“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”
Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.
Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.
Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.
Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Delapan Belas
Ruangan itu terasa terlalu sempit untuk menampung emosi Kevin. Davina bisa melihat bagaimana rahang pria itu mengeras, bagaimana matanya menurun sedikit, bukan karena lelah, tapi karena sesuatu yang jauh lebih berat, cemburu yang ia pertahankan mati-matian agar tidak meledak.
“Kamu makan siang sama Shaka,” ulang Kevin pelan, seolah otaknya perlu waktu untuk menerima fakta itu. “Calon tunangan kamu?”
Davina hanya bisa mengangguk kecil. Ia tahu, dari napas Kevin yang berubah tak beraturan, bahwa ia baru saja menyalakan api di lautan minyak.
Kevin membuka mulut, mau memarahi, atau mungkin mempertanyakan sesuatu, tapi suara ketukan pintu mendahuluinya. Pintu terbuka tanpa menunggu jawaban.
“Sayang!” ucap Tia dengan suara genitnya.
Tia masuk dengan senyum lebar yang terlalu cerah untuk suasana seperti ini. Gaun kerjanya yang rapi, parfum manis, dan langkah percaya dirinya langsung merusak keseimbangan udara di ruangan itu. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa Kevin baru saja berada di ambang ledakan.
Begitu melihat Kevin, tanpa ragu Tia menyangkutkan lengannya ke lengan pria itu, memeluknya dengan manja.
“Aku kangen banget!” ucap Tia sambil tersenyum cerah.
Kevin bahkan tidak sempat bergeser. Wajahnya tetap datar. Tapi Davina tahu, itu bukan datar biasa, itu datarnya Kevin saat sedang sangat tidak suka menyentuh siapa pun.
Tia kemudian melihat Davina. “Eh, Vina?” Alisnya terangkat. “Kamu … kerja di sini?”
Nada suaranya manis, tapi Davina bisa mendengar halusnya rasa tidak suka di balik kalimat itu. Bukan karena Davina bekerja, mungkin. Lebih karena Davina berada di ruangan Kevin. Sendirian. Dan cukup dekat.
Davina tersenyum kikuk. “I-Iya, Kak. Bang Kevin mau ngajarin dasar-dasar kerja.”
“Oh?” Tia pura-pura tersenyum lebih lebar. “Sejak kapan?”
“Baru hari ini, Kak,” jawab Davina pelan.
Tia menatap meja kecil yang baru saja ditetapkan Kevin sebagai meja Davina. Matanya menyipit sedikit, tapi ia menutupinya dengan tawa kecil.
“Lucu ya … kamu kerja di sini sekarang.”
Kevin memijit pelipisnya. “Tia, ada apa?”
“Aku mau ngajak kamu makan siang,” jawab Tia cepat. “Kita kan jarang makan bareng akhir-akhir ini.”
Davina melihat bagaimana rahang Kevin mengencang untuk kedua kalinya hari itu. Ia tahu Kevin masih memikirkan soal Shaka. Masih marah. Masih terbakar.
“Ya.” Kevin berdiri. “Ayo.”
Davina menatap Kevin, berharap pria itu paling tidak memberi sedikit penjelasan, atau apa pun. Tapi yang ia dapat hanya tatapan dingin yang ia tahu bukan benar-benar ditujukan padanya, lebih pada situasi.
Begitu Kevin berjalan melewati Davina, Tia masih menempel di lengannya.
Davina mengusap lengan bajunya pelan, mencoba menenangkan perasaan aneh yang menggumpal di dadanya. Davina baru sempat menghela napas ketika ponselnya bergetar.
Dia melihat nama Shaka sebagai pengirim pesan. "Aku di lobi. Sudah siap?"
Davina tersenyum kecil. Ia mengambil tasnya dan segera turun dengan lift. Di lobi, Shaka berdiri dengan kemeja biru muda, terlihat bersih, rapi, dan membawa aura menenangkan seperti biasa.
“Kamu sudah lama nunggu?” tanya Davina.
“Nggak kok,” jawab Shaka sambil tersenyum lembut. “Ayo!”
Mereka menuju restoran yang sudah mereka sepakati sebelumnya. Restoran itu tidak terlalu jauh dari kantor, cukup elegan tapi tetap nyaman untuk makan siang.
Saat Davina duduk, ia merasa sedikit lebih rileks. Shaka selalu begitu, membuat semuanya terasa lebih ringan.
Keduanya mengobrol tentang hal-hal ringan, tentang musik, film, pekerjaan, rencana keluarga minggu depan. Davina tertawa kecil beberapa kali. Ia tak menyadari betapa cerahnya ia terlihat saat itu.
Hingga seorang pelayan tiba-tiba mendekat ke meja di sebelah mereka.
“Silakan, Pak, Bu. Ini mejanya.”
