Cerita ini adalah kelanjutan dari Reinkarnasi Dewa Pedang Abadi.
Perjalanan seorang dewa pedang untuk mengembalikan kekuatannya yang telah mengguncang dua benua.
Di tengah upaya itu, Cang Yan juga memikul satu tujuan besar: menghentikan era kekacauan yang telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu, sebuah era gelap yang pada awalnya diciptakan oleh perang besar yang menghancurkan keseimbangan dunia. Demi menebus kesalahan masa lalu dan mengubah nasib umat manusia, ia kembali melangkah ke medan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nugraha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 : Tatapan Naga, Diam Srigala
Malam semakin larut, langit dihiasi bintang-bintang yang berkelap-kelip. Di dalam hutan yang gelap dan sunyi, hanya terdengar suara dedaunan yang berdesir diterpa angin.
Di tengah kegelapan itu, Cang Yan masih duduk bersila dengan mata terpejam, tubuhnya dikelilingi oleh cahaya keemasan. Energi emas itu berputar perlahan, membantu menetralisir racun yang menyusup ke dalam tubuhnya.
Di sekelilingnya, aura naga yang kuat terpancar dari Huang Long, naga emas yang kini berdiri di depan tuannya. Tubuhnya yang tidak terlalu besar melingkar di sekitar Cang Yan, tapi sorot matanya tajam dan penuh kewaspadaan. Sisik emasnya berkilauan samar, memantulkan cahaya rembulan yang menembus celah pepohonan.
Tak lama setelah itu dari balik kegelapan hutan muncul beberapa pasang mata hijau yang bersinar tajam. Mereka adalah Serigala Racun Hitam, makhluk buas yang terkenal dengan racun ganas yang bisa melemahkan bahkan membunuh kultivator tingkat tinggi.
Serigala-serigala itu tidak langsung menyerang. Mereka berhenti di batas area yang dikuasai oleh aura naga Huang Long. Tubuh mereka menegang, telinga mereka bergerak gelisah. Mereka bisa merasakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuat naluri mereka memperingatkan bahaya.
Huang Long berdiri tegak di depan Cang Yan, matanya menyipit saat mengamati gerombolan serigala itu.
"Kayaknya Mereka merasakan auraku," pikirnya.
Namun, ketegangan itu tak berlangsung lama.
"Auuuuu!!"
Sebuah raungan menggelegar memecah kesunyian hutan. Suara itu begitu kuat hingga dedaunan bergetar dan burung-burung yang bersembunyi di pepohonan beterbangan dengan panik.
Dari dalam kegelapan, sesosok serigala besar muncul. Tubuhnya hampir tiga kali lipat lebih besar dari serigala lainnya, bulunya hitam legam dengan pola keunguan yang berkilauan seperti racun yang mengalir dalam darahnya. Matanya yang berwarna merah menyala menatap tajam ke arah Huang Long.
Raja Serigala Racun Hitam.
Serigala-serigala lainnya segera merendahkan tubuh mereka, menunjukkan rasa hormat. Beberapa dari mereka menggeram pelan, seolah menunggu perintah.
Namun, raja serigala itu tidak langsung menyerang. Ia menatap Huang Long dengan penuh kehati-hatian.
Naluri binatang buasnya berteriak, memperingatkannya akan bahaya yang luar biasa. Ia bisa merasakan sesuatu yang sangat kuat dari naga emas di depannya. Sesuatu yang jauh di luar kemampuannya untuk dihadapi.
Mata merahnya menyipit, dan tubuhnya sedikit menegang.
Huang Long menatap balik ke arah serigala itu, aura keemasannya menyebar ke sekelilingnya seperti gelombang yang tak terlihat.
Seketika, raja serigala itu merasakan tekanan yang luar biasa. Nafasnya menjadi lebih berat dan otot-ototnya seketika menegang.
Huang Long mengangkat kepalanya sedikit, memandang raja serigala itu dengan tatapan tajam.
"Aku tahu kau bisa mengerti," suara Huang Long terdengar, bukan sebagai ucapan melainkan sebagai tekanan mental yang langsung memasuki kesadaran raja serigala.
Serigala besar itu tersentak. Ia tidak terbiasa berkomunikasi dengan cara ini, tapi ia bisa merasakan maksud dari naga emas di hadapannya.
Huang Long melangkah maju dengan tenang, sisik emasnya berkilauan dalam cahaya bulan.
"Pergilah. Aku tidak ingin membunuh kalian, tapi jika kalian tetap di sini, aku tidak akan menunjukkan belas kasihan."
Raja serigala itu menggeram rendah, masih menimbang-nimbang situasi.
Huang Long melanjutkan suaranya kini terdengar lebih menekan.
"Kau tahu apa aku ini bukan?."
Raja Srigala itu memahami bahwa Naga didepannya ini bukanlah sekedar Naga, melainkan makhluk suci penguasa sejati dari semua binatang buas. Dan kini, makhluk itu berdiri tepat di depannya.
Raja serigala menarik napas dalam. Ia melihat kembali ke arah kawanan serigalanya yang masih dalam posisi siaga. Mereka menunggu perintahnya.
