Series #2
Keputusan Rayden dan Maula untuk kawin lari tidak semulus yang mereka bayangkan. Rayden justru semakin jauh dengan istrinya karena Leo, selaku ayah Maula tidak merestui hal tersebut. Leo bahkan memilih untuk pindah ke Madrid hingga anaknya itu lulus kuliah. Dengan kehadiran Leo di sana, semakin membuat Rayden kesulitan untuk sekedar menemui sang istri.
Bahkan Maula semakin berubah dan mulai menjauh, Rayden merasa kehilangan sosok Maula yang dulu.
Akankah Rayden menyerah atau tetap mempertahankan rumah tangganya? Bisakah Rayden meluluhkan hati sang ayah mertua untuk merestui hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 : Rasa Yang Membakar
...•••Selamat Membaca•••...
Di dalam kamarnya, Leo dan Maureen kembali memikirkan perkataan dan pendapat dari Marlo tadi. Leo duduk dengan kedua tangan menopang dagunya, meresapi setiap kalimat yang Marlo lontarkan. Maureen menepuk pelan pundak suaminya, lalu duduk dan memegang tangan Leo. Memberikan kekuatan yang mulai hilang perlahan di mata dan hati suaminya.
“Aku keterlaluan ya?” tanya Leo lirih sambil menyandarkan kepalanya ke bahu sang istri.
“Tak ada yang salah, hanya saja benar apa yang dikatakan oleh Marlo. Kita hanya terlalu fokus menyalahkan Rayden padahal dia juga korban dari semua ini. Saat Maula diserang, dia sedang mencari tahu mengenai Bianca, bukan duduk manis di dalam rumah. Bukan hanya Rayden yang teralihkan, bahkan orang-orang kita juga dialihkan. Bukankah penjahat sesungguhnya itu Isabella? Harusnya dia yang disalahkan, bukan Rayden.” Leo menatap mata istrinya yang mulai berkaca-kaca, seakan apa yang Maureen katakan seperti sihir bagi Leo.
“Aku salah berarti.” Maureen menggeleng lemah dan menangkup wajah suaminya.
“Kamu juga tidak salah, wajar jika kita sebagai orang tua khawatir dengan anak kita. Yang salah adalah orang yang berusaha merusak dan mengadu domba kita sayang.” Hati Leo mulai sedikit tenang, dia memeluk erat Maureen.
Benar apa yang dikatakan oleh Marlo, bahwa Maureen adalah cahaya bagi Leo begitu pun dengan Maula.
“Aku akan coba bicara dengan Maula nanti, tidak sekarang. Aku juga butuh waktu untuk memikirkan keselamatan anakku dan menjaga kalian semua.”
“Iya aku mengerti, lebih cepat lebih baik bukan.” Leo mengangguk.
Di dalam kamar Maula, ia menangis sambil menyandarkan kepalanya di kedua paha Marlo.
“Aku yakin, Papa pasti akan merestui hubungan kalian. Beri mereka waktu dan bersikaplah seolah kau baik-baik saja,” ujar Marlo sambil mengusap lembut rambut Maula.
“Aku yang bersalah dalam semua ini Marlo, dia berubah lagi jadi bringas karena aku, dia memiliki banyak musuh dan kembali ke dunia bawah juga karena doronganku. Aku yang menjerumuskan hidupnya.” Air mata Maula masih terus mengalir sampai membasahi bantal yang dipangku oleh Marlo.
“Berhenti menyalahkan diri sendiri. Pikirkan saja mengenai kuliahmu dan fokus pada kehidupanmu, jangan pikirkan cerai lagi. Papa pasti akan mengerti semua ini, percaya padaku.”
“Kau akan tetap di sini kan?” Marlo mengangguk.
“Ya, mau ke mana lagi aku? Aku ambil cuti kuliah, kepalaku mumet melihat buku terus.” Maula memukul kaki Marlo.
“Kurang ajar, diberi fasilitas malah leha-leha kau.” Marlo hanya tertawa.
“Tidurlah, jalani hari esok seperti biasa. Senyum, tawa bahkan semangat, lakukan semuanya seperti biasa. Mengerti.” Maula mengangguk dan memejamkan matanya.
...***...
Maula mengikuti arahan dari adiknya itu, dia bahkan terlihat sangat biasa dan lebih semangat seperti hari-hari biasanya. Leo dan Maureen juga tidak mau membahas mengenai masalah ini.
“Aku pergi ke kampus ya Ma, Pa, dada cantiknya kak.” Maula mencium pipi Thalia, semenjak masalah ini, Maula jadi sering abai pada adik bungsunya itu.
Maula pergi ke kampus bersama Sofia, sebenarnya Sofia sudah ingin pindah ke asrama namun dilarang oleh Maureen. Karena Maula sudah nyaman dengan Sofia yang benar-benar baik dan sangat menjaga hubungan.
“Jadi bagaimana Pa?” Marlo bertanya dengan nada rendah tapi tegas pada Leo.
“Papa akan merestui hubungan mereka dan akan menggelar pesta pernikahan yang sangat mewah di New York dan Las Vegas.” Leo tersenyum begitu pun dengan Maureen, lalu dia melanjutkan, “Biarkan Maula menyelesaikan semester ini dengan baik, nanti liburan semester genap, kita akan ke Amerika.” Marlo berdiri dari bangkunya dan memeluk Leo, Maureen sangat lega dengan keputusan suaminya itu.
