Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Gara-gara sebuah insiden yang membuatnya hampir celaka, Syahla dilarang keluarganya untuk kuliah di Ibukota. Padahal, kuliah di universitas itu adalah impiannya selama ini.
Setelah merayu keluarganya sambil menangis setiap hari, mereka akhirnya mengizinkan dengan satu syarat: Syahla harus menikah!
"Nggak mungkin Syahla menikah Bah! Memangnya siapa yang mau menikahi Syahla?"
"Ada kok," Abah menunjuk pada seorang laki-laki yang duduk di ruang tamu. "Dia orangnya,"
"Ustadz Amar?" Syahla membelalakkan mata. "Menikah sama Ustadz galak itu? Nggak mau!"
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja?
Nantikan kelanjutannya ya🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Diantar Kak Rama
Ustadz Amar melangkahkan kaki keluar dari kelas. Ia merogoh sakunya mencari ponsel yang memang tidak pernah ia aktifkan selama di dalam kelas. Hal itu dikarenakan dirinya tidak suka pelajarannya terganggu oleh suara apapun. Maka, para mahasiswa juga terkena imbasnya. Karena mereka juga dilarang untuk mengaktifkan ponsel selama kelas berlangsung. Jika ketahuan tidak patuh, sudah pasti langsung ditendang keluar.
"Mari Pak," sapa para mahasiswi yang melewatinya.
"Mari," Ustadz Amar mengangguk datar, tidak peduli melihat para mahasiswi yang sok cantik cari perhatian padanya. Ia justru lebih fokus membaca pesan teks dari istrinya.
Istri Kecil: 'Saya izin pulang telat ya Om Suami,'
Tanpa menunggu lama, Ustadz Amar langsung menekan tombol panggilan suara. Beberapa saat kemudian, telepon diangkat.
"Halo?"
"Mau kemana?" tanya Ustadz Amar tanpa basa-basi.
"Ada acara organisasi,"
"Sama siapa?"
"Ada Kak Anne, sama Kak Rama.."
"Rama lagi?"
"Iya. Tapi kan nggak cuma berdua, ada Kak Anne juga."
Ustadz Amar menghela napas panjang. "Pulang jam berapa?"
"Katanya sih nggak sampe malem,"
"Nanti saya jemput. Beri kabar setiap 30 menit sekali,"
"Iya, iya...."
Telepon ditutup. Ustadz Amar lagi-lagi menghela napas panjang. Entah kenapa, firasatnya selalu tidak tenang setiap kali mendengar nama Rama yang akhir-akhir ini selalu berada di sekitar istrinya.
Sementara itu, Syahla pergi bertiga bersama Kak Rama dan Kak Anne menggunakan mobil milik Kak Rama. Syahla duduk di belakang, dan kedua kakak tingkatnya itu duduk berdua di bangku depan.
Sesampainya di rumah yang dituju, Syahla memperhatikan kedua seniornya itu bekerja. Ia kagum karena Kak Rama maupun Kak Anne terlihat sangat profesional.
"Akhirnya selesai juga," Kak Anne menghembuskan napas lega. Mereka keluar dari rumah itu sekitar pukul setengah enam sore. "Masih ada waktu nih. Makan dulu, yuk?"
Syahla hanya menganggukkan kepala sambil sibuk mengirim pesan pada Ustadz Amar. Memberitahukan kalau urusannya sudah selesai dan minta dijemput pulang.
"Dek Lala?"
Syahla mendongakkan kepala mendengar Kak Rama memanggil namanya.
"Mau makan apa?" Tanya Kak Rama kemudian.
"Saya ikut saja kak,"
"Kita makan di tempat biasanya aja yuk," ajak Kak Anne. "Jam segini warungnya pasti masih buka."
"Oke," Kak Rama menoleh lagi ke arah Syahla yang masih sibuk dengan ponselnya. "Yuk, Dek Lala."
Syahla menurut. Ia kembali membuka pintu belakang mobil sebelum Kak Rama mencegah. "Dek Lala duduk depan aja,"
Syahla terkejut. Ia langsung bertatapan mata dengan Kak Anne yang sudah terlanjur membuka pintu mobil depan.
"Eh, nggak usah Kak. Saya lebih suka di belakang."
"Lo di depan aja," Kak Anne langsung menutup pintu depan dan membuka pintu belakang. Syahla merasa tidak enak hati. Tapi karena Kak Anne sudah bilang begitu, dia menurut.
...----------------...
"Lu kenapa pengen masuk sastra, Dek Lala?" tanya Kak Rama saat mobil sudah mulai berjalan.
"Oh, itu karena saya suka nulis novel, Kak."
"Oh ya? Lu nulis dimana? Udah ada yang terbit belum? Gua juga pengen baca karya Lu,"
"Ah, baru ada di aplikasi novel online sih Kak. Belum ada yang terbit," Syahla menjawab malu-malu.
"Ntar Lu share link ke Gua ya, begini-begini Gua juga suka baca novel,"
"Oke Kak," ucap Syahla sumringah.
"Kalau gitu, gimana kalau Lo coba bikin narasi buat artikel kali ini?"
"Hah?" Kak Anne yang sedari tadi hanya mendengarkan angkat bicara. "Maksud Lo gimana sih, Ram?"
"Santai An, kita kan juga butuh regenerasi. Dek Lala kan suka bikin novel, jadi dia udah punya dasarnya. Lu tinggal bimbing dia sedikit buat bikin naskah,"
"Ya tapi nggak bisa gitu juga dong Ram. Waktunya kan udah mepet, tinggal seminggu lagi!" Protes Kak Anne.
Syahla panik. Kenapa dua orang ini malah bertengkar? Ia lalu buru-buru menyahut.
