Kisah tentang para remaja yang membawa luka masing-masing.
Mereka bergerak dan berubah seperti bola kuning, bisa menjadi hijau, menuju kebaikan, atau merah, menuju arah yang lebih gelap.
Mungkin inilah perjalanan mencari jati diri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Paffpel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Malam itu terasa sunyi, bulan bersinar terang, bintang-bintang mengelilinginya. Arpa lagi di kursi kamarnya, dia duduk sambil bengong, menatap langit dari jendela. Dia naruh dagunya di atas tangannya. “Rian, dia bilang gua enggak punya sesuatu yang menarik, dan itu… bener, Kela sama Susi, ngatain gua pecundang kesepian, mungkin…. Itu juga bener,” matanya menatap kosong langit.
Arpa menghela napas panjang. Dia naruh tangannya di meja dan sedikit menurunkan kepalanya. “Terus sekarang, gua harus apa? Gua cuman pengen punya temen, tapi malah jadi kaya begini.”
Arpa bangun dari duduknya. Gerakannya lambat dan terasa berat. Dia ngeliat jam. “Udah jam segini ya… gua tidur deh.”
Arpa berbaring di kasurnya. Dia mengangkat selimut dan menutupi badannya. Dia belum tidur gara-gara dadanya masih terasa sesak. Tapi pelan-pelan, dia terlelap dalam tidurnya.
Paginya sinar matahari menembus jendela kamar Arpa. Banyak kebisingan orang-orang yang sibuk dengan aktivitasnya. Ayam berkokok terus-menerus.
Arpa terbangun dengan perasaan yang masih terasa berat. Pagi yang biasanya dia mulai dengan kebisingan dan semangat. Tiba-tiba menjadi sunyi dan hampa.
Arpa pelan-pelan menuju ke jam dinding. Dia nengok ke jam dinding itu. “telat lagi ya…” kata Arpa dengan mata yang setengah terbuka dan tanpa gerakan yang berlebihan.
Ibu Arpa membuka pintu dengan keras. Matanya menatap tajam Arpa. “Arpa! Kamu ngapain?! Cepetan siap-siap ke sekolah, kamu udah telat ini!”
Bahu Arpa turun, badannya agak condong ke bawah. “Iya, bu….” kata Arpa dengan nada pelan dan datar.
Ibu Arpa bergerak cepat dan tiba-tiba. Alisnya terangkat. Mulutnya sedikit terbuka. “O-oh, iya, cepet ya,” ibu Arpa pergi pelan-pelan.
Arpa berjalan keluar dari kamarnya. Dia bersiap-siap tapi tidak secepat biasanya. Setiap langkah yang dia ambil, terasa penuh tekanan.
Setelah selesai bersiap-siap, Arpa ingin berangkat. tapi kali ini ada yang berbeda, Arpa pamit kepada ayah dan ibunya. Dia membuka pintu dan pergi.
Ibu Arpa sedikit memiringkan kepalanya. Kakinya sering bergerak kecil. Bibirnya menutup rapat sebentar. “Ayah, si Arpa kenapa ya? Kaya ada yang aneh sama dia.”
Ayah Arpa melirik ibu Arpa sebentar, lalu meminum teh sambil membaca koran. “Enggak tau bu, biasa lah, namanya juga anak muda.”
Sedangkan Arpa, di jalan dia melihat Juan lumayan jauh di depannya. Tapi dia hanya berjalan dan mengabaikannya.
Juan tiba-tiba diam. Dia nengok ke belakang. Dia menyipitkan matanya. “Rap?” Dia lari nyamperin Arpa.
Juan ngos-ngosan sedikit. “Oi, Rap, buset tumben lu ga teriak-teriak.”
“Iya,” jawab Arpa dengan datar. Dia langsung jalan dan ninggalin Juan.
Mulut Juan sedikit terbuka. Dia memiringkan kepalanya. Dia megang bahu Arpa. “Hah? Lu kenapa Rap?” Tanya Juan.
