Mentari merupakan seorang perempuan yang baik hati, lembut, dan penuh perhatian. Ia juga begitu mencintai sang suami yang telah mendampinginya selama 5 tahun ini. Biarpun kerap mendapatkan perlakuan kasar dan semena-mena dari mertua maupun iparnya , Mentari tetap bersikap baik dan tak pernah membalas setiap perlakuan buruk mereka.
Mertuanya juga menganggap dirinya tak lebih dari benalu yang hanya bisa menempel dan mengambil keuntungan dari anak lelakinya. Tapi Mentari tetap bersabar. Berharap kesabarannya berbuah manis dan keluarga sang suami perlahan menerimanya dengan tangan terbuka.
Hingga satu kejadian membuka matanya bahwa baik suami maupun mertuanya dan iparnya sama saja. Sang suami kedapatan selingkuh di belakangnya. Hanya karena pendidikannya tak tinggi dan belum juga dikaruniai seorang anak, mereka pun menusuknya dari belakang.
Tak terima perlakuan mereka, Mentari pun bertindak. Ia pun membungkam mulut mereka semua dan menunjukkan siapakah benalu sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEMBILAN BELAS
"Erna, ayo buruan bangun! Udah siang, Erna," teriak Shandi sambil berlari pontang panting menuju kamar mandi. Erna yang merasa terganggu lantas membuka matanya. Matanya terbelalak sempurna saat melihat cahaya matahari telah begitu menantang dari celah gorden kamarnya atau lebih tepatnya kamar Mentari dulu.
Erna pun segera meraih ponselnya untuk melihat jam, kian terbelalak lah matanya saat melihat ternyata sudah jam 7.16.
"Mampus! Lagi-lagi telat!" umpatnya yang kemudian bergegas menuju kamar mandi. Tapi ternyata kamar mandi dikunci dari dalam membuat Erna memekik kesal.
"Mas, buka pintunya buruan! Aku telat, cepetan!" pekik Erna sambil menggedor-gedor pintu kamar mandi. Tak lam kemudian, pintu kamar mandi terbuka menampilkan tubuh polos Shandi yang tengah dipenuhi sabun.
Tak peduli pada penampilan suaminya, Erna justru langsung menuju wastafel kemudian segera mencuci muka dan menggosok gigi membuat Shandi membulatkan matanya.
"Kamu nggak mandi dulu?" tanya Shandi melotot.
"Nggak ada waktu. Aku udah telat," sahut Erna cepat membuat Shandi geleng-geleng kepala.
Kini keduanya telah bersiap. Saat setibanya di dapur, Shandi hanya bisa menghela nafasnya. Lagi-lagi tak ada sarapan ataupun minuman yang terhidang di atas meja.
"Kamu nggak bisa apa sesekali bangun lebih awal terus buatin aku sarapan? Minimal nasi goreng sama kopi, nggak perlu yang ribet-ribet," tukas Shandi kesal. Ia sedang benar-benar lapar, tapi tak ada makanan sama sekali.
"Aku nggak bisa masak, kenapa?" sinis Erna membuat mata Shandi melotot.
"Jadi yang waktu itu kamu bawa?" Ingatan Shandi terbawa ke beberapa kali Erna membawakannya makan siang ke kantor. Lalu saat makan malam tempo hari di mana Erna membawakannya steak daging. Apakah semua itu kebohongannya belaka?
"Akh i-itu anu ... maaf mas, aku duluan ya!" ujar Erna mencoba menghindari cecaran Shandi. ia yakin, bila ia tidak segera pergi, maka amarah Shandi akan meledak.
"Sial!" umpat Shandi kesal. Ia benar-benar kesal karena merasa ditipu mentah-mentah oleh Erna.
Shandi terduduk lemas di kursinya. Teringat kembali masa-masa Mentari masih berada di rumah itu. Meja makan dan kulkasnya nyaris tak pernah kosong. Sarapan selalu tersedia. Kalau perutnya tiba-tiba lapar entah itu tengah malam pun, selalu tersedia makanan buatan Mentari di meja makan ataupun kulkas. Entah itu bolu, kue, kalaupun tak ada, bila Shandi sekali saja berkata lapar, maka Mentari dengan sigap akan membuatkannya sesuatu. Tak pernah ada istilah kelaparan dalam kamus Shandi. Sebab Mentari selalu memenuhi dan melayani kebutuhannya dengan sebaik mungkin.
"Tari, kamu dimana? Mas kangen kamu, sayang. Mas kangen masakanmu. Kenapa kamu egois banget sih sayang. Kamu kan tahu, aku tuh cinta banget sama kamu, tapi kok kamu malah milih ninggalin aku. Coba aja kamu sabar, aku pastiin saat bayi itu lahir, aku akan membuang Erna dan menjadikanmu ibu dari bayi tersebut. Aku hanya butuh bayi itu, bukan perempuan itu. Aku mohon, sayang, kembalilah," lirih Shandi masih dengan keegoisannya.
Tiba-tiba Shandi teringat kalau hari ini adalah hari persidangan pertamanya.
"Aku akan membuat Tari membatalkan gugatan cerai itu. Ya, aku akan datang ke persidangan dan meminta Tari membatalkan gugatan itu. Aku yakin, dia pasti mau," pungkas Shandi dengan penuh keyakinan.