"Iya Kak. Bener kata Kak Anne. Waktunya udah mepet, dan saya nggak yakin bisa selesai tepat waktu."
"Gua percaya kok sama kemampuan Dek Lala. Anne juga bakalan bantu kok. Iya kan An?"
Kak Anne tidak menjawab dan malah memalingkan muka ke arah jendela di sampingnya.
...----------------...
"Kalau buat video, Lu pencet yang ini," Kak Rama tampak menunjukkan beberapa tombol di kamera digitalnya saat mereka sudah duduk di warung bakso. "Gimana? Bisa kan?"
Syahla mengikuti petunjuk Kak Rama dan mulai merekam video. Kamera digital adalah hal yang baru untuknya. Dia berseru takjub setelah berhasil mengambil video.
"Terus, untuk nyimpennya gini,"
"Oh.." Syahla menganggukkan kepalanya senang.
"Ekhem!" Kak Anne yang duduk di depan mereka berdehem keras. "Baksonya keburu dingin tuh,"
Syahla buru-buru mengembalikan kamera ke tempatnya. Kemudian segera melahap makanannya sambil berbincang-bincang ringan bersama Kak Rama. Sementara Kak Anne terlihat lebih banyak diam.
Selesai makan, Syahla mencoba menelepon Ustadz Amar kembali. Belum ada balasan sejak terakhir kali ia mengirim pesan.
"Ck, katanya mau jemput," Syahla mengeluh.
"Kenapa Dek Lala?" Tanya Kak Rama penasaran.
"Oh, ini Kak, saya nelepon oom saya,"
"Kenapa? Oom Lu mau jemput?"
Syahla menganggukkan kepalanya.
"Gua pikir-pikir, oom Lu tuh posesif banget, ya?"
Syahla hanya bisa meringis. Tidak mau menjawab karena takut semakin banyak berbohong.
"Udah, biar Gua aja yang anter sampe rumah," Kak Rama menawarkan.
"Eh, nggak usah Kak," tolak Syahla panik. "Bentar lagi bakal dijemput kok,"
"Bentar lagi itu kapan, Dek Lala?" Kak Rama melihat jam di layar handphonenya. "Lihat nih, sudah hampir jam enam. Kamu pasti nggak mau telat sholat maghrib kan? Lagian nggak baik anak gadis di luar malam-malam,"
Syahla menggigit bibir. Disisi lain, dia takut Ustadz Amar akan marah melihat dirinya diantar pulang oleh Kak Rama, tapi, kenapa suaminya itu susah sekali dihubungi sih?
Akhirnya, dengan terpaksa, Syahla menganggukkan kepalanya.
Kak Rama mengendarai mobil sedan itu menuju kos Kak Anne terlebih dulu, baru setelah itu mengantarkan Syahla. Syahla melambaikan tangan pada Kak Anne yang tampak cuek dan langsung masuk ke dalam kos begitu saja.
Meski cuma berdua di dalam kendaraan roda empat itu, Syahla tidak merasa canggung sama sekali karena Kak Rama sangat seru diajak ngobrol. Perjalanannya juga tidak begitu terasa karena tahu-tahu mereka sudah sampai di depan gedung apartemen.
Mobil Ustadz Amar tampak baru akan keluar dari area gedung saat Syahla keluar dari mobil Kak Rama. Melihat kedatangan istrinya, Ustadz Amar langsung membuka pintu mobil dan menghampiri mereka.
"Selamat malam Pak," Kak Rama menyapa Ustadz Amar dengan sopan. Ustadz Amar melipat tangannya di depan dada sambil melihat mereka dengan tatapan tidak bersahabat.
"Kok bisa kalian pulang bareng?" tanya Ustadz Amar menginterogasi.
"Tadi saya sudah telepon, tapi Om Su—Oom nggak angkat-angkat,"
Ustadz Amar masih melihat mereka dengan tatapan tajam. "Kenapa nggak tunggu saya disana?"
"Maaf Pak, bukannya saya ikut campur. Tapi, kasihan Dek Lala kalau harus nunggu sendirian di sana. Lagipula sudah malam, saya tidak mungkin meninggalkan Dek Lala begitu saja." Kak Rama berusaha memberi penjelasan.
"Dek Lala, Dek Lala," ucap Ustadz Amar sinis.
Syahla menyadari kalau suasana di antara mereka sudah tidak enak, lantas ia buru-buru berkata pada Kak Rama.
"Kak, makasih ya sudah nganterin saya. Sekarang Kak Rama bisa pulang, takutnya kemaleman."
Kak Rama menganggukkan kepala dan tersenyum pada Syahla. "Gua pulang dulu ya, Dek Lala."
Syahla tersenyum. "Iya Kak, hati-hati."
Sepeninggal Kak Rama, Syahla melirik suaminya takut-takut. Ustadz Amar tidak berkata apa-apa, tapi kedua tangannya masih terlipat di depan dada.
"Om Suami, tadi saya sudah telepon sampean, tapi nggak diangkat-angkat. Jadi saya terpaksa deh pulang sama Kak Rama,"
"Oh," jawab Ustadz Amar singkat.
"Om Suami marah lagi? Kenapa sih marah-marah terus? Om Suami tuh maunya gimana? Mau saya nunggu sendirian di luar malam-malam begini? Kan Om Suami sendiri yang nggak bisa dihubungi!" Syahla menghentakkan kakinya kesal dan segera pergi meninggalkan Ustadz Amar.
Ustadz Amar tersentak kaget mendengar omelan Syahla. Dia hendak menyusul, tapi ingat mobilnya masih berada di luar. Ustadz Amar akhirnya hanya bisa melihat kepergian Syahla sambil mengacak rambutnya frustasi.
apalagi suaminya lebih tua