NovelToon NovelToon
LUKA YANG KEMBALI

LUKA YANG KEMBALI

Status: tamat
Genre:Teen Angst / CEO / Action / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama / Tamat
Popularitas:112
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 17: JARAK KEMBALI

Hari-hari setelah malam itu terasa seperti berada di dalam kabut tebal. Laura bangun, mandi, berangkat kerja, pulang, tidur—semua dalam gerakan otomatis tanpa benar-benar merasakan apapun. Seperti roboter yang diprogram untuk berfungsi tapi tidak hidup.

Nia membawanya pulang ke apartemen Laura malam itu dan tidak meninggalkannya sendirian selama tiga hari pertama. Sahabatnya itu tidur di sofa, memasak makanan yang Laura hampir tidak sentuh, dan hanya ada di sana—kehadiran diam yang mengatakan bahwa Laura tidak sendirian meski dia merasa sangat kesepian.

"Kamu harus makan, Lau," ujar Nia di pagi hari keempat, menyodorkan sepiring nasi goreng. "Kamu sudah kurus. Ini tidak sehat."

Laura menatap piring itu tanpa nafsu makan. "Aku tidak lapar."

"Aku tidak peduli. Makan. Sekarang." Nada Nia tidak memberi ruang untuk debat.

Laura makan beberapa suap, lebih karena tidak ingin membuat Nia khawatir daripada karena ingin. Makanan terasa seperti abu di mulutnya.

"Kamu harus kembali bekerja hari ini," lanjut Nia, duduk di seberang Laura. "Pak Widodo sudah menelepon dua kali kemarin menanyakan kabarmu. Proyek Green Valley tidak bisa berhenti hanya karena—" dia berhenti, tidak melanjutkan kalimat.

Hanya karena hatimu hancur. Hanya karena pria yang kamu cintai tidak bisa memilihmu.

"Aku tahu," bisik Laura. "Aku akan masuk hari ini."

"Dan Julian—"

"Aku tidak mau membahas tentang dia," potong Laura cepat. "Kumohon, Ni. Jangan."

Nia menghela napas tapi mengangguk. "Baiklah. Tapi kamu tahu kamu tidak bisa menghindarinya selamanya, kan? Kalian masih partner bisnis. Masih ada proyek yang harus diselesaikan bersama."

Laura tahu itu. Dan itu yang paling menyiksanya.

Kembali ke kantor terasa seperti masuk ke medan perang. Laura mencoba mengabaikan tatapan penasaran dari rekan-rekan kerjanya—pasti sudah ada gossip tentang dia yang 'tinggal di tempat CEO Sentinel' selama seminggu. Dia mengabaikan pesan-pesan di grup WhatsApp kantor yang bertanya kemana dia.

Dia fokus pada pekerjaan. Hanya pekerjaan.

Tapi tentu saja, alam semesta tidak akan membiarkannya melupakan dengan mudah.

Email dari Julian datang jam sepuluh pagi.

Subjek: Meeting Koordinasi Proyek Green Valley

Miss Laura,

Kita perlu meeting untuk membahas progress cluster C yang mengalami delay. Ada beberapa keputusan kritis yang harus dibuat minggu ini. Mohon konfirmasi waktu yang tersedia.

Regards,

Julian Mahardika

Formal. Dingin. Seolah malam itu tidak pernah terjadi. Seolah ciuman mereka, pengakuan Laura, air mata yang mengalir—semua itu hanya mimpi.

Laura menatap email itu dengan perasaan sesak di dada. Bagian dari dirinya ingin membalas dengan nada yang sama dinginnya. Tapi bagian profesionalnya tahu—proyek ini lebih besar dari perasaan mereka. Ada ratusan orang yang bergantung pada kesuksesan proyek ini.

Dia membalas dengan singkat:

Kamis, 15.00, di kantor Mahkota Property. Saya akan siapkan ruang meeting.

Tidak ada salam pembuka. Tidak ada 'Pak Julian'. Hanya fakta-fakta telanjang.

Balasan Julian datang lima menit kemudian.

Confirmed.

Satu kata. Hanya itu.

Laura menutup laptop dan menenggelamkan wajahnya di tangannya. Bagaimana dia akan menghadapi Julian? Bagaimana dia akan duduk di ruangan yang sama, bernapas di udara yang sama, berpura-pura bahwa hatinya tidak hancur setiap kali melihat wajahnya?

"Mbak Laura?" Dina mengetuk pintu yang terbuka. "Pak Bambang mau meeting sebentar bahas masalah di cluster C. Bisa sekarang?"

Laura menarik napas dalam, memasang topengnya kembali—topeng profesional yang menyembunyikan semua luka di dalamnya. "Bisa. Aku akan ke ruang meeting sekarang."

Meeting dengan Pak Bambang—project manager site—mengungkap masalah yang lebih serius dari yang Laura kira. Progress konstruksi cluster C tertunda dua minggu karena material yang datang tidak sesuai spesifikasi. Ada miscommunication antara tim procurement Mahkota Property dan tim keamanan Sentinel tentang standar material yang harus digunakan.

"Ini karena tidak ada koordinasi yang jelas dalam dua minggu terakhir," ujar Pak Bambang dengan nada sedikit menyalahkan. "Biasanya Mbak Laura dan Pak Julian meeting rutin tiap minggu. Tapi dua minggu ini tidak ada meeting sama sekali. Jadilah kacau begini."

