Follow IG othor @ersa_eysresa
Anasera Naraya dan Enzie Radeva, adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Namun tepat di hari pernikahan, sebuah tragedi terjadi. Pesta pernikahan yang meriah berubah menjadi acara pemakaman. Tapi meskipun begitu, pernikahan antara Ana dan Enzie tetap di laksanakan.
Namun, kebahagiaan pernikahan yang diimpikan oleh Ana tidak pernah terjadi. Karena bukan kebahagiaan yang dia dapatkan, tapi neraka rumah tangga yang ia terima. Cinta Enzie kepada Ana berubah menjadi benci di waktu sama.
Sebenarnya apa yang terjadi di hari pernikahan mereka?
Apakah Ana akan tetap bertahan dengan pernikahannya atau menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Tahu
Pagi datang membawa rasa sakit yang berdenyut di kepala Enzi, dikombinasikan dengan kelelahan hebat di tubuhnya. Perlahan, ia membuka mata. Tangannya menyentuh sisi ranjang di sampingnya, tetapi kosong dan dingin. Dia duduk, mengusap matanya yang terasa berat, lalu tatapannya jatuh pada sosok wanita yang meringkuk di sofa panjang di sudut ruangan.
"Apa semalam aku bermimpi?" batin Enzi, mencoba merangkai pecahan memori yang kabur.
Namun, ketika ia menyingkirkan selimut tebal yang menutupi dirinya, matanya langsung terpaku pada noda gelap di seprai putih yang kusam. Noda darah.
Memori itu menyerbu masuk, tajam dan dingin, menghantam kesadarannya tanpa ampun: Amel, club dan orang-orang banyak yang tidak dia kenal. Minuman yang tiba-tiba terasa aneh, rasa sakit yang membakar, keputusasaan di mobil, Arvin, dan... Ana. Teriakan Ana. Air mata Ana. Permohonan Ana yang dia abaikan karena terbakar hasratnya semalam.
"Tidak, tidak mungkin..." bisiknya. Itu bukan mimpi. Semalam adalah kenyataan yang mengerikan.
Enzi bangkit dari ranjang, rasa pusing menyerangnya, tapi dia mengabaikannya. Dia berjalan cepat menuju sofa, berlutut di depan Ana yang kini terbangun karena sentuhannya.
Ana membuka mata, tatapannya dingin dan kosong, tanpa sedikit pun kehangatan atau rasa iba. Dia langsung tersentak dan menjauh saat Enzi mencoba menyentuhnya.
"Ana..." suara Enzi serak, dipenuhi rasa bersalah. "Apa yang terjadi semalam? Kenapa kau tidur di sini? Dan... dan seprai itu..."
Ana mendengus pelan, tawa yang menyakitkan. "Kamu sudah tahu jawabannya, Mas. Kamu mengambil apa yang kamu inginkan dengan paksa. Kamu sudah merenggut apa yang seharusnya kamu dapatkan dengan cinta dan ketulusanku."
Kata paksa itu menghantam dada Enzi seperti palu godam. Dia tidak bisa menyangkal. Dia ingat jeritan kecil Ana, rontaannya, air matanya. Dia melihat kembali cermin kejantanannya, dan yang dia temukan hanyalah monster yang didorong oleh sesuatu yang salah.
"Aku... aku tidak sadar. Itu minumannya! Aku tidak bermaksud, Ana. Aku bersumpah!" ucap Enzi, mencoba meraih tangan Ana, namun wanita itu menariknya menjauh.
Ana berdiri, menjauh dari jangkauan Enzi, dan berjalan ke lemari pakaian, mengambil pakaian ganti. Wajahnya lurus dan tanpa emosi.
"Aku tidak peduli itu obat, minuman, atau sihir, mas. Yang ingin aku tanyakan semalam kamu pergi ke klub dengan siapa? Kenapa kamu baru menghubungi Arvin saat keadaanmu sudah tidak terkontrol." ujar Ana, suaranya tenang, tetapi setiap kata mengandung racun dugaan dan prasangka. "Dan dugaanku sekarang sekarang, kamu pergi dengan wanita lain untuk bersenang-senang, kau menodai dirimu di luar sana, dan kau pulang untuk menjadikanku pelampiasan dari kesalahanmu. Kau menghancurkan apa yang tersisa dari harga diriku."
Enzi terkejut mendengar ucapan Ana, Wanita itu benar-benar menamparnya dengan kata-kata dugaan dan sindiran yang tepat sasaran dan membuatnya tak bisa berkutik. Dia mencoba berdiri, dan mengambil tangan Ana namun segera di tepis.
"Aku akan akan mencari tau siapa yang sudah melakukan ini padaku. Aku akan mengurusnya dan menghukumnya, Aku akan—"
"Bahkan jika yang melakukan itu Amel? Wanita masa laku yang sangat kamu cintai?" potong Ana dengan senyuman sinis di bibirnya. "Aku rasa kamu tidak akan melakukan apapun jika memang dia yang melakukannya. Jadi aku rasa kamu tidak perlu mencaritahu apapun, simpan saja penyesalanmu. Aku tidak butuh itu."