Arpa menengok ke Juan. Dia melepaskan tangan Juan dari bahunya. “Gapapa, Jun.” dia langsung ninggalin Juan lagi.
alis Juan turun. Dia menekan pelan bibirnya. Dia menatap fokus ke arah Arpa yang lagi membelakanginya.
Juan lari lagi dan jalan di samping Arpa. Biasanya mereka berdua penuh dengan tawa dan candaan. Tapi kali ini, mereka berdua berjalan dengan keheningan. Sepanjang perjalanan Juan hanya diam. Sesekali dia melirik Arpa.
Akhirnya mereka pun sampai di gerbang sekolah. Pak Budi menatap tenang mereka berdua. “Juan, kamu masuk, tapi Arpa tetap di sini,” pak Budi membuka gerbang dan mendorong pelan Juan.
Juan sedikit menahan dorongan pak Budi. Dia menatap pak Budi. “Loh, kenapa cuma saya pak?”
Pak Budi menaruh tangannya di bahu Juan. Dia menatap fokus mata Juan. “Juan, saya mau ngomong sebentar sama Arpa.”
Juan pun mengangguk nurut dan langsung masuk. Arpa memperhatikan mereka berdua, tapi dia tidak terlalu peduli.
Pak Budi melihat Arpa dan menarik pelan tangannya. “Sini, Arpa, duduk di situ.”
Pak Budi menatap muka Arpa. “Kamu lagi memikirkan sesuatu ya, tapi ada hal yang harus saya kasih tau ke kamu, ini pasti ada hubungannya dengan apa yang sedang kamu pikirkan sekarang,” pak Budi sedikit menurunkan kepalanya.
Alis pak Budi mengkerut lembut. “Begini, Arpa, sekarang seluruh murid di kelas kamu, menjuluki kamu sebagai pecundang kesepian,” pak Budi menatap lantai.
Arpa tersentak dan langsung menatap pak Budi. “Ke-kenapa?” Tanya Arpa.
Pak Budi meremas jarinya. Bahunya menurun. “Saya enggak tau, saya cuman denger dari para siswa-siswi di kelas kamu, tapi saya tau, ini pasti karena saya, ini pasti karena saran saya.”
Pak Budi mengangkat badannya, tapi pandangannya masih menurun. Dia menengok Arpa. “Saya minta maaf ya… kamu boleh masuk sekarang.” kata pak Budi dengan nada pelan.
Bibir Arpa bergetar halus. Gerakannya lambat dan hati-hati. Dia berdiri pelan-pelan. Dan langsung melangkah pergi, mengabaikan pak Budi di
belakangnya.
Arpa berjalan menuju kelas. Alisnya mengerut tipis. Dadanya terasa sesak dan enggak nyaman.
Saat dia sampai di depan kelasnya. Dia membuka pintu kelas perlahan-lahan. Tapi yang menyambutnya adalah bisikan dan tawa kecil dari seluruh kelasnya. Dia menengok bangku guru tapi enggak ngeliat guru.
“Dia ya? Yang pecundang kesepian itu,” bisik salah satu temen kelas Arpa.
Arpa berusaha mengabaikan ejekan temen sekelasnya dan jalan ke bangkunya. Tapi walaupun begitu, hatinya tetap hancur.
Saat Arpa ingin duduk di kursinya, tiba-tiba Rian berdiri. Dia mengangkat kedua tangannya. “ini dia! Bintang kelas kita!, Sang pecundang kesepian!” Rian menunjuk Arpa sambil tertawa keras.
Arpa dan Juan tersentak kaget. Bibir Arpa mengencang dan bahunya kaku. Dia mengepalkan tangannya diam-diam. Tapi Arpa lebih memilih diam dan langsung duduk.
