Mertua Kaya Menantu Teraniaya
"Kosiiiiiiiim........!" teriak Amih Iah memanggil sang menantu prianya yang saat itu tengah makan karena perutnya sudah sangat lapar dari pagi hingga pukul 11:00 belum makan.
"Iya Mih. Ma, mangap....lagi makhan," timpal Kosim sang menantu yang sangat dibenci mertua perempuannya itu.
Kosim bicara dengan mulut penuh makanan hingga terdengar tidak sempurna.
Amih Iah, demikian orang-orang menyapa Ibu Hajah Sajiah, istri Pak Haji Soleh ini, sangat geram mendengar Kosim bicara tak jelas. Itu tak sopan, pikirnya.
Amih Iah pun setengah loncat menuju kamar anak menantunya. Tampak Kosim lagi makan di lantai kamarnya tak beralaskan apa pun, ia begitu lahap makan yang disajikan sang istri.
Sementara Yani, istri Kosim atau putri Pak Haji Soleh dan Amih Iah tengah merapikan pakaian yang baru diangkatnya dari penjemuran. Meski masih jam 11:00 tapi sebagian sudah ada yang kering karena sudah dijemur dua kali dengan hari kemarin.
Amih Iah berkacak pinggang, tak ubahnya orang-orangan di sawah. Kosim tak hirau, dia masih terus menyuapi mulutnya sendiri karena belum kenyang.
"Hey, kunyuk!" semprot Amih Iah demi melihat si Kosim m⁶asih anteng mengunyah padahal mertua galaknya sudah berkacak pinggang di ambang pintu.
Kosim tak menyahut. Ia mencuil bagian ikan pindang yang montok, lalu dimasukkan ke dalam mulutnya. Lalap daun kol muda dicoelkan ke sambal terasi merah menyala yang disimpan di piringnya.
Keruan saja Amih Iah tambah emosi. Dia merasa sudah tidak dihargai lagi oleh menantu yang disebutnya kunyuk. Kalau menantunya kunyuk, mertuanya apa ya?
"Sekali lagi kamu cuekin aku, aku gampar kepala borokan kamu!" ancam Amih Iah.
"Bu, ada apa sih kok gitu sama Kang Kosim? Kasihan dia dimaki-maki terus?"
Akhirnya Yani bangkit dari tepian ranjang lalu menghampiri ibunya dan menyuruhnya agar pergi. Kalau ada perlu mengapa tidak bicara baik-baik, bukannya marah-marah tak keruan begitu.
"Kamu lagi mau-maunya dinikahi anak orang miskin dan buruk rupa!"
Deg!
Jantung Kosim terasa sakit mendengar ucapan Amih Iah barusan. Kata-kata itu kerap ia dengar ketika mertua perempuannya memarahinya,
menyebut orangtuanya miskin, menyebut rupanya buruk.
Namun apa daya dia hanya bisa mengurut dada. Untuk yang satu ini Kosim tak bisa membela diri karena memang kenyataannya begitu. Ya, orangtuanya miskin, rupa dia pun amat jauh dengan rupa orang cakep atau ganteng, apalagi dipersamakan dengan aktor Korea, tak seujung kukunya.
Benar, Yani sang istri yang cantik, kulit kuning langsat, tubuh lumayan berisi, bahkan sedikit seksi dengan bokong sedikit jumbo, ditambah selalu mengenakan hijab, siapa pria yang tak tertarik kepada Yani anak orang kaya lagi.
Tapi kenapa juga Yani harus mau dinikahi pria macam Kosim yang jelas-jelas anak orang miskin dan rupanya buruk seperti dikatakan Amih Iah.
Sudah mah anak orang miskin, rupa buruk dengan kulit hitam meski tidak legam, rambut lurus, tubuh kurus kering meski tidak sampai kerontang.
"Jadi, semua yang dikatakan mertua perempuan gue itu benar adanya. Oleh karena itu tak perlu dibela atau membela diri dengan berkata yang bukan-bukan kalau tak ingin menambah masalah," benak Kosim.
Namun, ketika barusan, terdengar mertuanya menyebut dia kunyuk, ini jelas perlu dilawan, tak boleh dibiarkan, sebab dia tahu mertuanya tak punya penyakit katarak yang menyebabkannnya hilang indra netranya sehingga tak bisa membedakan mana manusia mana kunyuk.
"Hey, kalau orang lagi ngomong dengerin ya, lihat ya, jangan terus makan! Itu penghinaan!" koar Amih Iah kian menjadi-jadi karena Kosim belum memberikan reaksi apa pun.
Padahal niatnya marah-marah untuk mencari-cari kesalahan Kosim agar bisa dengan mudah menghasut suaminya sehingga Kosim dan Yani segera bercerai.
Namun alih-alih menuruti kemauan sang isti, Pak Haji Soleh kerap membela Kosim dengan atas nama utang budi kepada orangtuanya.
"Kan Amih yang nyuruh diam!" timpal Kosim sudah punya senjata untuk membalikkan ucapan ejekan mertua wanitanya.
