Dihina dan direndahkan oleh keluarga kekasihnya sendiri, Candra Wijaya benar-benar putus asa. Kekasihnya itu bahkan berselingkuh di depan matanya dan hanya memanfaatkannya saja selama ini.
Siapa sangka, orang yang direndahkan sedemikian rupa itu ternyata adalah pewaris tunggal dari salah satu orang terkaya di negara Indonesia. Sempat diasingkan ke tempat terpencil, Candra akhirnya kembali ke tempat di mana seharusnya ia berada.
Fakta mengejutkan pun akhirnya terkuak, masa lalu kedua orang tuanya dan mengapa dirinya harus diasingkan membuat Candra Wijaya terpukul. Kembalinya sang pewaris ternyata bukan akhir dari segalanya. Ia harus mencari keberadaan ibu kandungnya dan melindungi wanita yang ia cintai dari manusia serakah yang ingin menguasai warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya.
Harta, Tahta dan Wanita "Kembalinya sang Pewaris. "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni t, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Erlin yang semula hendak ke ruangan Candra pun seketika mengurungkan niatnya. Hanya menatap kedua orang itu dengan perasaan kecewa dan hati terluka bak seorang kekasih yang baru dikhianati oleh laki-laki pujaan hatinya. Padahal, ia dan pria bernama Candra sama sekali tidak memiliki hubungan apapun bahkan beru berjumpa beberapa hari yang lalu. Namun, mengapa rasanya sakit sekali melihat kebersamaan Candra dengan mentan kekasihnya? Apakah diam-diam Erlin menyimpan rasa kepada pria itu? Entahlah, hanya Tuhan dan Erlin sendiri yang tahu pasti.
Erlin kembali berbalik seraya bergumam, "Benar kata pepatah, penampilan tidak mencerminkan jati diri seseorang. Ternyata, selama ini aku salah menilai kamu, Candra."
***
Sementara itu, Candra membuka pintu bertuliskan ruang Direktur dengan jantung berdebar kencang. Rasanya masih seperti mimpi, ia yang biasa bekerja di jalanan kini memiliki ruangan pribadi dengan fasilitas lengkap dan dituntut untuk mengelola pabrik yang bergerak dibidang transportasi dan memproduksi mobil listrik karya anak negeri. Meskipun dirinya tidak memiliki keahlian di bidang tersebut, tapi ia yakin mampu mengemban tugas sebagai atasan. Ya, tentunya dengan dibantu oleh Erlin, satu-satunya orang yang ia percaya saat ini.
Candra menghentikan langkah tepat di tengah-tengah ruangan ber-AC tersebut, mengedarkan pandangan mata, menatap setiap jengkal ruangan dengan meja kerja berada tepat di depan jendela juga sofa berwarna hitam berada tepat di tengah-tengah ruangan.
"Waah, ruangannya mewah juga. Ternyata seperti ini ruangan Direktur," ucap Viona, berdiri tepat di samping Candra seketika membuyarkan lamunan panjangnya.
Candra menarik napas dalam-dalam lalu melangkah menuju meja kerjanya. "Sebentar, saya cari obat buat wajah kamu. Mudah-mudahan ada kotak P3K di sini," ucapnya dengan datar, lalu membuka laci meja.
Viona melangkah menuju sofa, menatap sekeliling seraya tersenyum lebar. "Aku benar-benar gak nyangka, ternyata kamu adalah pewaris yang hilang itu. Hmm ... benar ternyata, roda kehidupan berputar. Tidak selamanya berada di atas dan tidak selamanya berada di bawah. Jujur, aku bangga sama kamu."
Candra tersenyum tipis seraya meraih kotak P3K dari dalam laci meja lalu membukanya dan meraih Betadine dari dalam sana. Dengan wajah datar, pria itu melangkah mendekati sofa kemudian memberikan Betadine yang ia genggam kepada Viona.
"Obati dulu luka kamu sebelum kamu mulai bekerja," ucapnya dengan dingin.
Viona mendongakkan kepala, menatap wajah Candra yang memiliki ketampanan paripurna dengan jas hitam berikut dasi yang dia kenakan. Rambutnya pun nampak disisir rapi layaknya CEO di drama Korea yang biasa ia tonton.
"Bisakah kamu bantu aku obati lukaku, Can? Kayaknya sulit mengobati lukaku sendiri," ucapnya seperti tengah menahan nyeri.
"Saya sibuk, lakukan sendiri," jawab Candra masih dengan raut wajah yang sama seraya meletakan Betadine di atas meja sebelum akhirnya berbalik lalu berjalan menuju meja kerjanya.
"Aku kira bakalan dibantu obatin sama dia. Ko disuruh obati sendiri sih?" gerutu Viona di dalam hatinya.
"Kalau sudah, silahkan kembali ke tempat kerja kamu, Viona. Saya sibuk," ucap Candra lagi, seraya melepaskan jas hitam yang ia kenakan, lalu melingkarkan di sandaran kursi, kemudian duduk sembari membuka laptop yang berada di atas meja.
Viona berdiri tegak seraya meraih Betadine di atas meja. "Makasih obatnya, aku balikin setelah selesai, ya," ucapnya, melangkah mendekati meja.
"Gak usah, ambil aja."
"Hmm ... makasih atas pertolongan kamu hari ini, Can. Aku gak tau apa yang akan terjadi sama aku kalau kamu gak dateng," ucap Viona, menghentikan langkah tepat di depan meja. "Eu ... meskipun kita gak bisa jadi sepasang kekasih seperti dulu lagi, aku harap kita masih bisa berteman, Candra."
