Hagia terkejut bukan main karena dirinya tiba-tiba dilamar oleh seorang pria yang jauh lebih muda dari usianya. Sebagai seorang janda beranak satu yang baru di ceraikan oleh suaminya, Hagia tidak menyangka jika tetangganya sendiri, Biru, akan datang padanya dengan proposal pernikahan.
"Jika kamu menolakku hanya karena usiaku lebih muda darimu, aku tidak akan mundur." ucap Biru yakin. "Aku datang kesini karena aku ingin memperistri kamu, dan aku sadar dengan perbedaan usia kita." sambungnya.
Hagia menatap Biru dengan lembut, mencoba mempertimbangkan keputusan yang akan diambilnya. "Biru, pernikahan itu bukan tentang kamu dan aku." kata Hagia. "Tapi tentang keluarga juga, apa kamu yakin jika orang tuamu setuju jika kamu menikahi ku?" ucap Hagia lembut.
Di usianya yang sudah matang, seharusnya Hagia sudah hidup tenang menjadi seorang istri dan ibu. Namun statusnya sebagai seorang janda, membuatnya dihadapkan oleh lamaran pria muda yang dulu sering di asuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Starry Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Abah Yai Khalid langsung menemui Hilya setelah Biru pamit kembali ke asrama. Ia yakin jika sedikit banyak putrinya itu menguping pembicaraan nya dengan Biru, meskipun sudah diperingatkan berulang kali untuk tidak menguping, namun Hilya seakan tuli jika berhubungan dengan Biru.
"Ning," ucapnya membuka pintu kamar Hilya. Terlihat gadis itu sedang membaringkan tubuhnya dan sedikit bergetar.
Abah Yai Khalid menghela napas dalam-dalam dan berjalan menghampiri sang putri. "Ning tadi nguping pembicaraan Abah sama Gus?" tanyanya pelan, ia duduk ditepi ranjang Hilya.
Hilya tidak menjawab pertanyaan Abah Yai Khalid, tapi ia membalikkan tubuhnya. Matanya sembab dan hidungnya memerah pertanda jika ia sedang menangis, Hilya meletakkan kepalanya dipangkuan Abah Yai Khalid, yang tersenyum melihatnya dan mengusap surai hitam sang putri.
"Abah tahu, Ning sangat menyukai Gus Biru." katanya dengan suara lembut. "Tapi Ning harus ingat, kalau sekarang Gus Biru sudah punya calon istri. Abah harap, Ning bisa menghapus perasaan Ning terhadap Gus Biru. Abah tidak ingin Ning merasakan rasa sakit yang lebih dalam." Abah Yai Khalid sangat memilih kata-katanya, agar bisa di terima akal dan hati Hilya. Yang bisa dipastikan sekarang sedang tidak baik-baik saja.
"Lalu bagaimana dengan Ning, Bah? Memangnya Ning gak pantas buat Gus Biru? Ning sangat mencintainya, Ning selalu belajar dan memastikan jadi yang terbaik agar pantas bersanding dengannya. Ning sangat... Ning...." tangisnya kembali pecah, hingga ia tak bisa melanjutkan kalimatnya.
"Istighfar Ning, istighfar. Abah tahu bagaimana putri Abah, tapi jodoh, rezeki, maut. Semua sudah ditentukan oleh Allah SWT, kalau memang Allah tidak menyatukan nama Ning dan Gus Biru, Ning harus ikhlas. Jangan...."
Hilya langsung bangun dari tidurnya, dan berkata, "Gak bisa, Bah. Ning gak bisa kalau disuruh ikhlas, Gus Biru itu cuma satu gak ada yang lainya lagi." sangkalnya, Hilya masih belum bisa menerima kenyataan jika Biru akan menjadi milik wanita lain.
Abah Yai Khalid memeluk Hilya dengan erat, membiarkan gadis itu menangis sepuasnya. Ia tahu jika apa yang dirasakan Hilya sangat sakit, itu sebabnya dulu ia sering mewanti-wanti Hilya agar tidak berlebihan menyukai sesama makhluk ciptaan Allah. Namun melihat Hilya sekarang, sepertinya gadis itu tidak pernah mendengarkan peringatannya.
"Abah tahu, Ning. Abah tahu bertapa dalam perasaan Ning. Tapi Abah juga ingin Ning tahu, bahwa Allah SWT selalu punya rencana yang lebih baik untuk kita. Jika Gus Biru tidak di takdirkan untuk Ning, maka Abah yakin ada yang lebih baik menanti Ning di masa depan." katanya kembali meyakinkan Hilya.
Hilya masih menangis sesenggukan dalam pelukannya hingga membuat baju koko yang dipakainya basah, Abah benar-benar bisa merasakan jika hati putrinya sangatlah hancur. "Ya Allah, tolonglah putri hambamu ini. Berikanlah dia kesabaran dan kekuatan untuk menghadapi cobaan ini. Jadikanlah dia lebih baik dan lebih dekat denganMu." bisiknya dalam hati memohon pada sang pemilik kehidupan.
.....
Sejak Biru menyambangi ndalem, sejak saat itu juga Hilya sama sekali tidak terlihat diarea pesantren. Biasanya gadis itu akan sibuk mengajar dari kelas satu ke kelas yang lainya, tapi sudah hampir empat minggu ini Hilya tidak terlihat.
