Hidup untuk yang kedua kalinya Selena tak akan membiarkan kesempatannya sia-sia. ia akan membalas semua perlakuan buruk adik tirinya dan ibu tirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aulia indri yani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 22
Hari berlalu dengan cepat. Selena menghindari pertengkaran yang akan terjadi dengan Karina, Evelyn ataupun Davin.
kali ini Selena sibuk untuk ujian dan memperbaiki diri agar lebih baik. ketenangannya bukanlah tanda menyerah untuk menghadapi orang-orang munafik seperti ayahnya, Karina dan Evelyn serta Davin.
Hari terakhir ujian sangat melegakan. Selena menghembuskan nafasnya puas—ia menjawab semua soal dengan mudah karena sudah belajar.
Ia mengemasi barang-barangnya dan bangkit dari tempat duduk. Tak menunggu Davin yang sedang sibuk mengirimi pesan entah dari siapa.
Namun yang pasti Selena tahu orang yang dikirimi pesan oleh Davin.
Selena tidak mau ambil pusing—menghadapi pria yang tidak bisa memutuskan sesuatu sangatlah menguras tenaga.
Lebih baik ia fokus pada kematian ibunya.
Di tangga yang sunyi dan gema para siswa kejauhan terdengar menjadi latar belakang saat ia berhadapan dengan Arsa.
Selena menghentikan langkahnya. Menatap Arsa dengan tajam—membiarkan Arsa mendekati nya.
"Kau serius akan bertunangan dengan pria itu?" Suara Arsa tenang namun tajam. Langkahnya melahap jarak mereka berdua dengan mudah.
Hening sejenak, Selena mengamati wajah Arsa. Ia bingung harus menganggap Arsa ancaman atau tidak.
Tapi kali ini berbeda. Ia bisa melihat wajah Arsa tampak serius—jauh dan tidak seperti biasanya—menggoda dan penuh seringai bodoh.
Satu langkah lagi Arsa mendekat saat Selena tak menjawabnya. "Kupikir kau tidak akan bertunangan dengan Davin."
"Itu bukan urusanmu." Kakinya ingin melangkah namun tangan Arsa dengan cepat menghalangi kepergian Selena.
"Untuk kehidupan kedua mu gunakan sebaik mungkin.. Atau aku akan mengendalikan nasibmu sesuai keinginanku." ucap Arsa dengan dingin dan tajam.
Nafas Selena tercekat, tenggorokannya seperti di cekik sesuatu. tubuhnya bergetar—mata Selena merah dengan membulat. "Aku tidak mengerti maksudmu.." suaranya tajam namun tampak tidak yakin.
Selena tak mengerti mengapa Arsa tahu rahasia terbesarnya—bahwa ia hidup kembali, hidup untuk membalaskan dendam.
Matanya menyipit penuh perhitungan dan mencari-cari sesuatu, tidak mungkin Arsa tiba-tiba bercanda mengaitkan sesuatu tentang kehidupan sebelumnya.
Arsa menelan ludahnya terasa kering. Wajahnya mendekat ke arah Selena—tatapannya melembut. "Hiduplah dengan baik Selena.. Atau aku akan benar-benar mengendalikanmu.." meski suaranya lemah ada ancaman disana yang tidak main-main.
"Idiot." sahut Selena tajam, ia tidak bisa mengatakan sebenarnya dan memperpanjang masalah ini.
Sejenak, Arsa menjauh. "Aku akan memantau perkembangan mu.. Saat kau lengah, aku akan mengendalikan mu."
Pesan itu menggantung di udara penuh janji dan sumpah Arsa. Ia pergi menaiki anak tangga.
Selena menoleh, tangannya terkepal dengan mata melotot. Mengapa Arsa bisa tahu? Seolah pria itu mengetahui seluruh hidupnya.
Kehidupan sebelumnya.. Seolah Arsa juga memohonkan diri kepada Tuhan untuk hidup kembali
"Mungkin dia hanya memancing emosiku." bisik Selena meyakinkan dirinya sendiri. Arsa tidak tahu apapun tentang nya.
Namun kata-kata Arsa masih terngiang-ngiang di otaknya.. Ia kembali menuruni tangga.
Saat di lantai bawah Selena berjumpa dengan Sofia. Gadis itu tersenyum cerah mampu membuat Selena kembali bernafas lega setelah hampir tercekik karena ucapan Arsa.
"Semua sudah siap nona Wiranata." ia memberi pose hormat layaknya melaporkan diri pada komandan.
Selena tersenyum kecil, sebelum mendekati Sofia. "Bagus."
