Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan dalam Janji Manis
Udara malam terasa dingin menusuk kulit Raya, tapi gejolak di dadanya jauh lebih beku. Bayangan wajah Langit yang kian memudar di benaknya mendorongnya, memaksanya menyingkirkan keraguan. “Langit,” bisiknya, seolah memanggil kekuatan dari inti jiwanya. Ia akan memilih harapan, apa pun harganya. Bahkan jika harapan itu terbalut janji manis dari Damar, yang ia tahu menyimpan racun di dalamnya.
Damar duduk di seberangnya, senyum tipisnya seperti topeng yang sempurna. Matanya memancarkan kombinasi aneh antara kepedulian dan kemenangan. “Aku sudah menemukan solusinya, Raya,” katanya, suaranya tenang, mengalir seperti madu. “Dokter Haruto di Tokyo. Dia spesialis langka, ahli dalam kondisi genetik sekompleks Langit. Peluangnya... sangat bagus.”
Jantung Raya berdebar kencang. Tokyo? Dokter Haruto? Nama itu terdengar asing, namun di telinganya, itu adalah mantra penyelamat. “Apa... apa persyaratannya?” Suaranya tercekat, ia tahu tidak mungkin Damar datang dengan tangan kosong.
Damar menyesap tehnya perlahan, menikmati setiap detik ketegangan yang ia ciptakan. “Tidak ada persyaratan yang memberatkan, Raya. Hanya... aku ingin memastikan Langit mendapatkan yang terbaik. Aku akan mengurus semuanya. Seluruh biaya, akomodasi di Tokyo, dokter pribadi yang mendampingi selama di sana. Semuanya.” Ia berhenti sejenak, menatap lekat-lekat mata Raya. “Tentu saja, aku harus ikut. Aku ayah biologisnya, Raya. Aku berhak mendampingi putraku di masa kritisnya.”
Firasat buruk yang Raya rasakan sebelumnya kini mengencang, melilitnya seperti ular. Mengurus semuanya? Mengapa Damar rela mengeluarkan sebanyak itu? Dan permintaannya untuk ikut, itu bukan sekadar permintaan, itu adalah pernyataan. Sebuah klaim. Tapi bagaimana ia bisa menolak? Nyawa Langit dipertaruhkan. Menolak berarti menutup satu-satunya pintu harapan yang terbuka.
“Bagaimana dengan Arlan?” Raya mencoba mencari celah. “Dia suamiku, dan ayah Langit.”
Senyum Damar sedikit menegang. “Arlan... dia bisa datang jika dia mau, tentu saja. Tapi semua akomodasi, pengaturan, dan koordinasi dengan tim medis di Jepang, aku yang akan menanganinya. Prioritas utamaku adalah Langit, Raya. Dan aku tidak akan membiarkan keraguan atau konflik menghambat proses penyembuhannya.” Kata-kata Damar terdengar meyakinkan, namun intonasinya mengandung ancaman tersembunyi. Jika Raya atau Arlan mencoba menghalanginya, ia tidak akan segan-segan bertindak.
Raya pulang dengan kepala berdenyut. Rumah terasa dingin, kosong. Arlan tidak ada. Sudah seminggu sejak ledakan kemarahan Arlan yang terakhir, setelah ia mengungkapkan keputusannya untuk memperjuangkan Langit, apa pun konsekuensinya pada pernikahan mereka. Arlan memilih menjauh, tidur di kamar tamu, bahkan kadang tidak pulang sama sekali. Hati Raya remuk, tapi tekadnya tak goyah.
Ia menemukan Arlan di ruang kerjanya, menatap kosong ke layar laptop. Ada kelelahan yang mendalam di garis wajahnya, kerutan yang baru. Hatinya mencelos. Pernikahan mereka, yang dulu bagaikan dongeng, kini di ambang kehancuran. Tapi ini bukan saatnya untuk meratapi. Ada nyawa yang harus diselamatkan.
“Arlan,” panggil Raya, suaranya pelan. Arlan tidak bergeming. “Aku sudah bicara dengan Damar.”
Arlan menghela napas panjang, bangkit dan berbalik. Matanya merah, bengkak. “Tentu saja kau bicara dengannya. Memang selalu begitu, bukan? Damar datang, membawa solusi palsu, dan kau selalu menelan mentah-mentah.” Suaranya pahit, penuh luka.
“Ini bukan solusi palsu, Arlan! Ini Dokter Haruto di Tokyo. Spesialis langka! Peluang Langit... ini yang terbaik yang kita punya!” Raya merasa frustrasi, amarahnya meluap.
