Revan adalah pria tampan dan pengusaha muda yang sukses. Namun di balik pencapaiannya, hidup Revan selalu berada dalam kendali sang mama, termasuk urusan memilih pendamping hidup. Ketika hari pertunangan semakin dekat, calon tunangan pilihan mamanya justru menghilang tanpa jejak.
Untuk pertama kalinya, Revan melihat kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri. Bukan sekadar mencari pengganti, ia menginginkan seseorang yang benar-benar ingin ia perjuangkan.
Hingga ia teringat pada seorang gadis yang pernah ia lihat… sosok sederhana namun mencuri perhatiannya tanpa ia pahami alasannya.
Kini, Revan harus menemukan gadis itu. Namun mencari keberadaannya hanyalah langkah pertama. Yang lebih sulit adalah membuatnya percaya bahwa dirinya datang bukan sebagai lelaki yang membutuhkan pengganti, tetapi sebagai lelaki yang sungguh-sungguh ingin membangun masa depan.
Apa yang Revan lakukan untuk meyakinkan wanita pilihannya?Rahasia apa saja yang terkuak setelah bersatu nya mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Saling Menguatkan
Celin telah tiba di sebuah gedung besar nan megah. Setelah mengantarkan Miranda pulang, ia langsung menuju ke perusahaan milik Revan. Keinginan nya hanya satu ia ingin mendapatkan Revan kembali. Celin berpikir ia tidak bisa hanya mengandalkan Tante Miranda saja. Ia harus bergerak sendiri.
Celin berjalan dengan cepat, Tidak menghiraukan pandangan para pekerja yang memerhatikan kedatangan nya. Ia langsung masuk ke lift dan menuju tempat dimana ruangan Revan berada.
Begitu tiba di lantai tempat ruang kerja Revan, sekretaris Revan segera menghadangnya.
“Maaf, Nona. Anda tidak diizinkan masuk,” ucap sang sekretaris sopan namun tegas.
Namun Celin bukanlah tipe wanita yang mudah menerima penolakan. Tanpa mendengarkan larangan itu, ia langsung menerobos masuk menuju pintu ruangan Revan.
Pintu terbuka dengan keras. Revan sontak menoleh, dan ekspresi wajahnya langsung berubah dingin begitu melihat siapa yang muncul.
“Maaf, Tuan… saya sudah berusaha mencegah Nona Celin, tetapi dia tetap memaksa masuk,” ucap sang sekretaris gugup.
“Tidak apa-apa. Kamu lanjutkan pekerjaanmu,” balas Revan datar.
Celin melangkah, mendekat dengan tenang, berbeda dengan hatinya yang penuh gejolak. Ia memasang wajah sedih, air matanya langsung jatuh, berharap Revan melihat betapa rapuh dirinya.
“Revan… kenapa kamu tega melakukan ini padaku?” ucapnya lirih.
Revan tidak merespons. Ia tetap fokus pada berkas-berkas di meja, seolah keberadaan Celin tidak pernah ada.
Merasa diabaikan, Celin memberanikan diri melangkah lebih dekat. Ia berdiri tepat di sisi Revan, lalu memegang lengan pria itu, menggoyangkannya pelan seolah anak kecil yang memohon perhatian.
“Re… aku mohon. Jangan seperti ini. Aku… aku minta maaf atas semuanya. Tolong dengarkan dulu penjelasanku,” pinta Celin dengan suara bergetar.
Revan menghentikan gerakan tangannya dan menatap Celin dengan tegas.
“Cukup, Celin. Jangan bersikap kekanak-kanakan seperti ini,” ucapnya dingin. “Aku tidak butuh penjelasanmu. Sudah cukup kesempatan yang kuberikan selama ini. Dan jangan berpikir aku akan kembali padamu, meskipun kamu meminta bantuan mamaku.”
Celin menahan napas, lalu berusaha meyakinkan. “Tapi Revan… apa kamu yakin dengan pilihanmu? Kamu baru mengenal dia. Belum tentu dia benar-benar tulus mencintaimu. Sedangkan aku… kita sudah kenal sejak lama. Dan kau tau, Aku sangat mencintaimu, Re.”
Revan menatap Celin tajam. “Siapa pun dia, kamu tidak berhak menilainya. Dan aku tahu apa yang terbaik untuk hidupku.”
Celin terdiam.
“Sekarang, silakan pergi,” lanjut Revan. “Dan jangan pernah berpikir untuk menemui ku lagi.”
“Kamu… mengusirku?” Suara Celin bergetar. “Aku datang untuk memperbaiki kesalahanku, dan kamu bahkan tidak memberiku kesempatan?”
Revan bangkit dari kursi, menatap Celin tanpa ragu sedikit pun.
“Celin, jangan playing victim seperti ini. Seolah kamu yang paling tersakiti. Selama ini aku selalu mengikuti keinginanmu dan mamaku. Bahkan saat pertunangan kita diatur… aku tidak menolak. Tapi kamu sendiri yang pergi saat hari pertunangan tinggal menghitung hari. Jadi jangan menyalahkan siapa pun, apalagi menyeret Eliana. Dia tidak tahu apa-apa.”