"Berkat kamera itu Ethan percaya lagi kepadaku! Terimakasih! Aku dan Ethan kembali berhubungan.. lalu aku akan dimasukkan kembali ke dalam organisasi dewan siswa." lapornya dengan senang.
Selena mengangguk puas. "Itu bagus."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Kamar itu pengap dengan asap rokok memenuhi udara. Kamar sangat gelap hanya dibantu dengan cahaya lembut dari komputer
Tiga komputer berdiri rapih dengan kabel menggantung di belakangnya. Foto-foto berserakan di meja dan dinding.
Hembusan nafas berat bersamaan dengan asap rokok yang mengepul di udara.
Mata biru Arsa menyala pada layar komputernya—jarinya mencengkram kuat mouse.
Ia terkekeh sinis. "Sial.. Aku bisa kalah dengan pria tidak konsisten seperti Davin Prasetya.."
Berat tubuhnya bersandar sepenuhnya pada kursi. Menatap layar komputer, sesekali terkekeh kembali.
Melihat adegan dimana Selena diam-diam memasuki kamar sang ibu melalui balkon lalu melompat dari atas seterah mendapatkan yang di inginkan.
Arsa juga memutar ulang video cctv bagaimana Selena melawan Karina yang berputar menjadi korban—rela mengorbankan tangannya demi menjadi korban didepan Wirya.
"Gadisku memang sangat berbahaya." Suara Arsa lembut namun tajam, penuh kekaguman gelap.
"Seandainya kau menyuruhku Selena.. Kau sudah hidup tenang—aku bisa saja langsung membuat ke empat orang itu mati seketika." Suaranya tajam dan tidak ragu.
Arsa rela menjadi seorang pembunuh demi Selena. Melenyapkan mereka dengan mudah menggunakan kedua tangannya.
Selena melarangnya.. itulah yang ia benci.
namun ia menyukai rencana Selena. Meski Selena tidak menyukai alasan dirinya ingin membantu Selena.
"Sayang kenapa kau begitu keras kepala?" ia mengambil salah satu foto Selena.
Foto itu dimana Selena menatap tajam pada cermin—masih memakai handuk menutupi tubuhnya yang seksi.
"Sial Selena.. Kau membuatku tak tertahankan." Ia terkekeh tajam, mengecup foto itu.
Tak hanya foto itu—ratusan yang tak terhitung foto Selena terpasang sempurna didinding kamarnya. seluruh dindingnya berwajah selena—saat ia bangun ia melihat wajah Selena, hanya Selena...
"Ratu ku sayang.. kau mengecewakanku tahu.. Seharusnya kau memilihku dibandingkan Davin."
Meski Arsa tahu pertunangan itu bukanlah keinginan murni Selena. Hanya sebuah rencana untuk memposisikan ditempat aman.
"Nama Prasetya tidak cocok untukmu sayang. Kau lebih cocok menyandang nama Mahendra.. Nyonya Selena Mahendra." ia menyeringai lebar—betapa sempurnanya Selena memakai nama belakang keluarganya.
Selena bagaikan berlian bagi Arsa. Hidup dikeluarga Wiranata yang dipenuhi racun—kemunafikan.
Arsa mengigit ibu jarinya—ia akan membuat Selena menatapnya dan mempercayainya bagaimana pun caranya. Hanya butuh kepintaran dan waktu ia akan mendapatkan Selena.
Melirik arah komputernya—cctv dikamar Selena.
Gadis itu baru mandi setelah pulang sekolah. Rambut peraknya yang panjang bagaikan sutra lembut dan halus.
Kulitnya licin dan bersinar setelah mandi membuat Arsa menelan ludah susah payah. Ia hampir bisa merasakan kulit Selena dibawah telapak tangannya.
Matanya menyala penuh ketertarikan yang sangat kuat dan tak bisa terkendali. Nafasnya memburu karena hasrat tak tertahankan.
"Kau membunuhku dengan jarak ini Selena." bisiknya pelan. Telapak tangannya basah karena keringat, sebelum mengangkat tangannya memegang mouse.
Ia memperbesarkan layar komputer—membuat wajah Selena tampak jelas. Gadis itu menatapnya—cctv, seolah menatap dirinya secara langsung.
Mata Selena tajam dengan merah—kecurigaan membuat Arsa tertawa terbahak-bahak dengan kasar. "Dia selalu waspada ya?"
suara Arsa tampak takjub. Ia tak perlu khawatir Selena mencurigai bahwa ia sedang menguntit melalui cctv dikamar nya.
Karena cctv itu terlihat mati dan tidak berfungsi, semua orang tidak tahu jika cctv itu bisa di aktifkan kembali.
"Kau tidak tahu melalui cctv ini aku bisa melihat seluruh dirimu Selena."