Davina menoleh dan dadanya langsung merosot. Kevin dan Tia yang baru masuk dan berada di samping meja mereka.
“Tia maunya ke sini,” kata Kevin datar pada pelayan. “Meja mana saja sama.”
Tia mencubit lengan Kevin manja. “Soalnya tempat ini bagus banget. Aku suka."
Kevin tidak menjawab. Tapi matanya, matanya tidak pernah lepas dari Davina sejak ia duduk. Shaka menyadari itu.
“Dia terus lihat ke arah kamu,” bisik Shaka pelan.
Davina mengalihkan pandangan. “Cuma … kebetulan aja.”
Shaka tersenyum kecil. “Kamu selalu saja menghindar kalau ngomongin dia. Bukankah itu abangmu?” Kalimat itu membuat Davina terdiam.
Makan siang berjalan, tapi sering sekali Davina menangkap tatapan Kevin. Tatapan yang bukan sekadar tidak suka, itu tatapan marah bercampur sesuatu yang sulit diartikan. Sesekali, Tia mengajak Kevin ngobrol, tapi pria itu tidak fokus. Bahkan ketika pelayan menaruh makanan di meja mereka, Kevin menunduk, tapi matanya tetap sesekali melirik ke meja Davina.
“Vina.”
Davina memutar kepalanya ke arah Shaka. “Hm?”
“Kamu oke?”
Davina tersenyum kaku. “Oke kok.” Padahal jantungnya tidak berhenti berdebar.
Shaka memutuskan untuk mengganti topik. “Habis ini kamu mau balik kantor langsung?”
“Iya. Bang Kevin mau ngajarin aku lagi.”
“Bagus,” jawab Shaka lembut. “Kerja itu perlu dicoba dari awal. Kamu pasti bisa.”
Davina mengangguk, merasa sedikit lega. Hingga ia mendengar derit kursi dari meja sebelah. Ketika Davina menoleh, Kevin sudah berdiri.
Dan sebelum Davina bisa merespons, tangan Kevin menyambar pergelangan tangannya.
"Bang!" Davina terkejut ketika Kevin menariknya berdiri.
Shaka refleks berdiri. “Bang Kevin?”
Kevin menatap Shaka dengan mata dingin yang hampir gelap. “Aku bawa Davina.”
“Tunggu ....” Shaka mencoba menahan.
“Kami datang bareng,” tegas Kevin. “Jadi pulang bareng.”
Suasana di restoran itu berubah seketika. Beberapa orang mulai menoleh.
Tia berdiri dengan wajah shock. “Kevin? Kamu mau ke mana? Kita belum selesai makan.”
Kevin tidak menoleh. “Kamu pulang duluan.”
Tia membelalak. “Apa?!”
Davina mencoba melepaskan lengannya. “Bang, jangan begini. Malu ….”
Kevin justru menggenggam lebih erat. “Abang nggak peduli.”
“Tapi Kak Tia ....”
“Abang nggak minta pendapat dia.” Suara Kevin tajam.
Tia nyaris berteriak. “Kevin, kamu harus jelasin!”
Kevin menoleh akhirnya, tapi tatapannya kaku. “Aku dan Davina ada urusan. Kita harus ke salah satu perusahaan rekan kerja. Kamu pulang sendiri.”
“Kamu bohong!” seru Tia, wajahnya memerah.
“Aku nggak bohong.” Kevin menatap Tia dingin. “Tapi aku juga nggak perlu jelasin apa pun.”
Tia terdiam dengan mulut terbuka, tidak percaya bahwa tunangannya bisa berkata sejauh itu.
Shaka menatap Davina dengan tatapan khawatir. “Kamu nggak apa-apa?”
Davina mengangguk pelan. “Maaf, Shaka.”
Shaka tersenyum kecil. “Nggak apa-apa. Beneran.”
Setelah itu Kevin hampir menyeret Davina keluar dari restoran. Davina tidak punya pilihan selain ikut, meski wajahnya memerah karena malu, marah, canggung, bingung, semuanya campur jadi satu.
Tia berdiri terpaku di tempatnya. Lalu perlahan ia menoleh pada Shaka yang masih berdiri di belakang Davina.
Untuk beberapa detik, tidak ada yang bicara. Hanya napas Tia yang terdengar cepat dan gemetar. Tia meremas jemarinya sendiri, lalu menghembuskan napas keras.
“Shaka.”
Shaka menoleh. “Ya, Kak?”
“Aku mau bicara.”
“Dengan saya?” Shaka terlihat bingung.
Tia mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca.
“Berdua saja.”
kalau sudah salah jangan menambah kesalahan lagi.
berani menghadapi apapun resikonya.
tega niat ibunya Kevin, Davina suruh nanggung sendiri akibatnya
semangatttt kev dg penuh tggjawab, abaikan sementara mamamu itu, yg egois🤭 aslinya ibu tiri sdh Nampak