“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18 ~ Seperti seorang musafir
Seorang pria tengah berusaha keluar dari labirin berliku-liku, napasnya tersengal-sengal, keringat dingin membasahi pelipis dan kening. Langkahnya sedikit berlari mencari jalan tanpa ujung, dia tersesat. Sampai datangnya cahaya menyilaukan mata membawanya kealam nyata.
"Astaghfirullah!" Dia langsung terduduk kala terbangun dari mimpi melelahkan dan terus berulang-ulang hampir setiap malam.
Teriakannya mengejutkan sosok wanita muda memiliki tubuh ideal dengan lekuk berisi. Rautnya terlihat panik, langkah tergesa-gesa menghampiri si pria yang duduk di sofa ruang keluarga ditemani televisi masih menyala.
"Kenapa, Pa? Mimpi itu lagi, ya?” tanyanya penuh perhatian tidak mengalihkan pandangan dari pria tampan, memiliki bentuk wajah tegas nan dewasa.
Sebelum menjawab dia menarik napas panjang, lalu mendongak menatap sekilas wanita berambut sepinggang mengenakan daster selutut. “Iya, tapi kali ini lebih jelas. Bukan sekadar siluet maupun bayangan berjalan, suaranya terdengar jernih.”
“Apa perlu esok kita pergi ke puskesmas, Pa? Periksa kesehatan sekaligus membawa Denis imunisasi vaksin cacar air?”
“Boleh.” Angguknya, pandangannya tidak lagi fokus seolah tengah menyelami mimpi barusan.
Wanita tadi melangkah ke belakang bagian dapur, menuang air putih dalam gelas, kembali lagi dan memberikannya kepada sang pria.
“Arinta, terima kasih,” ucapnya tulus menyebut nama si wanita, lalu mulai meneguk isi gelas hingga tandas.
“Papa! Papa!”
"Papa disini, Nak. Nonton televisi,” Arinta yang menjawab.
Dari dalam kamar, batita melangkah dengan kaki sedikit terbuka lebar menjaga keseimbangan tubuhnya. Tangan mungilnya mengusap-usap mata, dia masih mengantuk. Saat terbangun dan mendapati sang papa tidak ada disisinya, langsung saja memanggil dan mulai mencari sosok penyayang itu.
“Denis mengapa bangun, Nak?” Ia berlutut di lantai papan halus mengkilap, mendekap sayang batita berumur 13 bulan.
Yang dipeluk cuma membalas melingkarkan tangan pada belakang leher papanya.
Arinta tersenyum sayang, rona bahagia terpancar pada raut wajah mulus, dan sedap dipandang oleh mata.
“Uluh uluh … cucu Kakek lagi manja ternyata,” goda pria berambut ubanan, masih terlihat gagah meskipun kerutan menyebar pada wajah dan kulit lengan.
“Yunus, kau mimpi buruk lagi? Tadi Abah mendengar pekikanmu?” tanyanya menatap pria yang dipanggil Yunus.
“Iya, Bah.”
"Lain kali jangan bekerja terlalu keras. Kita tak kekurangan orang mengelola kebun jeruk. Kau cukup mengawasi tanpa harus turun tangan langsung, Yunus,” tegurnya perhatian.
"Bang Yunus memang payah dibilangin, Bah. Bilangnya tak betah berdiam diri cuma memandori. Lihat sekarang efeknya, dihantui mimpi itu lagi.” Bibirnya mencebik, sayangnya tatapannya tidak berbalas. Yunus tengah menimang Denis agar kembali tertidur.
“Ya sudah, kalau cucu Abah sudah tidur lagi – kalian pergilah tidur juga. Waktu masih masuk dini hari.” Abah kembali masuk ke dalam kamar yang berseberangan dengan ruang keluarga.
Pria mengenakan kain sarung, kaos polos – melangkah masuk ke dalam kamar bernuansa warna lembut. Membaringkan batita diatas kasur, sebelum beranjak dikecupnya lembut kening Denis.
Arinta berdiri ditengah-tengah batas pintu, tatapannya cukup membuat sang pria langsung mengerti.
“Saya mau sholat tahajud, kau tidurlah lagi.” Dia pun keluar dari kamar saat wanita dewasa berumur 25 tahun itu minggir memberikan jalan.
***
Diatas hamparan sajadah, pria berkopiah duduk diantara dua sujud. Tangannya menengadah, tatapan penuh kerinduan tapi entah tertuju pada siapa.
