalinya Mas Avian mau mencurahkan isi hatinya padaku.
"Jujur aku tidak tahu tepat atau tidak namun upaya Mas Avian mematuhi perintah orang tua adalah tindakan yang mulia. Pasti orang tua Mas Avian melakukan semua ini demi kebaikan Mas Avian sendiri." Kuberikan kertas yang aku tulis pada Mas Avian yang membacanya lalu tersenyum tipis.
"Semoga saja apa yang kamu katakan benar." Mas Avian berdiri lalu mengacak rambutku dan masuk ke dalam.
Aku hanya bisa memandangi punggungnya yang lebar seraya memegang dadaku yang berdegup dengan kencang. Ada apa sih dengan diriku? Kenapa jantungku terus berdegup kencang setiap kali Mas Avian mengacak rambutku?
***
Setelah kepulangan kedua orang tuanya, Mas Avian kembali menjadi pribadi yang ceria lagi. Ia senang sekali memanggil namaku hanya untuk menyuruhku melakukan hal-hal sepele. "Runi! Runi!"
Aku menghampiri Mas Avian dan merapikan sepatu miliknya yang ditaruh sembarangan. "Aku bawa sesuatu. Kita makan di taman belakang ya!" Kali ini Mas Avian pulang membawa es buah untuk kami berdua. Wah, pas sekali makan es buah di siang hari yang terik ini.
Aku menggangguk dan tersenyum lebar. Kubawakan dua buah mangkuk dan sendok lalu ikut duduk di bangku taman. Di bawah sinar mentari yang terik, kami menikmati es buah sambil menatap bunga-bunga krisan yang sangat cantik. "Runi, besok aku akan ujian. Kamu harus membantuku ya, aku akan menghafal bahan ujianku dan kamu yang mengoreksi apakah benar atau tidak. Kamu setuju?"
Aku memberikan jempolku dan tersenyum. Kalau hanya membantu Mas Avian belajar sih kecil, aku sudah biasa sekarang. Lumayan bayarannya jajanan yang enak-enak.
"Bagus, anak pintar. Kamu juga harus mengikuti pelajaranku, siapa tahu kamu jadi tambah pintar."
Aku kembali menganggukkan kepalaku. Aku senang berada di rumah ini dan bisa mengenal Mas Avian. Awalnya saja ia bersikap seram dan menyebalkan tapi semakin mengenalnya aku semakin tahu kalau Mas Avian ternyata sangat kesepian dan tertekan akibat keputusan yang orang tuanya ambil secara sepihak. Mas Avian yang semula lebih sering berada di dalam kamar kini sering mengajakku mengobrol. Taman bunga krisan biasanya tempat favorit kami.
Aku hanya menuruti apa yang diperintahkan oleh Mas Avian. Kadang aku disuruh menulis tugas merangkumnya yang banyak, kadang aku disuruh membantunya menghafal dan terkadang kami hanya mengobrol saja sambil menikmati makanan yang Mas Avian beli di luar.
"Aku bosan nih di rumah terus, kita jalan-jalan yuk!" ajak Mas Avian setelah aku membantunya menghafal pelajaran.
Jalan-jalan? Wah, aku harus bertanya dulu pada Bu Surti, apakah boleh ikut jalan-jalan keluar sama Mas Avian atau tidak, namun ternyata Bu Surti sudah pulang. Bu Surti memang tidak pernah lama berada di rumah, ia hanya membersihkan rumah, memasak lalu pulang setelah pekerjaannya selesai. Bu Surti punya suami yang sedang sakit keras dan harus ia urus di rumah. Bu Surti sudah bekerja lama pada keluarga Nyonya Anita karena itu Bu Surti diperbolehkan bekerja setengah hari.
"Loh, kok diam saja? Ayo, siap-siap! Kita pergi jalan-jalan sekarang. Mau ikut jalan-jalan tidak?"
Aku mengangguk cepat. Nanti sajalah ijinnya, toh Mas Avian yang mengajakku. Cepat-cepat aku masuk ke dalam kamar dan kembali dengan pakaian kerjaku yang baru.
"Loh, kenapa pakai seragam kerja sih? Oh iya, kamu tidak punya baju ya selain dress warna merah yang kamu kenakan saat pertama kali datang. Sebentar, aku ambilkan baju yang cocok untuk kamu!" Mas Avian pergi ke kamarnya dan kembali dengan membawa sebuah kaos dan celana panjang. "Pakailah!"
Selesai berganti pakaian, Mas Avian sudah menungguku di halaman depan rumah. Dengan menaiki sepeda motor bebek miliknya, kami pergi ke pasar malam. Mas Avian mengajakku untuk membeli beberapa pakaian. Semenjak tinggal di rumah ini, aku hanya mengenakan seragam kerja karena aku tak punya uang untuk membeli pakaian.
"Jangan pakai baju itu terus. Kamu boleh kok pakai baju lain. Kalau Papaku datang saja kamu pakai seragam. Papa suka bawel dan banyak aturan." Mas Avian tiba-tiba berhenti menceramahiku ketika seorang wanita cantik melintas di depan kami. Wajahnya terlihat agak terkejut dan sebuah senyum tipis terukir di wajah tampannya. Mas Avian berbisik pelan di telingaku. "Dia calon tunanganku. Jangan bicara macam-macam ya dengannya!"
Apa? Calon tunangan?
****
eh jd papa Dio dan mama Ayu...itu yg punya bisnis Ayu Furniture itu?...olala...😂😂😂
Kavi menjadi pemuda yang luar biasa, Seruni berhasil mendidiknya.