Lalu, setelah beberapa saat yang terasa sangat panjang, raja serigala itu menundukkan kepalanya sedikit, sebuah tanda pengakuan. Huang Long menyipitkan matanya.
Tanpa mengucapkan apapun, raja serigala itu berbalik, lalu melangkah mundur perlahan. Kawanan serigala lainnya pun ikut bergerak mundur, mengikuti pemimpin mereka.
Tidak lama kemudian, mereka menghilang kembali ke dalam kegelapan hutan.
Huang Long tetap diam di tempatnya, memastikan bahwa mereka benar-benar pergi. Setelah beberapa saat, ia menghela napas ringan dan kembali ke posisi semula, menjaga di dekat Cang Yan.
"Mereka tahu tempat mereka," gumamnya pelan, sebelum kembali melingkar di sekitar tuannya, menjaga dengan penuh kewaspadaan.
Malam kembali sunyi.
Di tengah meditasi, Cang Yan sedikit menyunggingkan senyum tipis.
Dan dengan itu malam terus berlanjut tanpa gangguan lain.
Angin malam bertiup lembut, membawa aroma lembab dari hutan yang semakin jauh di belakang mereka. Xue Er dan Mu Zhi berhenti di sebuah bukit kecil, menatap ke kejauhan. Bayangan Hutan Kalajengking Hitam yang suram kini hanya tampak sebagai kabut gelap.
Namun, meski jarak mereka dari hutan semakin jauh, hati Xue Er tetap diliputi kegelisahan. Tangannya mengepal erat di sisi jubahnya, bibirnya sedikit bergetar saat matanya masih tertuju ke arah hutan itu.
"Senior..."
Pikiran itu berputar-putar di kepalanya, mengusiknya tanpa henti.
Di sampingnya, Mu Zhi berdiri dengan ekspresi rumit. Matanya sekilas melirik ke arah Xue Er, melihat bagaimana gadis itu masih terdiam dalam kebimbangan.
Ia memahami perasaan Xue Er, tapi di saat yang sama, pikirannya juga dipenuhi pertimbangan lain.
Penawar racun.
Itulah yang ia butuhkan.
Sebelumnya, ia berniat mendapatkan Inti Laba-laba Putih untuk menukarnya dengan penawar dari pria tua itu. Namun, sekarang keadaan telah berubah. Penawar itu sudah ada di tangan Xue Er.
Hanya satu masalahnya Mu Hongjun juga membutuhkan penawar itu.
Mu Zhi menggigit bibirnya, hatinya bergejolak. Jika ia meminta kepada Xue Er, apakah gadis itu akan memberikannya? Apakah penawar itu cukup untuk dua orang? Atau... apakah ia harus merebutnya?
Sejenak, niat buruk melintas di benaknya. Namun, suara Cang Yan tiba-tiba terngiang di pikirannya.
"Jika kau melakukan sesuatu yang mencurigakan kepadanya, aku akan menghancurkan darah ini, dan kau pun tidak akan selamat."
Mu Zhi menghela napas panjang.
"Sial."
Ia menatap Xue Er lagi, melihat bagaimana gadis itu masih tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Xue Er menggigit bibirnya, hatinya semakin cemas.
"Senior, kamu harus bertahan..."
Tangannya mengepal semakin erat. Ia ingin kembali, ingin memastikan bahwa Cang Yan selamat. Tapi... apakah itu keputusan yang bijak?
Ia tidak tahu apakah Cang Yan masih hidup atau tidak. Jika ia kembali sekarang, apakah ia akan menyelamatkannya atau justru menjadi beban?
Mu Zhi yang melihat ekspresi Xue Er mendecak pelan.
"Xue Er," panggilnya, suaranya datar tapi mengandung sedikit ketegasan.
Xue Er tersentak, menoleh ke arahnya.
"Kau tahu sendiri seberapa berbahayanya tempat itu. Jika kau kembali sekarang, itu sama saja dengan mencari mati," lanjut Mu Zhi.
Xue Er menggigit bibirnya. "Tapi... Aku tidak bisa hanya pergi begitu saja tanpa memastikan keadaannya."
Mu Zhi terdiam sesaat.
"Kau tidak bisa menolong seseorang jika kau sendiri dalam bahaya," ujarnya.
Xue Er terdiam. Ia tahu perkataan Mu Zhi ada benarnya. Tapi, hatinya tetap berat untuk meninggalkan Cang Yan begitu saja.
Mu Zhi melirik gadis itu, lalu kembali berbicara, kali ini dengan nada lebih lembut.
"Lagipula... kita tidak tahu apakah dia benar-benar dalam bahaya atau tidak. Kau sendiri melihat bagaimana dia. Dia bukan orang biasa."
Xue Er menatap Mu Zhi, sedikit ragu.
"Aku yakin dia bisa keluar dari sana," lanjutnya.
Mendengar itu, Xue Er sedikit menghela napas, meski hatinya masih terasa berat. Dia tiba tiba melangkah dan terbang melanjutkan perjalannanya. Sementara di belakangnya Mu Zhi mengikutinya.