“Kita? Raya, kau bahkan tidak berkonsultasi denganku! Kau memutuskan semuanya sendiri, selalu sendiri, seperti Langit hanya milikmu!” Arlan membanting tangannya ke meja, suaranya meninggi. “Seolah aku bukan suamimu, seolah aku bukan ayah yang membesarkannya!”
“Aku tidak punya waktu, Arlan! Langit sekarat! Setiap detik berharga! Kau mau aku berdiam diri saja, sementara kau tenggelam dalam amarahmu sendiri?!” Raya membalas, air mata mulai menggenang. “Damar menawarkan untuk membiayai semuanya, mengatur semuanya. Ia bahkan bilang akan mendampingi. Aku tidak punya pilihan!”
Arlan tertawa sinis. “Oh, jadi sekarang kita berterima kasih pada Damar? Pahlawan kesiangan yang tiba-tiba muncul di saat kau lemah? Kau tidak melihatnya, Raya? Dia menjebakmu! Dia ingin Langit, dan kau memberikannya di atas nampan perak!”
“Lalu apa maumu, Arlan? Kau punya solusi lain? Kau punya uang sebanyak itu? Kau punya koneksi dokter kelas dunia yang bisa menyelamatkan Langit SEKARANG?!” Raya menunjuk ke arahnya, rasa sakit di hatinya beradu dengan keputusasaan. “Aku mencintai Langit. Dia putraku, Arlan. Kau tahu itu. Dan aku akan melakukan apa saja untuknya.”
Keheningan menyelimuti mereka. Wajah Arlan mengeras, ekspresinya tak terbaca. Lalu, ia berjalan mendekat, meraih tangan Raya. “Aku tahu, Raya. Aku tahu. Dan aku juga mencintai Langit. Lebih dari segalanya.” Suaranya kini lembut, memohon. “Tapi ini terlalu cepat. Terlalu banyak Damar di dalamnya. Kita bisa cari cara lain. Aku akan menjual rumah ini, Raya. Kita bisa cari dokter lain. Bersama.”
Raya menggelengkan kepala, air matanya tumpah. “Tidak ada waktu, Arlan. Kondisi Langit semakin memburuk. Kita tidak punya waktu untuk menjual rumah, atau mencari dokter lain yang mungkin tidak ada. Ini satu-satunya jalan.”
Arlan menatapnya, ada keputusasaan yang sama terpancar di matanya. “Kau benar-benar akan pergi dengan Damar? Meninggalkanku di sini, sendirian?”
“Aku tidak akan meninggalkanmu, Arlan. Aku... aku hanya harus ikut Langit. Dia butuh aku. Kita akan berjuang bersama.” Raya mencoba meyakinkan, tapi Arlan hanya memejamkan mata. Ia tahu, kata-katanya hampa. Jurang di antara mereka terlalu dalam.
Keesokan harinya adalah serangkaian jadwal padat. Damar telah bergerak cepat. Tiket pesawat sudah di tangan, visa darurat diurus, dan janji temu dengan Dokter Haruto telah dikonfirmasi. Raya menyaksikan semua itu dengan takjub, juga dengan rasa ngeri yang dingin. Damar begitu efisien, begitu berkuasa. Ia seperti dalang yang menarik semua benang.
Langit dipindahkan ke rumah sakit khusus sebelum keberangkatan, untuk stabilisasi. Wajahnya pucat, napasnya tersengal, namun matanya berbinar saat Raya bercerita tentang “petualangan” ke Jepang. “Kita akan lihat bunga sakura, Bunda?” tanyanya lemah.
“Tentu, Sayang,” jawab Raya, menahan air mata agar tidak menetes. “Kita akan lihat banyak hal indah.”
Di bandara, suasana tegang menyelimuti mereka. Damar berdiri di samping Raya, mengenakan setelan rapi, ekspresinya tenang dan berwibawa. Di sisi lain, Arlan berdiri agak jauh, matanya memerah. Ia datang, meskipun hatinya hancur. Sebuah isyarat yang membuat Raya makin merasa bersalah, namun juga menguatkan tekadnya untuk Langit.
“Semuanya sudah siap,” kata Damar, melirik Arlan sekilas, senyum tipis di bibirnya. “Private jet kita sudah menunggu. Lebih nyaman untuk Langit.”
Raya terkejut. Private jet? Damar benar-benar tidak main-main. Skala bantuannya begitu besar, membuatnya merasa tercekik dalam jaring utang budi yang tak terlihat.
“Jaga Langit, Raya,” Arlan akhirnya mendekat, suaranya serak. Ia memegang tangan Raya erat, lalu beralih mengusap kepala Langit yang terbaring di brankar portabel. “Cepat sembuh, Nak. Ayah tunggu kalian pulang.” Ada kerinduan dan keputusasaan yang begitu dalam di suaranya, membuat Raya merasa hatinya teriris.