Air mata Celin semakin deras. “Aku minta maaf, Re… aku salah. Tolong beri aku kesempatan,”
“Celin, sudahlah,” ujar Revan lebih lembut namun tetap tegas. “Bukalah lembaran baru. Di luar sana banyak pria yang jauh lebih baik dariku dan bisa membahagiakanmu.”
Celin menggeleng keras. Rasa malu, harga diri yang terinjak, dan obsesi ingin memiliki yang mulai tak terkendali membuatnya semakin yakin bahwa ia tidak boleh kalah. Tapi Celin sadar, Revan tidak akan bisa lagi ia dapat kan dengan cara seperti ini.
Tanpa suara, Celin berbalik dan keluar dari ruanga. Ia menutup pintu itu dengan keras, menandakan betapa ia merasa terhina.
Revan menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba meredakan emosi dan mencari ketenangan. Setelah beberapa saat, ia mengambil ponselnya yang tergeletak di meja.
Ia tahu apa yang harus dia lakukan untuk menenangkan diri, selain itu Revan juga ingin menceritakan apa yang telah terjadi.
---
Sebelum jam makan siang, Revan menjemput Eliana di butiknya.
“Nadia, aku pergi dulu, ya. Ada yang kamu inginkan? Nanti sekalian aku belikan,” ucap Eliana sebelum masuk ke mobil Revan.
“Tidak ada. Untuk makan siang nanti aku pesan online saja,” jawab Nadia yang berdiri di depan butik.
“Ya sudah, aku pergi dulu. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam,” balas Nadia sambil mengantar kepergian Eliana dan Revan. Setelah mobil menjauh, barulah ia kembali masuk ke dalam butik.
Tidak membutuhkan waktu lama, Revan dan Eliana tiba di restoran. Mereka disambut ramah oleh pelayan dan diarahkan menuju meja yang sudah dipesan Revan.
Setelah keduanya duduk, pelayan memberikan buku menu. “Kamu mau makan apa?” tanya Revan sambil membolak-balik buku tersebut.
“Aku mau sop iga dan udang bakar. Minumnya jus apel. Yang lainnya terserah kamu,” jawab Eliana.
Revan pun memilih menu yang sama, lalu mengatakan pesanan Eliana dan dirinya serta ditambah beberapa hidangan lain, kepada pelayan. Pelayan mencatat dengan sigap lalu meminta mereka untuk menunggu.
Ada jeda sejenak diantara mereka sebelum Eliana bertanya, “Apa yang ingin kamu katakan, Re?”
Revan menarik napas pelan.
“Aku ingin mengatakan… pagi tadi Celin datang ke perusahaan,” ucap Revan tenang sambil melihat reaksi Eliana.
Eliana terdiam. Ia juga teringat kedatangan mama Revan dan Celin ke butik pagi tadi. Ia pun berniat untuk menceritakannya.
Namun sebelum salah satu dari mereka sempat bicara lebih jauh, makanan mereka datang. Mereka sepakat makan terlebih dahulu.
Setelah selesai makan, Eliana meletakkan sendoknya. “Aku juga ingin mengatakan sesuatu, Re.”
Revan menoleh.
“Tadi pagi, mungkin sebelum Celin ke perusahaanmu, dia dan mamamu datang ke butik,” ucap Eliana sama tenang nya Seperti Revan.
Revan langsung menegang. Mendengar mamanya menemui Eliana.“Mereka melakukan apa padamu?”
“Tidak ada. Mamamu hanya memintaku meninggalkanmu.” Eliana berhenti sebentar. “Sedangkan Celin hanya menjadi pendengar.”
Revan memejamkan mata sebentar, berusaha menahan kesal. Mama benar-benar keterlaluan, batinnya.
“Kamu tidak menuruti permintaan mama, kan, El?” tanya Revan hati-hati.
Eliana tersenyum tipis. “Kalau aku menuruti permintaan mamamu, sudah pasti aku tidak akan duduk di sini bersamamu.”
“Siapa tahu kamu ke sini untuk mengucapkan salam perpisahan karena menuruti mama,” balas Revan, masih kelihatan khawatir. “Aku pastikan aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”
Eliana terkekeh kecil. “Aku tidak sebodoh itu, Re. Setelah aku menerima mu, mana mungkin aku meninggalkanmu begitu saja, hubungan kita ini, bukan hanya tentang aku dan kamu, tapi juga keluarga. kecuali kamu sendiri yang meminta....”belum sempat Eliana melanjut kan Revan segera menyanggah.
"Tidak aku tidak akan melakukan itu."
Revan menggenggam tangan Eliana di atas meja. “Terima kasih, El. Terimakasih atas segalanya. Aku janji akan memperjuangkanmu. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama.”
Eliana tersenyum lembut. “Aku pegang janjimu, Re.”
Mereka saling tersenyum, merasakan ketenangan dan saling menguatkan.