Hutang budi karena pernah ditolong, seorang pria kaya berjanji akan menikahkan putrinya kepada pemuda bernama Kosim anak orang miskin yang menolongnya.
Di lain pihak istri seorang kaya itu tak setuju. Dia tak rela bermenantukan anak orang miskin dengan rupa kerap dicemooh orang desa.
Namun sang suami tak mau ingkar janji, ia menyebut tanpa ditolong orang miskin itu entah bagaimana nasibnya mungkin hanya tinggal nama.
Akhirnya sang istri merestui namun dalam hatinya selalu tumbuh rasa antipati kepada sang menantu, tak rela atas kehadiran si menantu orang miskin yang buruk rupa.
Bagaimana jadinya? Ya, "Mertua Kaya Menantu Teraniaya."
Lebih rincinya ikuti saja jalan ceritanya di buku kedua penulis di PF NToon ini.
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fendy citrawarga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Senjata Andalan Bi Icih
"Terima kasih, Teh," ujar Fitri, ceria.
Bi Icih dan Ambu Usih juga tak tahan lagi menahan perasaan haru dengan mata bekaca-kaca melihat banyak orang yang mengasihi Fitri.
Karena waktu sudah malam, pukul 21:00, akhirnya Mang Koyod dan Bi Icih pamitan.
"Sudah malam Bah, kami permisi. Betah-betah di sini ya Den Kosim, Jeng Yani," ujar Mang Koyod.
"O iya silakan Yod. Hati-hati di jalan ya," balas Bah Omod tetap mengingatkan menantu dan anaknya yang akan pulang ke rumahnya.
"Iya Mang, insyaallah kami kerasan bersama Abah dan Ambu di sini," tutur Kosim.
Mang Kosim dan Bi Icih pun bangkit.
"Fit, Bapak belum bisa ngasih duit sekarang ya, belum gajian dari Pak Hajinya," kata Mang Koyod kepada putrinya.
Fitri tampak mengernyitkan dahi dan berwajah layu mendengar omongan sang ayah. Tapi harus bagaimana lagi, memang kemampuan ayahnya seperti itu.
"Ya udah, jangan dipikirin Yod. Yang bener aja bekerja di Pak Hajinya, kalau sudah gajian ya kasih," ujar Bah Omod.
Bah Omod mencoba menengahi 'perseteruan' ayah dan anak karena masalah duit. Dia memakmlumi kalau Fitri berwajah cemberut mendengar ucapan bapaknya karena belakangan ini Fitri merengek ingin dibelikan HP baru.
"Iya, iya doakan saja Bah biar kami sehat, Abah dan Ambu pun sehat. Sehat semuanya pokoknya," kata Mang Koyod lalu mengajak Bi Icih pergi.
"Tunggu, Icih!" kata Ambu Usih.
"Ada apa Ambu?"
"Ini bawa!" ujar Ambu Usih menyodorkan rantang berisi makanan dan sebagian jamuan yang masih banyak.
"Untuk di sini aja!" kata Bi Icih tapi tangannya sudah menggenggam rantang pemberian ibunya.
"Bawa! Jangan menolak rezeki," tutur Ambu Usih.
"Iya, iya, terima kasih. Permisi Bah, Den Kosim, Jeng Yani. Fitri Emak pulang dulu ya," kata Bi Icih.
"Iya. Emak. Hati-hati di jalan," ujar Fitri sembari sun tangan kepada Emaknya.
Semuanya mengikuti langkah Mang Koyod dan Bi Icih yang turun dari rumah panggung milik orangtuanya itu, sama seperti rumah miliknya yang beralaskan papan alias rumah panggung khas kampung.
Baru sekitar lima langkah, tiba-tiba ada yang memanggil Bi Icih.
"Bi," seru yang memanggil. Bi Icih tahu iu suara Jeng Yani. Keruan saja Bi Icih terkejut.
"Oh, iya Jeng. Ada apa ya?"
"Ini sekadar uang jajan, mohon diterima ya," ujar Yani, ternyata mengasihkan 3 lembar uang seratus ribuan.
"Uang apa ini Jeng?" Bi Icih heran.
"Ya uang jajan, lumayan. habis kami udah merepotkan Bibi walau cuma dua malam," kata Yani.
"Enggak usahlah, Bibi dan Mamang ikhlas, kok," Bi Icih mencoba mengembalikan uang pemberian Yani, namun Yani telanjur telah pergi dan memasuki rumah Bah Omod.
Sementara Kosim menghampiri Mang Koyod dan mohon agar Mang Koyod mengabari Pak Haji bahwa dia dan sang istri numpang di rumah Abah Omod dan Ambu Usih. Mang Koyod mengangguk.
Bi Icih pun tak bisa berbuat apa-apa, uang pun dipegang erat-erat sembari tak henti-hentinya beryukur mendapatkan rezeki namplok.
Lantas tadi Bi Icih melihat wajah Fitri mendadak kusut saat suaminya bilang belum bisa ngasih uang karena belum gajian.
Tadinya Bi Icih berniat mau kembali ke dalam rumah orangtuanya untuk memberi Fitri uang, tetapi pintu sudah ditutup.
"Biar besok saja," bisik Bi Icih lalu pergi menyusul suaminya.
"Dikasih apa sama Jeng Yani?" tanya Mang Koyod setelah mereka berdua berjalan saling berdekatan.