Dia seperti seorang musafir yang tersesat di padang pasir. Buta arah, tidak ada siapa-siapa selain dirinya dan padang gurun.
“Ya Rabbi … empat belas bulan sudah semenjak hamba membuka mata dari rasa sakit luar biasa yang hamba sendiri tak tahu penyebabnya apa. Mengapa tak ada secuil ingatan kembali, setidaknya singgah meskipun cuma sekejap mata. Hamba mohon petunjuk-Mu ya Allah, perasaan ini kian membingungkan. Ada rasa membuncah tapi tak tahu apa – terkadang tiba-tiba sedih, suatu ketika tersenyum sendiri. Tolong hamba ya Tuhan Yang Maha Pengasih.”
Yunus masih bercengkrama dengan Sang Al-Khaliq, walaupun kini bergema dalam hatinya.
‘Apa diri ini benar-benar sebatang kara? Mengapa tak ada yang mencariku? Padahal Abah sudah melaporkan kepada pihak kelurahan atas penemuan sosok terluka terbawa arus sungai belasan bulan lalu?’ batinnya bertanya-tanya.
Terkadang, ada saatnya dia merasa putus asa. Akan tetapi, mimpi itu hadir dalam bentuk lain bukan cuma bayangan anak kecil bermain di taman – tapi siluet wanita menghidangkan makanan.
Sayangnya setelah terbangun, sebagian bunga tidur itu berguguran, tak utuh terekam oleh otaknya.
“Siapa dia, siapa pula dua sosok anak perempuan yang selalu tertawa lepas, dan baru tadi memanggil Ayah. Apa putri-putri ku? Namun mengapa tak ada jejak tertinggal?” Netranya menatap jari manis tangan kanan dan kiri, polos.
Saat dirasa sudah cukup, ia menyudahi berdoanya. Mengembalikan kopiah pada tempatnya, dan berencana kembali tidur.
.
.
Pagi hari.
“Hati-hati dijalan, jangan ngebut!” wanita paruh baya, berwajah tegas memperingati Yunus.
“Baik, Ambu.” Yunus menyalami punggung tangan ibunya Arinta.
“Papa, mau papa.” Tangan Denis terulur, dia sudah mulai pintar mengucapkan kata meskipun masih pendek-pendek dan sering tidak jelas.
“Sama Mama saja dulu, Nak. Papa mau nyetir mobil, nanti sampai puskesmas baru digendong papa. Menurut ya, anak tampannya Mama?” Pipi wangi bedak bayi itu diciumi kuat-kuat nan lama.
Denis terkikik, wajahnya menoleh ke kiri dan kanan menghindari serangan sang ibu.
Abah, Ambu tersenyum lebar melihat cucu dan putri mereka sangat bahagia.
Mobil Daihatsu Feroza melaju pelan keluar dari pekarangan rumah panggung besar. Perjalanan itu tidak begitu jauh, cuma memakan waktu sekitar lima belas menit saja.
Tak lama kemudian, mobil mewah tersebut sudah sampai di halaman puskesmas kelurahan Sampan. Wilayah transmigrasi tak jauh dari laut, tapi sangat jauh dari pusat kota.
Yunus lebih dulu turun, lalu berlari kecil membuka pintu bagian penumpang.
Batita berbaju kodok warna navi langsung minta gendong.
Banyak pasang mata memandang kagum, tak sedikit pula memiliki rasa iri. Mereka mengenal Arinta – putri dari pemilik perkebunan jeruk paling luas di wilayah mereka. Usaha Abah Ibrahim pun bukan itu saja, masih ada kapal-kapal kecil yang dipakai oleh nelayan untuk menangkap ikan di laut.
.
.
“Kalau sudah sama papa nya, manjanya bukan main. Apa-apa Papa, mau apapun harus sama Papa,” goda seorang perawat masih ada hubungan saudara dengan Arinta.
“Kau betul, mamanya tak laku.” Arinta berdecak, dia berdiri sangat dekat dengan sang pria.
Yunus membawa Denis duduk dipangkuannya. Mereka tengah menunggu antrian imunisasi yang hari ramai.
Arinta duduk tepat disamping Yunus, paha mereka menempel walaupun tertutup kain.
“Arinta boleh saya minta tolong?” bisiknya sangat pelan, dekat di telinga sang wanita agar tidak didengar oleh orang lain.
“Ya, apa?” ia tidak menoleh.
“Tolong jaga jarak, jangan terlalu dekat dengan saya, bisa?”
.
.
Bersambung.