Sedangkan Juan, walaupun dia di samping Arpa, dia enggak tau harus ngapain, karena dia memiliki lumayan banyak temen di kelasnya. Jika dia membela Arpa, dia takut di jauhi temen-temennya, tapi dia juga enggak tega ngeliat Arpa.
Lagi dan lagi, Arpa dan Juan yang biasanya selalu bercanda dan tertawa, menjadi hening seketika.
Juan menunduk dan berusaha memalingkan mukanya dari Arpa. “Sorry, Rap, gua enggak tau mau ngapain.” Bisik Juan ke Arpa.
Arpa hanya diam. Dia duduk membungkuk sambil ngusap telapak tangannya. matanya sayu. Arpa benar-benar merasa hancur.
Guru pun datang dan langsung duduk di kursinya, pelajaran berjalan seperti biasa. Guru menjelaskan, murid mencatat. Arpa dan Juan tidak berbicara satu katapun. Arpa, dia di telan kesedihan dan menahan amarahnya. Sedangkan Juan, dia di cabik-cabik rasa bersalahnya.
Jam istirahat pun tiba. Bel berbunyi, murid-murid bergembira, kecuali Arpa.
Rian tiba-tiba berdiri dan langsung nyamperin Arpa. Dia nepuk keras punggung Arpa. “Woi, pecundang kesepian, HAHAHA,” dia tertawa keras sambil megang perutnya.
Arpa menatap tajam Rian. Dia berdiri sambil mengepalkan tangannya. Amarahnya seketika meledak. Dia langsung nonjok Rian.
Rian kaget dan sempoyongan. Arpa nonjok dia lagi, lagi dan lagi, sampe Rian jatuh ke lantai, Arpa masih terus nonjok dia. Rian berusaha nahan tapi enggak bisa.
Kelas yang tadi ramai langsung hening. Semua pandangan murid menuju mereka berdua.
Juan yang ngeliat itu langsung tersentak dan matanya membesar. Dia berusaha nahan tangan Arpa. “Rap, udah Rap!”
Arpa natap tajam Juan. Tapi dia pelan-pelan berhenti. Rian, dia bonyok dan terbaring di lantai. dia tiba-tiba nyengir. “Hehe, kesel banget nih kayaknya.” Rian ngelirik Arpa.
Arpa mengepalkan tangannya lagi dan siap-siap nonjok Rian lagi. Tapi, tiba-tiba ada guru yang membuka pintu dengan keras. “hey! hey! udah! udah!”
Guru itu ngebawa mereka berdua ke ruang guru. Dia menepuk jidatnya. “Aduh kalian ini ya! Baru juga jam istirahat, udah ribut aja,” dia menggelengkan kepalanya.
“Kalian duduk di situ,“ guru itu menatap Arpa. “Jadi, kenapa kamu nonjok Rian sampe bonyok gitu, Arpa?” Arpa menundukkan kepalanya dan hanya diam.
Guru itu menghembuskan napas. Dia ngelirik Rian. “Jadi, gara-gara apa nih Rian?”
Rian memalingkan mukanya sambil ketawa kecil. “Hehe, enggak tau deh.”
Guru itu menggaruk kepalanya sambil maksa ketawa. “Haha, lucu banget kalian berdua ini ya, ya udah kalian saling memaafkan aja dah, pusing saya.”
Arpa mengangkat kepalanya dan mengulurkan tangannya. Dia natap Rian. “Gua… minta maaf, Rian, gua udah berlebihan.”
Rian tersentak dan alisnya terangkat. “H-hah?” Tapi dia tetap berjabat tangan dengan Arpa.
Rian sadar kalau dia salah, tapi dia enggak punya niatan buat minta maaf duluan, karena bagi dia, semua kejadian itu adalah hiburan baginya.
tapi ada satu hal yang dia enggak ngerti, dia bingung kenapa malah Arpa yang minta maaf duluan.
Mungkin kejadian ini, bisa mengubah pandangan Rian nantinya.