"Uang, Kang. Benar-benar orang baik tuh Jeng Yani," kata Bi Icih berterus terang.
"Bagi aku," rengek Mang Koyod.
"Hus, ya janganlah ini buat keperluan dapur yang sudah empot-empotan karena Mamang jarang ngasih. Sebagiannya untuk si Fitri, kasihan tadi dia cemberut mendengar omongan Akang. Lain kali jangan begitu," ujar Bi Icih.
"Jangan begitu bagaimana?" Mang Koyod belum mengerti.
"Ya ke anak itu jangan berterus terang mengatakan kesusahan kita, itu bisa membuat pikirannya terganggu. Akang lihat tadi begitu Akang ngomong kesulitan hidup wajah si Fitri langsung berubah kusut," kilah Bi Icih.
"Daripada disembunyi-sembunyikan, bilang kaya tapi gak punya apa-apa. Ayo bagaimana?" timpal Mang Koyod tak mau kalah oleh ocehan sang istri.
"Ya udah terserah Akanglah. Tapi tolong uang ini jangan minta, untuk aku dan Fitri," balas Bi Icih.
"Iya, iya, tapi nanti kalau udah gajian dari Pak Haji dipotong ya?" kata Mang Koyod lagi, tampaknya dia tak suka dengan cara Bi Icih yang tak mau mengasih uang pemberian dari Yani.
"Boleh, tapi rencana pagi tadi untuk melanjutkan hasrat yang tertunda karena Akang ketiduran saat menanti doping deritan ranjang Den Kosim dan Jeng Yani, dibatalkan tanpa syarat!" timpal Bi Icih mengeluarkan senjata andalannya.
"Jangan gitu dong Icih, kasihanilah Akang," rengek Mang Koyod.
"Makanya, jangan main potong gaji begitu. Gaji itu diberikan semuanya kepada istri, kalau ada keperluan baru minta. Itu namanya adil," celoteh Bi Icih.
Kalau sudah begitu, Mang Koyod hanya diam. Habis kalau tak diberi yang satu itu bisa gelisah semalaman dan tak lucu kalau harus 'main sendiri' sementara sudah punya istri.
"Iya, iya....." timpal Mang Koyod.
Akhirnya keduanya berdamai, berjalan berdekatan sambil berpegangan tangan. Namun tak dilayani oleh Bi Icih karena curiga akan mengambil uang yang dipegang oleh tangan kirinya sementara tangan kanannya memegang rantang.
Tiba di rumah Mang Koyod sudah tak sabar minta jatah, langsung mengajak 'bertempur' di ranjang ruang tamu sambil menikmati deritan ranjang yang malam kemarin tak terdengar.
***
Setelah beberapa menit ditinggalkan oleh Mang Koyod dan Bi Icih, Kosim dan Yani ditempatkan di kamar depan atau kamar tamu oleh Ambu Usih.
"Nah di sini aja kamarnya yang Den, Jeng. Maaf enggak ada ranjang atau dipan, cuma kasur doang dan bantal," kata Ambu Usih.
"Iya enggak apa-apa Ambu, terima kasih telah menyediakan kamar untuk kami," ujar Yani.
Di rumah panggung berlantai papan kayu itu memang ada tiga kamar utama, kamar tamu, kamar tengah yang didiami Fitri, dan kamar tidur Abah Omod dan Ambu Usih, satu lagi paling ujung kamar kecil untuk menyimpan beras dan barang lainnya.
Malam itu dilewatkan untuk istirahat total oleh Kosim dan Yani. Keduanya menunda dulu hasrat yang sempat menggebu-gebu saat pertama kali tidur di rumah Mang Koyod dan Bi Icih.
Itulah sebabnya ketika bangun pagi keduanya merasakan tubuh segar dengan energi yang dirasakan cukup untuk beraktivitas.
Kosim dan Yani pun bergegas ke kamar mandi yang entah di mana karena belum tahu. Lalu Yani ke dapur menemui Ambu Usih yang sudah sibuk mempersiapkan sarapan.
"Oh, kamar mandinya di luar Jeng," ujar Ambu Usih menjawab pertanyaan Yani tentang kamar mandi.
Yani pun menuju kamar mandi yang ada di luar rumah atau tepatnya pinggir dapur, namun tertutup hanya bagian atasnya yang terbuka.
Setelah sarapan bersama, tampak Fitri sudah mengenakan seragam SMP dan siap-siap akan pergi ke sekolah hari ini.
"Sekolah Fit?" tanya Yani. Fitri mengangguk, lalu menyalami semuanya mulai Yani, Kosim, Ambu Usih, hingga Abah Omod.
"Nih bekal jajannya, yang rajin belajarnya ya biar bisa ngelanjutin ke SMA. Teteh doakan semoga cita-citamu tercapai," kata Yani sambil menyodorkan selembar uang seratus ribu rupiah.
Fitri menerima uang itu dan mengucapkan terima kasih berkali-kali kepada Yani. Lalu pergi bersama teman-temannya yang telah menunggu di luar rumah.
Abah Omod keluar rumah diikuti oleh Kosim. Ya, mengikuti saran Bah Omod, Kosim tak ragu-ragu keluar rumah untuk bantu-bantu pekerjaan Bah Omod yang saat itu akan memberikan pakan untuk ayam-ayam peliharaannya yang banyak yang disimpan di kolong rumah panggungnya.
(Bersambung)