Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Opsi Alternatif
Pintu ruang kerja Liam terbanting cukup keras saat Gema ikut masuk di belakangnya. Lelaki itu berjalan dengan langkah besar menuju meja kerjanya, melempar map ke permukaan meja hingga kertas-kertas di sekitarnya bergetar. Napas Liam masih berat, bekas luapan amarah di auditorium belum benar-benar mereda. Gema menutup pintu perlahan, memastikan tidak ada satu pun karyawan yang mendengar apa yang akan terjadi di dalam ruangan itu.
“Kalau kaya gini terus juga ga bisa, bos,” ucap Gema akhirnya sambil meletakkan tablet kerjanya. Suaranya pelan, tapi tegas. Ia tahu bagaimana sifat Liam—keras, perfeksionis, tapi bukan orang yang tak bisa diajak bicara.
Liam merosot ke kursinya, memijit pelipisnya. “Gue udah sabar seminggu, Gem. SE-MI-NGU. Dan itu hasilnya? Zero. No one bahkan punya keberanian untuk apply posisi sementara. Ini perusahaan apa tempat penitipan kucing?”
“Bos…” Gema mendekat dua langkah, menatap Liam yang wajahnya penuh frustrasi. “Andai kata tiga hari masih ga ada yang ngajuin diri… gimana? Lu harus punya plan B. Ga bisa cuma ngancam pecat semua orang.”
Liam mengangkat kepalanya dengan tatapan yang dingin dan capek. “Kalau tiga hari ga ada yang maju, gue pecat semua manajer.”
Gema langsung mengerutkan kening. “Lo mau bikin operasional lumpuh?”
Liam mengangkat tangannya, menunjuk tumpukan dokumen yang belum tersentuh. “Lo kira sekarang ga lumpuh? Liat meja gue. Jadwal meeting gue aja udah tabrakan tiga kali. Klien nunggu. Dokumen legal ga ditandatanganin. Semua kacau karena satu posisi kosong. SATU, Gem.”
Gema menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Liam. “Bos… gue ngerti. Tapi lo ga bisa terus marah tanpa nyari alternatif. Perusahaan sebesar Sovereign ga bisa tiba-tiba kehilangan 12 manajer hanya karena satu posisi kosong.”
Liam melipat tangan di dada. Ia tidak membantah, tapi wajahnya jelas menunjukkan ia tidak suka kenyataan itu.
“Satu-satunya alasan lo ga punya calon,” lanjut Gema, “karena kualifikasi yang lo pasang terlalu ketat.”
“Ketat apanya?” Liam membalas cepat. “Gue cuma minta orang yang ngerti ritme kantor ini. Yang tau kultur, tau proses, tau jalur komunikasi. Apa salahnya itu?”
“Maksud gue…” Gema menghela nafas panjang. “Kemarin lo maunya karyawan lama. Orang yang udah bertahun-tahun di sini. Ya jelas ga ada yang mau, bos. Mereka punya kerjaan sendiri. Ujungnya mereka takut di-bully sama lu kalo salah dikit.” Ia menatap Liam penuh makna. “Lo sendiri tau reputasi lo di lantai bawah gimana.”
Liam diam. Ia tahu. Ia cuma tidak mau mengakuinya.
“Gue cuma mau orang yang kompeten.” Suaranya lebih rendah, tidak sekeras tadi.
“Ya, tapi gimana kalo kita turunin kualifikasinya?” Gema menggeser posisi duduknya agar lebih dekat. “Bukan turunin kemampuan, tapi perbesar radius kandidat.”
Liam memandangnya, menunggu.
“Kita buka aja buat semua karyawan,” lanjut Gema, “termasuk magang.”
Liam langsung mendengus. “Jangan bilang lo pengen rekomendasiin lagi si Anna. Cukup buat gue, Gem. Gue ga mau dia.”
Gema langsung mendecak, seperti tidak percaya Liam masih keukeuh soal itu. “Emang magang cuma Anna doang? Sovereign punya puluhan anak magang dari berbagai divisi. Lo ngomong seakan-akan cuma dia satu-satunya orang di gedung ini.”