Candra menarik napas dalam-dalam, mengalihkan pandangan mata kepada Viona seraya menyandarkan punggung di sandaran kursi. "Nggak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan, Viona. Kita akan tetap seperti ini, kamu bawahan saya dan saya atasan kamu. Paham?"
Viona menggaruk kepalanya sendiri yang sebenarnya tidak terasa gatal. "Hmm ... baiklah, aku permisi kalau begitu. Semoga harimu menyenangkan." Viona hendak melangkah.
"Pak Candra! Panggil saya dengan sebutan itu karena sekarang saya adalah atasan kamu," ucap Candra membuat Viona sontak menahan langkahnya lalu kembali menatap wajah Candra dengan perasaan kecewa.
"Ba-baik, Pak Candra," jawabnya dengan kesal.
"Sial," umpatnya dalam hati lalu melanjutkan langkahnya yang sempat tertahan.
***
Setelah kepergian Viona, Candra segera menghubungi Erlin. Wanita itu tidak menghubunginya sama sekali sejak terkahir kali mereka bertemu. Meskipun begitu, Candra tidak berprasangka buruk kepada orang yang telah banyak membantunya itu. Mengingat apa yang telah Erlin lakukan selama beberapa hari ini, mungkin saja dia kelelahan dan sedang beristirahat di hotel tempat di mana dia tinggal bersama Rosalinda.
Candra merogoh saku celana yang ia kenakan, meraih ponsel canggihnya dari dalam sana. Setelah menatap layarnya sejenak, pria itu pun menghubungi nomor kontak bernama Erlin. Candra terdiam untuk beberapa saat karena Erlin tidak segera mengangkat sambungan telepon.
"Ko gak diangkat?" gumamnya, kembali menatap layar ponsel dengan kening dikerutkan.
Sampai akhirnya, suara Erlin pun terdengar samar-samar membuat Candra kembali meletakan ponsel di telinga dengan senyum lebar.
"Halo, Cand," sapa Erlin dengan dingin.
"Halo, Er. Kamu di mana? Eu ... saya ada kabar baik. Kamu tau nggak, ternyata Ayahnya si Bram itu sahabatnya Tuan Askara Wijaya. Saya berencana buat menemui dia, kamu mau 'kan menemani saya?" tanya Candra, tanpa basa-basi segera memberitahukan kabar gembira yang ia terima.
Erlin terdiam, tidak segera menjawab pertanyaan Candra. Hanya suara helaan napasnya saja yang terdengar samar-samar di dalam sambungan telepon.
"Halo, Er. Kamu dengar apa yang saya omongin barusan?" tanya Candra dengan perasaan heran. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap Erlin.
"Maaf, Candra. Aku gak bisa nemenin kamu, aku sibuk," jawab Erlin, masih dengan nada suara yang sama.
Candra menarik napas dalam-dalam, masih mencoba berpikir positif. "Hmm ... baiklah kalau gitu. Saya bisa pergi sendiri. Kamu di mana sekarang? Gimana kalau kita makan siang bareng?"
"Maaf, aku gak bisa juga, Candra. Nyonya Rosalinda lagi butuhin aku. Dia lagi kurang baik. Kamu makan aja sama Viona, ya."
"Viona?" gumam Candra, seraya menggerakkan matanya ke kiri dan ke kanan mencoba untuk menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa sikap Erlin berubah.
"Kalau gak ada lagi yang mau dibicarakan, aku tutup sekarang, ya. Aku lagi nyetir soalnya. Bay," ucapan terakhir Erlin sebelum suaranya menghilang dari pendengaran.
Candra merasa kecewa. Menyandarkan punggung berikut kepala di sandaran kursi seraya meletakan ponsel miliknya di atas meja. "Sebenarnya Erlin kenapa? Ko dia aneh banget," gumamnya, seraya menutup kedua mata.
Suara ketukan di pintu seketika terdengar, Candra kembali membuka kedua mata lalu menoleh dan menatap ke arah pintu. "Masuk!" titahnya, seraya memperbaiki posisi tubuhnya. Duduk tegak dengan wajah datar.
Pintu pun dibuka dari luar, Bram melangkah memasuki ruangan dengan wajah ramah lengkap dengan senyuman yang mengembang di kedua sisi bibirnya.
"Selamat siang, Pak Candra. Maaf karena saya datang lebih cepat," ucapnya, sedikit membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
Candra mengerutkan kening, memandang pria itu dari ujung kaki hingga ujung rambut. "Si Bram kenapa? Tumben banget sikapnya sopan kayak gini? Tadi aja kasar banget," batinnya merasa heran.
"Maaf, Pak Candra. Saya mau minta maaf atas sikap kasar saya sama Anda. Kalau Anda butuh sesuatu, jangan sungkan menghubungi saya. Saya akan siap membantu Anda kapan pun Anda minta," ucap Bram, kembali membungkuk untuk yang kedua kalinya.
Bersambung ....
lh
sekarang ohhh ada yang sengaja niat
jahat menculik Candra jadi tukang sapu jadi viral bertemu orang tua nya yang
tajir melintir setelah hilang 29 th lalu
👍👍
jangan mendekati viona itu wanita
ga benar tapi kejam uang melayang
empat jt ga taunya menipumu Chan..😭