"Kira-kira, Ning Hilya sakit apa ya?" tanya Hamid pada Biru, mereka sedang mengawasi para santri yang sedang bermain basket.
"Ning Hilya sakit? Kata siapa?" tanya Biru, ia memang tidak tahu menahu kabar Hilya. Dan sengaja menjaga jarak, namun Biru baru sadar jika sejak kedatangan, ia hanya dua kali bertemu Hilya.
"Hemmm, ustadzah Farida tadi bilang gitu pas di kantor. Tapi beliau tidak bilang Ning Hilya sakit apa." kata Hamid menjelaskan.
Biru hanya manggut-manggut tanpa ingin tahu lebih detail. "Jangan-jangan, Ning Hilya patah hati gara-gara kamu mau nikah, Ru." tebak Hamid.
Biru langsung melayangkan tinjuan kecil ke perut sahabatnya. "Kalau ngomong jangan yang nggak-nggak deh." katanya.
Hamid mengaduh kesakitan sambil mengelus-elus perutnya. "Kamu ternyata hobi kdrt yaa, entah siapa wanita malang yang akan menjadi istrimu....awww...awwwwhhh sakit Ru!" serunya, karena Biru langsung menghadiahi Hamid beberapa tonjokan.
"Assalamualaikum, Gus." sapa beberapa santri yang lewat, membuat perdebatan Biru dan Hamid terhenti.
"Walaikumsalam...." sahutnya sambil tersenyum, kesempatan itu langsung digunakan Hamid untuk melarikan diri. Ia tidak mau jadi samsak Biru yang memang jadi bela diri. Selain tampan, pintar, sholeh, kaya, dan baik, Biru juga jago pencak silat. Wajar saja jika Hilya begitu menyukainya, sebab semua nilai plus yang diinginkan wanita ada dalam diri Biru.
"Dasar Hamid Prakoso Joyo." gumamnya melihat Hamid lari entah kemana.
Merasa sesi latihan para santrinya sudah cukup, Biru memerintahkan agar para santri kembali ke asrama untuk bersih-bersih dan istirahat sejenak, sambil menunggu waktu ashar tiba. Begitu juga dengan dirinya, ia akan membereskan daftar nilai para santri, agar pengganti nya nanti tidak kesulitan memberi nilai.
Di sisi lain, tempat di ndalem. Kabar tentang sakitnya Hilya memang benar adanya, gadis itu terlalu shock mengetahui pria yang paling dicintai dan diharapkan menjadi pendampingnya, telah menentukan pilihan untuk meminang wanita lain. Kabar itu membuat kondisi fisik dan psikis Hilya drop hingga harus benar-benar istirahat total.
Baru beberapa hari ini Hilya bisa diajak berbicara, sebab sebelumnya ia sama sekali tidak merespon lawan bicaranya. Ya, sedalam itulah sakit yang ia rasakan, karena cinta berlebih.
"Abah hari ini harus pergi. Ning harus nurut apa kata umi dan Gus Hanafi, jangan lupa minum obatnya." pesan Abah, beliau hendak pergi menemani jemaah umroh bimbingan nya.
"Iya, Abah. Abah tenang aja, Ning bisa jaga diri." katanya meyakinkan Abah Yai Khalid.
Abah Yai Khalid memeluk Hilya dan mengecup puncak kepalanya. "Ning harus ingat, ada Abah, umi, Gus Hanafi, dan Gus Hanan yang sangat mencintai Ning. Kami semua tidak ingin Ning kenapa-kenapa, kami ingin Ning hidup bahagia."
Hilya tersenyum dan mengangguk, lalu meraih tangan lebar Abah Yai Khalid dan menggenggamnya. "Ning minta maaf ya, Bah. Ning udah buat Abah dan semuanya khawatir, Ning benar-benar minta maaf." Hilya menciumi tangan Abah Yai Khalid berkali-kali, menandakan jika ia benar-benar menyesal.
Abah Yai Khalid tersenyum, sepertinya kini ia bisa pergi dengan tenang, karena Hilya sudah bisa diajak berbicara dan terlihat menyesali perbuatannya. "Abah maafkan, jadikan ini sebagai pembelajaran berharga, Abah yakin jika segala sesuatunya pasti ada hikmahnya." lagi-lagi Abah Yai Khalid memberikan nasehat, tanpa menyalahkan sikap Hilya.
"Ning akan berusaha, Bah. Terimakasih karena Abah tidak lelah membimbing, menasehati, tanpa menyalahkan Ning. Ning sayang Abah." Hilya memeluk Abah Yai Khalid, keduanya memang sangat dekat terlebih karena Hilya adalah putri satu-satunya.
Dulu Abah Yai Khalid dan Umi Maryam memiliki dua anak perempuan, namanya Hulya. Namun ia tidak panjang umur, dan meninggal di usia satu tahun. Setelah itu lahirlah Gus Hanafi, Gus Hanan, dan Hilya, satu-satunya Ning dalam keluarga Abah Yai Khalid Ummar dan Umi Siti Maryam Sae.
*
*
*
*
*
TBC