Bangkitnya Permaisuri Yang Terlupakan

Beberapa hari berlalu. Restoran Cahaya Langit semakin populer. Aroma masakan Yuyu menyebar hingga ke gang belakang. Para pedagang dan pejabat kecil sering datang untuk makan siang, tak menyadari bahwa di antara mereka ada mata-mata yang bekerja di bawah perintah Han Sunyi.

Zhi Dao dan Feng Yu menjaga keamanan dari atap gedung, memantau jalan-jalan sekitar. Bai Ren bertugas di ruang makan sebagai pelayan yang cerewet tapi ramah, sementara Jin Yue mengatur dapur dengan tangan besi.

Nuan menjadi penghubung antara para pelayan rahasia, memastikan setiap pesan disampaikan melalui kode khusus lipatan kertas berbentuk bunga teratai.

Namun Han Sunyi sendiri jarang keluar. Ia tinggal di lantai tiga ruangan kecil tersembunyi yang hanya bisa diakses melalui mekanisme rahasia dari dapur. Tak ada satu pun pelanggan yang tahu bahwa sang pemilik restoran tinggal tepat di atas mereka.

Ia menghabiskan waktunya menulis laporan, membaca surat dari mata-matanya, dan mengamati dunia dari balik tirai bambu.

Suatu sore, ketika hujan turun deras dan petir menyambar di kejauhan, Zhi Dao mengetuk pintu rahasianya.

“Nona, ada kabar baru,” katanya.

Han Sunyi menoleh. “Masuk.”

Zhi Dao masuk dengan wajah serius. “Ada kelompok bersenjata datang dari utara. Mereka menyebut diri mereka ‘Penegak Langit’, dan rumor mengatakan mereka mencari seseorang bernama Han Sunyi.”

Han Sunyi terdiam, lalu tersenyum kecil. “Penegak Langit… sepertinya orang-orang istana mulai berani memakai nama besar untuk menutupi ketakutan mereka.”

“Haruskah kita bertindak?” tanya Zhi Dao.

“Tidak,” jawabnya singkat. “Biarkan mereka mencari. Dunia ini luas, dan yang mereka cari sudah lenyap dari peta.”

Zhi Dao menatapnya ragu. “Tapi kalau mereka menemukan restoran ini—”

“Mereka tidak akan tahu,” potong Han Sunyi lembut. “Setiap orang di sini memiliki identitas baru. Bahkan aku pun tidak lagi Han Sunyi.”

Ia berdiri, menatap bayangannya di cermin. “Mulai hari ini, aku adalah pemilik restoran bernama Madam Wen.”

Zhi Dao mengangguk. “Baik, Nona. Atau… Madam Wen.”

Mereka berdua saling bertukar pandang sebuah pengertian yang lahir dari kepercayaan panjang.

Malam itu, restoran tutup lebih awal. Hujan masih turun rintik-rintik. Di ruang bawah tanah, Han Sunyi dan enam orang kepercayaannya berkumpul di sekitar meja bundar.

“Mulai malam ini,” ucap Han Sunyi pelan, “kita tidak lagi hanya menjaga tempat ini. Kita mengamati, mendengar, dan mengumpulkan. Setiap kabar dari istana, setiap langkah pasukan, setiap rumor yang keluar dari bibir pemabuk di pasar—semua akan sampai padaku.”

Bai Ren mengangkat cangkir tehnya. “Kedengarannya seperti pekerjaan mata-mata elit.”

“Kalau kau lebih suka sebutannya,” kata Feng Yu, “kita sekarang adalah bayangan dunia bawah tanah.”

Han Sunyi tersenyum samar. “Bukan bayangan. Kita adalah cahaya yang bersembunyi.”

Hening sejenak. Hanya suara hujan di luar yang terdengar.

Lalu Yuyu menepuk tangannya pelan. “Kalau begitu, izinkan aku menyiapkan hidangan khusus untuk menandai awal baru kita.”

Yuyi menyahut dengan semangat, “Dan aku akan menyiapkan teh terbaik!”

Han Sunyi mengangguk. “Baiklah. Tapi jangan lupa—besok restoran harus tetap buka seperti biasa. Dunia mungkin sedang bergejolak, tapi pelanggan tetap butuh makan.”

Tawa kecil kembali terdengar. Dalam kehangatan sederhana itu, mereka lupa sejenak akan bahaya yang mengintai.

Namun jauh di utara, di balik gerbang istana Kekaisaran Qing, Li Feng berdiri di balkon tinggi dengan jubah emasnya, menatap ke arah selatan.

“Han Sunyi…” gumamnya lirih. “Aku tak tahu apa yang sedang kau rencanakan, tapi aku tahu dunia ini belum selesai dengan kita.”

Hujan mengguyur halaman istana, membawa kilatan petir yang menyambar langit.

Dan di kejauhan, di Kota Qingbei yang penuh rahasia, lampu-lampu restoran Cahaya Langit tetap menyala — menjadi tempat persinggahan antara damai dan badai yang akan datang.

🌕 Bersambung… 🌕