"Berhenti gemetar Ana.. Aku bahkan belum menyentuhmu." Nada suara itu pelan, rendah, dan berbahaya membuat jantung Ana berdebar tak karuan. Pertemuan mereka seharusnya biasa saja, tapi karena seorang bocah kecil bernama Milo semuanya menjadi berubah drastis. Daniel Alvaro, pria misterius yang membuat jantung ana berdebar di tengah kerasnya hidup miliknya. Semakin Ana ingin menjauh, semakin Daniel menariknya masuk.Antara kehangatan Milo, sentuhan Daniel yang mengguncang, dan misteri yang terus menghantui, Ana sadar bahwa mungkin kedatangannya dalam hidup Daniel dan Milo bukanlah kebetulan,melainkan takdir yang sejak awal sudah direncanakan seseorang.
Bagaimana jadinya jika Ana ternyata mempunyai hubungan Darah dengan Milo?
apa yang akan terjadi jika yang sebenarnya Daniel dan Ana seseorang yang terikat janji suci pernikahan di masa lalu?
Siapa sebenarnya ibu dari Milo? apa hubungannya dengan Ana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SNUR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benang merah
Daniel baru saja duduk di ruangannya setelah briefing pagi ketika ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar adalah Arga, orang kepercayaannya yang tadi malam ia tugaskan untuk mengawasi kontrakan Ana.
“Ya,” ucap Daniel pendek.
Suara Arga terdengar teratur, tapi ada ketegangan samar.
“Tuan… tadi pagi seseorang datang ke kontrakan Nona Ana.”
Daniel menyipitkan mata. “Siapa?”
“Hasil identifikasi wajah… Rafael Mahendra, Tuan.”
Daniel terdiam.
Ada sesuatu yang menegang di antara alis dan sikunya.
Nama itu bukan nama asing justru nama yang sangat ia kenal. Adik dari istrinya, adik dari ibu Milo.
Arga kembali melanjutkan,
“Dia datang dengan ekspresi sangat panik tuan, sepertinya khawatir pada nona Ana yang menghilang. ia juga Bertanya ke tetangga-tetangga soal keberadaan Ana. Terlihat benar-benar khawatir.”
Daniel tidak menjawab selama beberapa detik.
Hanya suara napasnya yang berat, seperti menekan sesuatu di dadanya.
Rafael Mahendra…?
Mencari Ana?
Dengan panik?
Jika itu benar… maka satu hal sangat jelas
Rafael punya hubungan erat dengan gadis itu.
Mungkin lebih erat dari yang ia bayangkan.
“Sepertinya Rafael tahu Ana menghilang sejak kemarin. Dan dia kembali ke kontrakan dua kali untuk memastikan.”
Daniel menggenggam ponselnya kuat-kuat.
Sebuah potongan memori kembali menembus pikirannya, Kecelakaan itu. Malam yang gelap. Hujan disertai guntur
lalu Mobil yang remuk parah Dan istrinya yang hilang tak pernah kembali.
Lalu identitas Ana yang penuh kejanggalan…
mengalami Kecelakaan yang sama di enam tahun yang lalu
Dan sekarang Rafael adik iparnya mencari gadis itu mati-matian.
Semua seperti kepingan puzzle yang mulai saling bertautan… meski masih kabur.
“Terus awasi tempat itu. Laporkan setiap gerak gerikny,” ujar Daniel akhirnya, suaranya dingin namun ada tekanan samar.
“Sesuai perintah, Tuan.”
Telepon ditutup.
Daniel menautkan jari-jarinya, bersandar pada kursinya. Hening menyelimuti ruang kerja, tapi pikirannya tidak hening sama sekali.
Rafael Mahendra lalu Identitas Ana yang dimanipulasi… Trauma Ana.
Terlalu banyak kebetulan disini
“Jangan bilang… semua ini benar-benar berkaitan dengan kecelakaan itu…” gumamnya, hampir pada diri sendiri.
Jika benar…
Jika Rafael mengetahui sesuatu yang tidak ia ketahui selama ini… Alex Mahendra mertuanya menyembunyikan suatu hal yang penting dari publik.
Jika Ana juga bagian dari tragedi malam itu,
Maka misteri ini jauh lebih besar dari sekadar gadis penyelsmst yang Milo bawa pulang.
Ini bisa jadi Benang kusut yang selama enam tahun ini menghantuinya.
Dan hanya satu nama yang bisa memecahkan permasalahan ini, Ana.
Daniel membuka mata perlahan, sorotnya berubah tajam.
“Aku harus tahu siapa kamu sebenarnya, Ana…”
Rafael keluar dari area kontrakan Ana dengan langkah panjang dan napas memburu. Wajahnya pucat, matanya gelap oleh kekhawatiran yang menggerogoti pikirannya sejak pagi.
Sudah dua hari Ana tidak muncul di sekolah.
Ponselnya tidak aktif.
Kontrakannya kosong.
Tetangga-tetangga hanya menggeleng tanpa tahu apa pun.
Seolah… Ana menghilang dari dunia.
Rafael berusaha mengatur napasnya sambil membuka Google Maps, mencari kemungkinan tempat lain yang mungkin didatangi Ana puskesmas, cafe tempat Ana bekerja sudah , bahkan halte terdekat.
Ia mendatangi semuanya.
Namun jawaban yang ia dapat hanya sama “Tidak ada dan tidak tahu.”
“Belum lihat.”
“Aku nggak tahu–”
“Brengsek…” Rafael mengacak rambutnya frustrasi.