“Tapi yang menurut lo kompeten cuma dia,” Liam menyambar cepat. Ada nada menyindir di dalamnya, meski ia sendiri tidak sadar.
“Ya engga, kocak!” Gema menatapnya dengan ekspresi ‘apa sih’. “Gue bilang divisi lo pada nilai dia tinggi, bukan gue pribadi. Lagian ini proses seleksi. Yang lolos ya berarti emang berkompeten. Simple. Bukan karena gue rekomendasiin siapa.”
Liam mencondongkan badan ke belakang kursi, memandang langit-langit seolah kesal dengan seluruh dunia. “Gem… gue ga mau anak magang. Mereka terlalu rawan. Ga paham ritme. Terlalu banyak nanya. Gue ga ada waktu buat ngajarin.”
“Mungkin ga semua begitu,” balas Gema. “Lagian kita punya trainer, bos. HR juga bisa kasih briefing mendadak. Kita ga mungkin stagnan cuma karena lo keberatan sama istilah ‘anak magang’.”
Liam tetap diam.
Gema melihat diam itu sebagai celah. “Gini, bos. Kita jalan buntu. Lo marah setiap hari. Operasional makin kacau. Lo sendiri ngomong kita maunya perusahaan ini punya orang yang berani ambil peran. Eh giliran ada magang yang NANYA apakah dia bisa bantu, lo tolak mentah-mentah.”
Liam memutar kursi pelan, tidak melihat Gema. “Karena dia ga cocok.”
“Atau karena lo masih kesel insiden teh panas?” Gema menembak tepat sasaran.
Liam langsung berhenti memutar kursinya.
Ruangan terasa lebih hening dari sebelumnya. Udara seakan menahan napas.
“Gue ga bahas itu,” ujar Liam akhirnya, tajam.
“Justru itu masalahnya,” Gema menekan. “Lo ga objektif.”
Liam mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, pola yang hanya muncul ketika ia benar-benar kesal tapi tidak bisa membantah.
“Gini aja, bos,” ucap Gema dengan nada menyerah tapi masih logis. “Kalo kita mau buka kualifikasi buat semua, ga usah nunggu tiga hari. Mulai aja sekarang. Biar HR langsung sebar formulir ke seluruh karyawan dan magang. Pendaftaran dibuka. Seleksi jalan. Yang lolos, ya udah. Lo tinggal tentuin final decision.”
Liam masih diam, tetapi tatapannya tidak setegang tadi. Ia menimbang. Menganalisis. Menghitung konsekuensi.
Gema tahu—ini tanda bagus.
“Perusahaan ini ga akan jalan kalau kita cuma terpaku sama syarat lama yang bahkan ga masuk akal buat posisi sementara,” Gema menambahkan, lebih perlahan. “Biar perusahaan berfungsi dulu, bos. Soal siapa yang terbaik nanti… itu belakangan.”
Liam memijat hidungnya, frustrasi setengah mati. “Gue ga suka opsi ini…”
“Tapi lo tau ini satu-satunya cara,” balas Gema cepat, tepat sasaran.
Beberapa detik berlalu tanpa suara.
Akhirnya Liam berkata, pelan tapi jelas:
“Hubungi HR. Suruh mereka buka pendaftaran mulai hari ini.”
Gema mengangguk kecil, setengah lega, setengah tegang. “Baik, bos.”
“Semua level. Termasuk magang,” kata Liam lagi, meski suara itu terdengar berat.
“Siap.”
Liam memandang keluar jendela—pemandangan kota yang biasanya menenangkan kini terasa seperti tekanan yang menumpuk di atas kepalanya. Tapi setidaknya ada arah. Ada keputusan. Meski ia tidak suka.
Di belakangnya, Gema mengetik cepat mengirim pesan darurat ke HR, memastikan proses dimulai hari itu juga.
Dan keputusan kecil itu—keputusan yang Liam ambil dengan rasa enggan—akan menjadi titik balik besar dalam hidup Anna.
Ia hanya belum tahu.