Damar mengamati interaksi itu dengan pandangan datar. “Sudah waktunya, Raya,” desaknya, tidak sabar.
Raya mengangguk, melangkah maju. Ini adalah jembatan yang harus ia seberangi, bahkan jika di ujung sana menunggunya jurang yang lebih dalam. Ia harus mempercayai ini, demi Langit. Ia harus menekan rasa benci dan curiga pada Damar. Ia harus.
Mereka masuk ke dalam private jet yang mewah. Ruangan itu dirancang khusus untuk kenyamanan pasien, dengan peralatan medis lengkap. Langit, meski lemah, tampak sedikit bersemangat. Raya duduk di sampingnya, mengusap rambutnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Tak lama setelah lepas landas, Damar datang dan duduk di seberang mereka. Ia membuka tas kerjanya dan mengeluarkan sebuah dokumen tebal. “Ada satu hal lagi, Raya,” katanya, nadanya berubah serius. “Untuk memastikan tidak ada hambatan hukum atau birokrasi selama Langit di Tokyo, dan untuk memperlancar semua prosedur medis, ada beberapa berkas yang harus kau tandatangani.”
Jantung Raya berdebar kencang. Firasat buruk itu kembali, kali ini lebih kuat, lebih konkret. “Berkas apa?” tanyanya, suaranya tercekat.
Damar mendorong dokumen itu ke hadapan Raya. Di halaman depan, dengan huruf kapital tebal, tertulis: “PERJANJIAN PERWALIAN DAN PERSETUJUAN MEDIS PENUH”. Di bawahnya, ada poin-poin yang menjabarkan bahwa Damar akan memiliki hak penuh atas keputusan medis Langit selama di Tokyo, termasuk hak untuk memberikan persetujuan atas operasi atau prosedur invasif lainnya, bahkan jika Raya tidak hadir atau tidak menyetujuinya. Lebih jauh lagi, ada klausul yang memberikan Damar hak untuk mewakili Langit secara hukum dalam segala hal yang berkaitan dengan kesehatannya selama periode perawatan, mengesampingkan hak Raya sebagai ibu asuh dan bahkan Arlan sebagai ayah yang membesarkannya.
Raya membaca dengan mata melotot, napasnya tertahan. Ini bukan hanya tentang perawatan. Ini adalah penyerahan kendali. Damar tidak hanya menawarkan bantuan; ia menuntut kekuasaan penuh atas Langit. Ia sedang melucuti Raya dari perannya sebagai ibu, bahkan jika hanya sementara. Ia sedang mengambil Langit, sepotong demi sepotong. Ia menatap Damar, matanya dipenuhi teror yang baru.
“Ini... ini tidak mungkin,” bisik Raya. “Ini terlalu banyak, Damar. Ini... kau mengambil semua hakku.”
Senyum tipis Damar kembali muncul. “Raya, ini demi Langit. Demi mempercepat proses. Bayangkan saja birokrasi yang harus kita hadapi jika setiap keputusan harus menunggu persetujuan dari Jakarta. Aku hanya memastikan Langit mendapatkan penanganan terbaik tanpa hambatan. Lagipula,” ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya merendah dan penuh ancaman terselubung, “Aku yang membiayai semuanya. Aku yang membawa Langit ke sini. Atau kau ingin pulang sekarang? Biarkan Langit di sini, dalam kondisi kritisnya, sementara kita berdebat masalah hak asuh?”
Raya menatap wajah pucat Langit yang tertidur pulas, tidak menyadari pertaruhan besar yang sedang terjadi di atasnya. Tangannya gemetar. Menandatangani berarti menyerahkan Langit ke dalam genggaman Damar sepenuhnya. Tidak menandatangani berarti kehilangan kesempatan terakhir untuk menyelamatkan putranya. Pesawat sudah melaju di ketinggian ribuan kaki. Ia terperangkap, sepenuhnya terperangkap.
Damar meletakkan pulpen di atas dokumen. “Keputusan ada di tanganmu, Raya. Waktu terus berjalan. Dan Langit... dia tidak punya banyak waktu.”
Raya meraih pulpen itu, tangannya gemetar hebat. Sebuah desiran dingin menjalari tubuhnya. Ini bukan harapan. Ini adalah jebakan. Sebuah kesepakatan dengan iblis, di mana jiwanya akan menjadi taruhan. Apakah ia akan menandatanganinya? Apakah ia akan menyerahkan Langit demi menyelamatkan hidupnya?