“Tolong jangan beritahu dulu pada Maula ataupun Rayden, biarkan ini menjadi kejutan untuk mereka berdua ya. Tidak lama lagi semester genap akan berakhir, semoga saja kejutan ini menjadi kejutan terindah bagi mereka,” harap Leo dengan mata berbinar.
“Pasti, aku akan memberikan kado pernikahan paling mahal untuk mereka.” Marlo berkata dengan penuh kebahagiaan, akhirnya apa yang menjadi masalah dalam keluarganya mulai terselesaikan satu persatu.
...***...
Hari-hari berlalu tanpa beban untuk Maula, kebahagiaan mulai kembali terukir di wajah cantiknya. Kuliahnya juga sangat lancar tanpa hambatan sementara Rayden masih diliputi dengan amarah dan kekesalan.
Dia selalu menguntit Maula ke mana pun gadis itu pergi, bahkan dia begitu cemburu ketika melihat Lucan sering jalan dengan Maula. Ya sekedar jalan ke kantin, kampus atau ke rumah sakit, tak lebih.
Hanya bagi Rayden, hal itu sangat berlebihan dan memicu rasa cemburunya.
Maula juga memblokir nomor Rayden, seringkali Rayden menghubungi dengan nomor baru tapi sama sekali tak digubris oleh gadis itu. Rayden benar-benar kehilangan sosok Maula, tak ada kehangatan lagi di antara mereka.
Rayden memilih untuk melampiaskan kekecewaannya di klub malam, mabuk hingga pagi bahkan membunuh orang-orang yang layak dia bunuh. Sangat bertolak belakang dengan Maula yang sudah mulai reda dengan masalah ini.
Bar malam itu sepi, lampu-lampunya temaram seperti sisa-sisa bara yang tak lagi punya semangat untuk menyala. Rayden duduk sendiri di sudut ruangan, bahunya membungkuk seperti menanggung beban dunia yang tak terlihat.
Kemeja hitamnya kusut, lengan digulung asal, dan tangan kirinya gemetar saat menuangkan cairan keemasan dari botol ke dalam gelas kristal yang sudah lama kehilangan kilau.
Clink.
Suara es batu menyentuh dasar gelas.
Dia menatap cairan itu lama, seolah mencari jawaban di pusaran alkohol yang tak pernah peduli.
“Wiski tidak pernah berbohong,” gumamnya pelan. “Tidak seperti istriku yang tiba-tiba menghilangkan cinta di hatinya padaku.”
Tangannya yang satu lagi meraih botol kedua. Belum habis yang pertama, tapi pikiran Rayden tak lagi mengenal logika.
Hatinya dibakar kecewa pada Maula, pada dirinya sendiri, dan pada apa yang dia yakini sebagai keadilan. Ia ingat wajah ibunya, remuk dalam diam. Ia ingat bagaimana Isabella merenggut segalanya dari tangannya.
Dan ia ingat dengan rasa getir yang memualkan, betapa Rayden pernah percaya bahwa kejahatan bisa ditukar dengan pengampunan.
Kebohongan terbesar dalam hidupnya.
Gelas itu menempel di bibirnya.
Satu tegukan.
Dua.
Lalu tiga dalam irama cepat, tanpa rasa, seperti siksaan yang ia yakini pantas ia tanggung.
“Vindex,” gumamnya, menatap pantulan wajahnya sendiri di permukaan meja bar yang licin. “Pembalas yang bahkan tak tahu siapa dirinya lagi. Aku masuk dalam pusaran ini demi kamu tapi kamu malah memilih untuk pergi, hahaha”
Ia tertawa kecil—tawa pahit, tak lucu, tak lepas dari dendam.
Tiba-tiba, tangannya menghantam meja. Botol bergoyang, hampir jatuh.
Semua orang menoleh, tapi hanya sebentar. Tempat ini terlalu akrab dengan pria-pria patah seperti Rayden.
Dia memeluk botol itu seolah itu satu-satunya yang tersisa. Matanya mulai merah, bukan hanya karena alkohol, tapi karena luka lama yang kembali berdarah.
“Kalau aku mabuk, aku bisa berhenti berpikir,” desisnya, “dan kalau aku berhenti berpikir... mungkin aku bisa berhenti merasakan cinta gila ini. Sayangnya, setiap kali aku minum, kenapa kau yang selalu aku harapkan untuk hadir? Aku sangat mencintaimu, Piccola.”
Hening.
Kepalanya tertunduk.
Dan dari sela-sela jari yang mencengkeram kepalanya, mengalir setetes air mata. Bukan karena sedih lagi, tapi karena marah. Marah pada dirinya sendiri yang terlalu lemah untuk tidak terluka dan marah karena berkali-kali gagal menjadi pelindung sehingga dia kehilangan kepercayaan dari Leo.
Di luar, hujan mulai turun.
Dan Rayden—sang pembalas, sang pria tanpa belas kasihan menjadi seorang anak laki-laki yang terlalu lama menahan rasa kehilangan dan dia butuh sosok pelita itu.
Dalam malam yang memabukkan, hanya wiski yang mendengarkannya tanpa menghakimi serta wajah Maula yang hadir bagai bayang-bayang yang buram.
...•••Bersambung•••...