Doni, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef bagi Naira Adani aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18. JANJI SEBELUM BADAI
..."Kadang, yang menyelamatkan kita bukan keberanian besar, melainkan tangan yang tetap tinggal, saat seluruh dunia memilih pergi."...
...---•---...
"Sesuatu yang aku pikir sudah mati. Sesuatu yang aku pikir Rendra bunuh waktu dia pukul aku pertama kali." Mata Naira berkaca, tapi air mata tidak jatuh. "Harapan. Bahwa mungkin, suatu hari, aku bisa mencintai lagi tanpa takut. Bahwa mungkin ada lelaki di dunia ini yang tidak akan menyakiti aku."
"Naira..."
"Aku tahu ini terlalu cepat. Aku tahu aku masih rusak, masih proses trauma. Aku tahu kamu punya kontrak, aturan, dan batas." Naira menarik napas panjang. "Tapi aku perlu kamu tahu, kamu menyelamatkan hidup aku. Benar-benar. Kalau kamu tidak datang malam itu dengan nasi goreng, aku tidak tahu apakah aku masih di sini atau tidak."
Doni merasakan sesuatu retak di dadanya. Semua pertahanan yang ia bangun, semua dinding yang ia pasang untuk menjaga jarak profesional, runtuh dalam satu momen.
"Kamu tidak rusak," katanya dengan nada dalam, membuat Naira menatap langsung ke matanya. "Kamu terluka, dan itu beda. Dan tentang yang aku rasakan..." Ia berhenti, menimbang kata yang sekali keluar tidak bisa ditarik kembali. "Aku juga merasakan sesuatu. Sesuatu yang aku pikir terkubur bersama Sari. Dan itu menakutkan, tapi juga... membebaskan."
Mereka terdiam. Udara di antara mereka penuh kata yang tidak terucap. Lalu Naira tersenyum, rapuh tapi nyata.
"Kalau kita bisa bertahan hari ini, kalau aku bisa hadapi Rendra dan tetap berdiri, boleh kita bicarakan ini lagi?"
"Boleh."
"Janji?"
"Janji."
Siang itu makan siang berjalan lebih santai. Salmon panggang dengan saus lemon butter, sayuran hijau panggang dengan cuka balsamik, dan quinoa berbumbu herbal. Naira duduk di ruang makan yang biasanya ia hindari, memaksa diri keluar dari zona nyaman. Doni menemani, lagi-lagi melanggar protokol dengan makan bersama klien. Tapi hari itu bukan tentang aturan. Hari itu tentang bertahan.
"Salmonnya sempurna," kata Naira sambil memotong daging ikan yang lembut dan flaky. "Tidak terlalu matang, tidak juga mentah. Dan sausnya pas banget, seimbang antara asam dan gurih."
"Kamu yang fillet. Aku cuma masak hasil kerja kamu."
"Kerja sama bikin semua terasa lebih ringan." Naira tertawa kecil, lalu wajahnya berubah serius. "Doni, kalau nanti sore aku mulai panik atau tidak bisa kendali, kamu akan..."
"Aku akan ada di sana. Tidak jauh. Kamu cukup lihat ke arah dapur, aku di situ." Doni meletakkan garpu. "Dan kalau kamu butuh alasan buat akhiri pembicaraan, bilang saja harus konsultasi soal menu makan malam. Aku yang tangani sisanya."
"Kamu sudah siapkan rencana cadangan?"
"Aku koki. Kami dilatih punya rencana dari A sampai Z untuk segala kemungkinan." Doni tersenyum, mencoba meringankan suasana. "Ini cuma kemampuan yang aku terapkan ke bidang lain."
Setelah makan, Naira kembali ke kamar untuk istirahat dan menyiapkan diri secara mental. Doni ke dapur, melanjutkan rebusan kaldu soto yang sudah empat jam mendidih. Aroma ayam dan rempah memenuhi rumah, membawa kehangatan yang terasa berlawanan dengan ketegangan yang menggantung di udara.
Sekitar pukul tiga sore, Ratna masuk ke dapur. Ia memakai blazer hitam dan rok pensil, rambut diikat rapi, wajah tampak tenang meski matanya menyimpan cemas.
"Nona Naira sudah turun ke ruang tamu," lapornya. "Beliau minta Pak Doni buatkan teh."
"Chamomile latte sudah siap." Doni sudah menyiapkannya sejak tadi, hangat di termos. Ia menuang ke cangkir keramik putih, menambahkan sedikit madu dan taburan lavender kering. "Ada yang lain yang dia butuh?"
"Keberadaan Bapak. Dia bilang, selama Bapak ada di rumah ini, dia merasa lebih aman."
Doni mengambil nampan, menaruh cangkir chamomile latte dan sepiring kecil cokelat hitam yang dipotong-potong. "Aku antar sekarang."
Langkahnya pelan menuju ruang tamu, seolah memberi waktu untuk menyiapkan diri. Naira duduk di sofa putih besar, memakai gaun midi biru navy yang sederhana tapi elegan. Rambutnya diblow lurus, riasan tipis tapi rapi. Dari luar ia tampak tenang, tapi Doni melihat jemarinya meremas ujung gaun, tanda gugup yang tidak bisa disembunyikan.
"Chamomile latte dan cokelat hitam," kata Doni sambil meletakkan nampan di meja. "Bisa bantu menenangkan dan memperbaiki mood."
"Terima kasih." Naira mengambil cangkir, menghangatkan tangannya yang dingin. "Kamu akan di dapur?"
"Pintu terbuka. Kalau butuh apa pun, panggil saja."
"Doni." Tatapan Naira rapuh tapi jujur. "Jangan pergi jauh-jauh."
"Tidak akan."
Tepat pukul empat, bel pintu berbunyi. Pak Hendra yang membukakan. Suara langkah berat dan percaya diri terdengar masuk. Lalu suara yang membuat Doni ingin melempar pisau terdekat: suara Rendra Wiratama.
"Naira, sayang. Kamu kelihatan kurus. Apa kamu sakit?"
Dari dapur, lewat pintu yang sengaja dibiarkan terbuka, Doni bisa melihat sebagian ruang tamu. Rendra tampak tinggi, berpostur tegap, mengenakan setelan mahal, rambut klimis ke belakang. Wajahnya, kalau dilihat sekilas, tampan. Tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Doni muak. Tatapan pemangsa yang sedang menilai mangsanya.
"Aku baik, Rendra. Terima kasih sudah datang, tapi aku tidak yakin ada yang perlu kita bicarakan." Suara Naira terdengar tenang, lebih kuat dari yang Doni kira.
"Oh, sayang. Jangan sedingin itu. Aku cuma ingin pastikan kamu baik-baik saja. Kita pernah menikah, aku masih peduli."
Doni mencengkeram gagang pisau koki, kuku jarinya memutih. Ia harus tetap di dapur. Ia harus biarkan Naira hadapi ini sendiri dulu. Kalau dia campur tangan terlalu cepat, Naira tidak akan sempat berdiri di atas kekuatannya sendiri.
Tapi kalau Rendra berani menyentuhnya, kalau ada tanda sekecil apa pun bahwa Naira dalam bahaya...
Persetan dengan kontrak.
Doni akan pastikan Rendra tidak pernah bisa menyentuh Naira lagi.
Apa pun yang terjadi.
...---•---...
...Bersambung...