"Apa maksudmu?" Amih Iah mendekati wajah Kosim laksana singa yang mau melahap kepala kambing muda.
"Tadi kan Amih bilang hey kunyuk! Ya udah aku diam karena yang ibu sapa kunyuk, sedangkan aku sumpah manusia. Kalau gak percaya boleh tes DNA tes DNO, tes apa pun!' celoteh Kosim yang sehari-harinya memang senang bersilat lidah menyudutkan orang yang suka menghinanya.
Kosim pikir, harta kekayaan boleh miskin, rupa boleh buruk, tapi otak harus tetap kaya, tubuh harus tetap bersih dengan bersuci untuk salat biar tetap berderajat takwa.
Bukankah menurut firman Tuhan manusia yang paling mulia di sisiNya hanyalah orang yang paling takwa, bukan orang yang paling kaya, orang yang paling beriman, bukan orang yang paling tampan, orang yang paling penyabar, bukan orang yang paling pintar.
Kosim bergumam demikian bukan untuk membela diri, tetapi itulah ketentuan Allah SWT yang Mahaadil dan Bijaksana.
Bayangkan, kalau Tuhan menetapkan bahwa orang yang paling mulia itu orang yang paling kaya, yang paling cakep, yang paling pintar, terus bagaimana dengan orang miskin, orang yang buruk rupa? Kalau itu terjadi, jelas Tuhan tidak adil. Dan itu mustahil.
"Bisa aja bersilat lidah! Dasar tak mengenyam bangku sekolah!" hina Amih Iah lagi.
Kosim tak menyanggah karena memang dia pun tak mengenyam pendidikan layaknya orang lain yang bisa tamat SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi. Kosim hanya masuk SMP kelas 1, tidak sampai tamat karena kehabisan keuangan keburu ayahnya Pak Soma meninggal dunia.
Amih Iah meninggalkan kamar Kosim, namun sebelumnya, ia menyuruh dengan kasar agar Kosim mengisi baik air di kamar mandi hingga penuh. Bak air yang harus diisi dengan air dari sumur. Itu atinya Kosim harus menimba air dari sumur yang begitu dalam.
"Nyi ini udah, tolong simpan ke dapur ya, langsung cuci biar Amih tidak marah-marah lagi," pinta Kosim kepada istrinya yang dari tadi mematung menyaksikan ibunya memarahi sang suami.
Yani cuma bisa diam. Dia begitu hormat kepada orangtuanya, apalagi kepada ibunya yang telah mengandungnya meski dia sangat
tidak senang terhadap sikap ibunya yang selalu memarahi sang suami.
Bagaimanapun Kosim keadaannya, dia adalah suaminya yang harus dihormati yang harus dihargai. Yani sadar terhadap ajaran agama bagaimana semestinya sikap seorang istri terhadap suaminya, bagaimanapun keadaan suaminya sepanjang sang suami berada di jalan yang benar.
Oleh karena itu Yani pun merasakan kepedihan hati suaminya ketika dimarahi dan dimaki-maki ibunya. Satu hal yang tak bisa dia lakukan, membela sang suami dengan terang-terangan kecuali hanya berkata alakadarnya agar sang suami tidak terlalu sakit hati, paling tidak kehadiran dirinya di samping suaminya punya arti.
"Iya Kang. Sabar ya atas semua sikap Amih. Kita berdoa semoga ke depan ada perubahan," lirih Yani di telinga Kosim yang kemudian menganggguk mengiyakan.
Benar apa yang dipikirkan Yani bahwa kehadirannya sangat berarti bagi Kosim. Kosim tak dapat membayangkan bagaimana dia akan sangat teraniaya jika Amih yang galak itu didukung oleh istrinya.
Selama ini yang mendukung sikap Amih hanyalah kakak Yani nomer dua, Deni, yang kini tengah kuliah di kota tapi lebih sering pulang ke rumah meminta uang dengan motornya.
Deni pula yang kerap membawa-bawa pria lain ke sini entah temannya di kampung sini atau dari kota yang menawarkan ibunya untuk menjadikan suami bagi Yani. Tapi alhamdulillah Yani tak tergoda.
Itu tak lain atas didikan Pak Soleh ayahnya. Memang Kosim tahu semula Yani menolak dijodohkan dengan dirinya meski juga dia tidak menyebut pria lain yang tengah mendekatinya.
Belakangan Kosim tahu dari Yani katanya Pak Soleh dan Yani bicara serius tentang mengapa Pak Soleh menjodohkan Kosim dengan Yani.
"Bapak berutang budi kepada Pak Soma. Tolong ikuti nasihat Bapak, bukannya Bapak tidak kasihan kepada kamu Yan, tapi Bapak sudah keluar kata-kata berupa janji ketika Bapak nyaris kehilangan nyawa dan ditolong oleh Pak Kosim......" kata Pak Soleh seperti ditirukan oleh Yani kepada Kosim.
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Hadimulya Mulya
kok sabar,kn dh rumah ttg harus mandiri lah
2024-02-25
1