Ia bahkan kembali ke café tempat Ana bekerja kemarin, di mana Sherin membuat fitnah busuk itu.
Manager café menolak bicara banyak, hanya menyebutkan hal-hal yang membuat Rafael mengepal
“Ana ceroboh. Itu sebabnya dia saya pecat.”
Rafael menahan diri untuk tidak menghajar pria itu.
Ia keluar dari café dengan dada sesak. Dia memikirkan hal yang paling ia takuti—
Apa Ana… mengalami sesuatu?
Sakit?
Pingsan di suatu tempat?
Atau bahkan yang lebih buruk…
Tidak. Tidak mungkin. Ana terlalu kuat. Dia gadis yang keras kepala, penuh semangat meski hidupnya berat.
Tapi hari ini… kekhawatirannya berubah menjadi rasa bersalah yang menggigit.
Rafael berjalan lagi ke jalan-jalan kecil, ke gang-gang yang mungkin dilalui Ana setiap hari. Ia bertanya pada penjaga toko, tukang parkir, pedagang asongan.
Namun jawabannya tetap sama Nihil.
“Di mana kamu, Ana…” suaranya lirih, pecah oleh frustasi.
Langit tiba-tiba mendung, angin berhembus lebih dingin. Rafael berjalan tanpa arah, tetap menelusuri gang demi gang, bahkan menyusuri jalan menuju sekolah, berharap menemukan satu petunjuk apa pun.
Ia tidak menyerah.
Tidak bisa menyerah.
Karena di dada yang sesak itu, satu bisikan kecil terus menyuarakan sesuatu yang tidak mau ia akui
“Aku tidak bisa kehilangan dia. kali ini aku harus melindunginya. ”
Namun hingga matahari hampir tenggelam…
Rafael masih tidak menemukan apa pun.
Ana benar-benar lenyap.
Dan Rafael berdiri di depan kontrakan kecil itu untuk terakhir kalinya, menggenggam pagar yang berkarat.
“Aku akan menemukanmu, Ana… apa pun caranya.”
Rafael pulang dengan langkah gontai, tubuhnya terasa seperti tidak bertenaga. Matahari sudah tenggelam, malam mulai turun, namun ia tetap memaksa diri menyusuri kota hingga menit terakhir. Tetap sama— Ana tidak ditemukan.
Rumah keluarga Mahendra sunyi ketika Rafael masuk. Namun begitu ia melewati ruang tengah, suara berat memecah keheningan.
“Rafael.”
Rafael tersentak.
Ayahnya, Axel Mahendra, berdiri dengan wajah tenang tapi tatapan tajam seperti pisau.
“Ayah…” Rafael menelan ludah, suaranya lemah. “Aku—aku harus bicara.”
Axel berjalan mendekat, langkahnya tegas, napasnya berat.
“Kau pulang malam-malam begini dengan wajah berantakan begitu… apa yang terjadi?”
Rafael mengepalkan tangan.
Ia tidak ingin mengatakan ini, tidak ingin mengakuinya… tapi dia tidak punya pilihan lain.
“Ana… hilang.”
Sunyi.
Beberapa detik seolah berhenti berputar.
Axel memicingkan mata, wajah garangnya berubah menjadi gelap penuh ancaman.
“Apa maksudmu hilang?”
Nada suaranya tajam, terkontrol, tapi berbahaya.
Rafael mencoba menahan getaran suaranya, menatap ayahnya dengan was-was.
“Ana tidak masuk sekolah dua hari. Kontrakannya kosong. HP-nya mati. Tidak ada yang melihat dia. Aku sudah mencarinya ke mana-mana…”
BRAK!
Axel memukul meja kaca ruang tamu, membuat Rafael tersentak.
“KENAPA KAU TIDAK BECUS MENJAGA KAKAKMU SENDIRI?!”
Suara itu menggema keras, membuat Rafael menunduk dalam-dalam.
“Aku sudah bilang dari dulu jaga Ana. Awasi dia. Pastikan dia aman!”
Axel menunjuk dada Rafael, kemarahan dan ketakutan bercampur di matanya.
“Dan sekarang kau datang padaku dengan kabar ANAK ITU HILANG?!”
Rafael semakin gemetar.
Ia tahu ayahnya melarang semua orang tahu hubungan Ana dengan keluarga Mahendra….
Ia tahu ayahnya menaruh perhatian yang tidak biasa pada Ana…
Tapi tetap saja—
“Maafkan aku, Ayah…” Rafael bersuara pelan. “Aku benar-benar sudah mencari dia seharian ini. Tapi dia tidak ada.”
Axel mendengus keras, memalingkan wajah, lalu berteriak memanggil salah satu pengawalnya.
“Siapkan mobil! Aku ingin daftar semua CCTV area kontrakan itu! Lacak keberadaan semua orang yang pernah berinteraksi dengan Ana!”
Kemudian ia menatap Rafael tajam, penuh tekanan.
“Dan kau…”
Suara Axel merendah, namun lebih menakutkan daripada teriakan sebelumnya.
“Kau tidak akan tidur malam ini. Kalau kau tidak menemukan Ana… jangan pernah memanggilku ‘Ayah’ lagi.”
Rafael merasakan dadanya sesak.
Namun ia hanya mengangguk.
“Aku akan menemukannya… Aku berjanji.”
Axel mendekat, menatap mata Rafael tajam seperti singa yang terluka.
“Lebih baik begitu. Karena kalau tidak, Rafael…”
Ia berhenti sejenak, suaranya menjadi lirih namun menusuk.
“Aku tidak akan pernah memaafkanmu.”