...***...
"Terlambat lagi?" cibir Agung mantan bawahannya yang kini telah berganti posisi menjadi atasannya.
Shandi memutar bola matanya jengah, "kenapa?"
"Ingat Shan, kamu itu sekarang bawahan saya, jadi bersikaplah sopan!" tegas Agung dengan tatapan mengintimidasi.
Bukannya meminta maaf, Shandi justru segera membalikkan badannya menjauhi Agung dan duduk di kursi yang dahulu di duduki Agung.
"Jangan salahkan saya kalau suatu hari nanti kamu dipecat secara tidak hormat dari sini bila sikap kamu terus semaunya seperti itu!" ucap Agung penuh ketegasan yang malah dibalas dengan sikap acuh tak acuh oleh Shandi.
Hari sudah pukul 1 siang. Menurut surat panggilan dari pengadilan, sidang gugatan perceraian Mentari padanya akan dimulai pukul 2 siang. Shandi pun bergegas menuju ruangan Agung untuk meminta izin keluar kantor selama 2 jam ke depan. Ia sebenarnya enggan menemui Agung, tapi demi Mentari ia rela menanggalkan gengsi dan harga dirinya. Tapi Agung justru tidak memberikannya izin sama sekali.
"Kau pikir perusahaan ini punya nenek moyangmu, hah, jadi kau seenaknya datang terlambat kemudian izin meninggalkan kantor dengan alasan tak jelas seperti itu!" hardik Agung membuat Shandi tercengang sebab biasanya dialah yang bersikap seperti itu. Tapi kini justru sebaliknya, ia yang dihardik oleh Agung.
"Aku mohon Gung, ini demi masa depan hidupku. Aku harus segera pergi sekarang juga," melas Shandi.
"Sekali kataku tidak, tetap tidak!" jawab Agung tegas. "Segera kembali ke mejamu!" titah Agung.
Bukannya menurut perintah atasannya, Shandi justru menggebrak meja dengan kasar.
"Belagu amat loe, hah! Baru juga menjadi manager berapa hari udah belagu. Brengsekkk! Aaargh ... "
Shandi benar-benar kesal. Kemudian ia pun segera meninggalkan ruangan Agung dan kembali ke mejanya dengan mulut yang sibuk menggerutu kesal.
"Aaargh ... sialan kau Agung. Bagaimana ini? Bagaimana bila Tari benar-benar menceraikan ku? Tidak, tidak, itu tidak boleh terjadi. Tari akan selalu dan selamanya jadi istriku," gumam Shandi sambil memandang layar ponselnya yang menampilkan foto Mentari.
Sementara itu, di ruang sidang, Mentari tersenyum girang sebab Shandi tidak datang ke persidangan. Sidang akan dilanjutkan bulan depan dengan agenda mediasi. Bila terus begini, maka keputusan verstek bisa segera diambil. Mentari hanya berharap, Shandi tidak berulah lagi sehingga ia bisa segera berpisah dengan Shandi tanpa drama apapun.
Dengan wajah girang, Mentari meninggalkan ruang persidangan seolah ia sudah menantikan momen perceraiannya dengan suka cita. Kemudian ia pun segera masuk ke dalam mobil dan melajukannya meninggalkan gedung pengadilan agama.
Saat sedang berada di lampu merah, tiba-tiba ponselnya berdering dengan nyaring. Saat dilihatnya, ternyata panggilan itu berasal dari Jervario.
"Tumben nih orang pake telepon segala. Angkat nggak ya?" Mentari tampak berpikir, apalagi traffic light sebentar lagi akan berubah menjadi kuning. Ia lantas menyambungkan ponselnya dengan earphone dan memasangnya di telinga kemudian barulah ia mengangkat panggilan itu.
"Halo, assalamu'alaikum," ucap Mentari yang langsung disambut dengan salam oleh Jervario.
"Wa'alaikum salam."
"Ada apa, Jer? Tumben telepon, apakah ..."
"Jea sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Ia mengalami pendarahan dan kontraksi," ujar Jervario memotong kata-kata Mentari. Sontak saja apa yang Jervario katakan membuat Mentari tersentak hingga menegang.
"Jadi bagaimana keadaan, Jea? Jea dibawa ke rumah sakit mana?" tanya Mentari panik.
"Aku belum tau keadaan pastinya. Tadi mama cuma ngabarin itu. Rumah sakit Cinta Medika. Aku tutup sekarang."
Tut Tut Tut ...
"Astaga, triplek dilaminating, sopan sedikit kenapa? Masa' nutup telepon kayak gitu, nggak ada sopan-sopannya sama sekali," omel Mentari yang sudah kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. "Ya Allah, semoga keadaan Jea baik-baik aja. Semoga baik ibu maupun calon buah hatinya sehat tanpa satu kekurangan apapun," gumam Mentari yang khawatir dengan kondisi sahabatnya itu.
Visual si triplek dilaminating. Entah cocok nggak menurut kakak2 semua. 😄
Kalau ada typo, tandain ya kak! Soalnya ngetiknya ini perjuangan banget soalnya mata beberapa kali merem nggak sengaja. 😂
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...
bersyukurlah Tian km masih bisa sekolah dan masih diperhatikan sm Tari .. belajar dngn baik jngn kecewakan mbak Tari mu
😁😍