Laura merasakan bersalah menyerang. Ini salahnya. Dia yang menghindari Julian, yang membatalkan meeting koordinasi, yang membiarkan jarak personal mempengaruhi profesionalisme.

"Maafkan saya, Pak," ujarnya dengan tulus. "Saya akan perbaiki ini. Meeting dengan Sentinel akan saya jadwalkan ulang mulai minggu ini. Tidak akan ada lagi gap komunikasi."

Setelah meeting, Laura duduk sendirian di kantornya, menatap timeline proyek yang mulai berantakan. Dua minggu dia menghindari Julian, dan akibatnya proyek senilai ratusan miliar ini terancam gagal.

Dia tidak bisa egois seperti ini. Tidak bisa membiarkan perasaan personal merusak karir dan proyek yang melibatkan banyak orang.

Dengan tangan gemetar, Laura mengambil ponselnya dan mengetik pesan di WhatsApp Julian. Pertama kalinya sejak malam itu dia menghubungi Julian secara langsung.

Laura: Kita perlu bicara tentang koordinasi proyek. Bukan Kamis. Besok. Ada masalah urgent di cluster C yang tidak bisa ditunda.

Tiga titik muncul, menghilang, muncul lagi. Laura menatap layar dengan jantung berdebar.

Julian: Besok jam berapa?

Laura: Jam 2 siang. Di kantor saya atau kantor Anda?

Julian: Kantor saya. Lebih privat. Kita perlu bicara panjang lebar tentang ini.

Laura tahu 'ini' tidak hanya soal proyek. Tapi dia tidak punya pilihan.

Laura: Baik. Sampai besok.

Dia meletakkan ponselnya dan menatap kosong ke layar komputer. Besok. Dia akan bertemu Julian besok. Dan entah bagaimana, dia harus bertahan.

Malam itu, di apartemennya yang sunyi, Laura tidak bisa tidur. Dia terus berguling-guling di tempat tidur, pikiran terus memutar ulang semua yang terjadi.

Ponselnya berdering—video call dari Felix.

Laura ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat. Wajah Felix muncul di layar dengan senyum ramah seperti biasa, tapi matanya penuh kekhawatiran.

"Laura. Akhirnya kamu angkat. Aku sudah coba hubungi beberapa kali."

"Maaf, Felix. Aku—aku tidak dalam kondisi untuk bicara dengan siapapun."

"Aku tahu. Julian cerita apa yang terjadi." Felix diam sejenak. "Atau lebih tepatnya, dia tidak cerita detail tapi aku bisa lihat dia hancur. Dan kamu—kamu terlihat tidak tidur selama berhari-hari."

Laura menyentuh wajahnya secara sadar. Apa terlihat sangat buruk?

"Aku tidak menelepon untuk membela Julian," lanjut Felix cepat. "Aku menelepon karena aku khawatir pada kalian berdua. Julian adalah sahabatku, tapi kamu—kamu juga temanku sekarang, Laura. Dan aku tidak suka melihat kalian berdua menyiksa diri sendiri seperti ini."

"Felix, ini rumit—"

"Aku tahu rumit. Julian cerita tentang Maudy, tentang masa lalunya, tentang bagaimana dia bingung. Tapi Laura—" Felix menatap langsung ke kamera dengan serius. "Aku kenal Julian sepuluh tahun. Aku ada saat Maudy meninggalkannya dan aku melihat dia hampir hancur. Tapi aku juga melihat dia beberapa minggu terakhir saat dia mulai dekat denganmu. Dan percayalah, cara dia menatapmu—itu berbeda. Itu bukan tatapan pria yang masih terjebak di masa lalu. Itu tatapan pria yang mulai hidup lagi."

Air mata Laura mengalir tanpa dia sadari. "Tapi dia masih tidak bisa melepaskan Maudy."

"Karena dia takut, Laura. Takut kalau dia membuat keputusan yang salah lagi. Takut kalau dia menyakitimu seperti dia pernah terluka. Julian bukan pria yang baik dalam hal perasaan—dia lebih nyaman dengan strategi dan logika. Tapi percayalah, dia merasakan sesuatu yang sangat kuat untukmu. Aku bisa lihat itu."

"Tapi merasakan sesuatu tidak cukup, Felix," bisik Laura. "Aku butuh kepastian. Aku butuh tahu bahwa aku bukan pilihan kedua."

"Dan kamu berhak dapat itu," jawab Felix lembut. "Tapi mungkin—mungkin kalian berdua perlu waktu. Waktu untuk menyelesaikan hal-hal yang belum selesai. Waktu untuk memproses. Hanya jangan—jangan tutup pintu sepenuhnya, Laura. Berikan dia kesempatan untuk membuktikan."

Setelah telepon dengan Felix berakhir, Laura duduk di tepi tempat tidurnya, memeluk bantal, menatap Jakarta malam melalui jendela apartemennya yang jauh lebih kecil dari jendela apartemen Julian.

Apakah dia harus memberi Julian kesempatan? Apakah dia harus menunggu?

Tapi pertanyaannya: berapa lama dia harus menunggu? Dan apa jaminan di akhir penantian itu, Julian akan memilihnya?

Laura tidak tahu jawabannya. Yang dia tahu hanya satu hal: besok dia harus bertemu Julian. Dan entah bagaimana, dia harus kuat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!