Ana berjalan keluar kamar, namun sebelum pintu kamar terbuka, dia berbalik dan menatap Enzi dengan tatapan yang tak dapat diartikan.
"Dengar baik-baik, Mas. Aku masih berada di sini. Kenapa? Karena aku menghargai lima tahun perjalanan cinta kita dan berharap kamu bisa kembali seperti dulu, aku juga tidak ingin lari dari masalah. Dan aku sudah memberimu kesempatan. Dan semalam, Aku akan menghitungnya sebagai satu kesalahan terbesarmu, kesempatan terakhirmu," ujar Ana, nadanya tidak bisa dibantah.
"Jika terjadi kesalahan lagi, sedikit saja, aku akan pergi jauh sampai kamu tidak bisa menemukanku. Dan jika saat itu tiba, kau tidak akan bisa menahanku dengan uang, Ancaman, apalagi kekerasan. Aku akan mengambil semua yang aku mau, termasuk kebebasanku, dan kau tidak akan bisa berbuat apa-apa. Kau sudah memaksaku. Itu sudah cukup sebagai bukti bahwa kau tidak pernah menghormatiku."
Mendengar kata memaksaku, Enzi tersentak mundur seolah tertampar. Dia melihat kehancuran total di mata Ana. Dia ingin membantah, mengatakan bahwa mereka suami istri, tetapi dia tahu, dalam konteks semalam, itu adalah pemaksaan.
"Ana... jangan pergi. Kita bisa bicara. Aku akan berubah," kata Enzi putus asa.
"Itu semua tergantung padamu."
"Aku akan menggunakan kamar tamu samping Aku tidak akan tidur lagi di ranjang yang sudah kamu kotori dengan paksaan. Kamu tidur di sini, dan jangan pernah menyentuhku lagi sebelum kamu benar-benar belajar dan menyesal, menyelesaikan semua kekacauan yang sudah kamu buat."
Pintu kamar tertutup dengan bunyi pelan, senyap seperti cinta Ana yang makin lama,pelan namun pasti makin memudar.
Enzi tersisa sendirian, dikelilingi oleh kemewahan kamar yang kini terasa dingin. Seprai yang ternoda menjadi saksi bisu kebiadabannya. Kepala sakit, hati hancur, dan yang tersisa hanyalah kesadaran menyakitkan bahwa, dalam satu malam, dia tidak hanya kehilangan cinta Ana, tetapi juga memutus benang tipis terakhir yang menahan istrinya.
Apakah di hatinya masih ada nama Ana yang tersisa? Apakah perasaan cintanya untuk Ana masih ada?
Jawabnya masih, itulah kenapa dia memilih pulang ke rumah untuk melampiaskan hasratnya pada Ana, bukan pada wanita lain bahkan Amel sekalipun. Karena di hatinya cintanya untuk Ana masih bertahta, tapi keegoisannya untuk menyakiti wanita itu juga cukup besar. Dan setelah ini entah drama apa lagi yang akan terjadi.
Enzi mengambil ponselnya dan menghubungi Arvin dia ingin memastikan apa yang sudah terjadi semalam.
"Hallo Vin, bisa kamu ceritakan padaku apa yang terjadi semalam, " tanya Enzi.
"Kamu mabuk dan dalam pengaruh obat. Untungnya kamu masih bisa berfikir waras dan memilih pulang meminta tolong pada Ana, daripada menghabiskan malammu dengan wanita malam. Masalah akan semakin kacau kalau itu sampai terjadi. " Jelas Arvin.
"Kamu melihat seseorang duduk disampingku ga? " tanya Enzi penasaran.
"Nggak, nggak ada siapa-siapa, cuma beberapa orang yang nggak aku kenal dan mereka sama mabuk sepertimu. " kata Arvin. " Lagian kenapa kamu pergi ke klub Sendiran, kok nggak ngajak aku. '
Arvin merasa kesal karena tidak diajak bersenang-senang, tapi kena getahnya, Yaitu menjemput Enzi yang sedang mabuk dan membuat suasana menjadi canggung saat tiba di rumah bertemu dengan Ana.
"Maaf, semalam aku hanya sedang ingin sendiri... "
"Dan karena keinginanmu itu, sesuatu yang fatal hampir saja terjadi padamu, dasar bodoh. "
"Ayolah, tapi aku masih waras dan tidak melakukan hal bodoh itu kepada wanita lain. " Enzi tidak diterima mendapat makian dari Arvin. "Aku minta padamu, cari siapa yang sudah memberiku obat sialan itu. "
Panggilan di akhiri setelah Enzi memberikan tugas kepada asistennya itu
dia sudah memilih
be strong woman you can do it
marah atau pura pura ga tau