Hidup Arabella hancur ketika pamannya tega menjualnya pada Edward Frederick, seorang mafia berkedok Ceo yang terkenal kejam, dingin, dan arogan, hanya demi melunasi hutang akibat kebangkrutan perusahaan.
Dengan kaki kanan yang cacat karena kecelakaan di masa lalu, Arabella tak punya banyak pilihan selain pasrah menerima perlakuan sang suami yang lebih mirip penjara ketimbang pelindung.
Perlahan, keduanya terseret dalam permainan hati, di mana benci dan cinta tipis perbedaannya.
Mampukah Arabella bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Ataukah justru dia yang akan meluluhkan hati seorang Edward Frederick yang sekeras batu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
Malam itu, Ara benar-benar tidak bisa tidur. Rasa sakit di kakinya kembali menyerang, membuatnya meringis sambil memeluk lutut. Nyeri itu terasa menusuk, menjalar hingga ke pinggang, membuat tubuhnya gemetar menahan perih.
Napasnya tersengal-sengal, dan setiap kali ia mencoba menggerakkan kaki, rasa sakit itu seperti disambar listrik.
Ia menutup mulutnya rapat-rapat agar tidak terdengar menangis. Edward belum pulang, dan Ara tak ingin pria itu tahu. Ia tahu betul, Edward benci jika sesuatu merepotkannya.
Bahkan sekadar mengeluh sedikit pun Ara takut dianggap manja. Jadi, ia hanya bisa berbaring diam di ranjang, menahan air mata yang jatuh tanpa suara.
"Sedikit lagi... aku pasti bisa tahan," bisiknya denga suara serak dan nyaris tak terdengar.
Tapi waktu terasa berjalan lambat malam itu. Jam di dinding menunjukkan lewat tengah malam, sementara rasa sakit di kakinya tak juga berkurang. Hingga akhirnya, menjelang subuh, tubuh Ara benar-benar lelah. Ia tertidur dalam posisi meringkuk, dengan pipi masih basah oleh air mata.
Pagi harinya, Ara memaksakan diri bangun lebih awal. Walau tubuhnya terasa lemas, ia tetap turun ke dapur. Ia menyiapkan sarapan seperti biasa, roti panggang, omelet, dan segelas jus jeruk.
Semua ia lakukan dengan pelan dan hati-hati, karena kakinya masih terasa nyeri setiap kali ia menapak.
Martha memperhatikan gerak-gerik Ara dengan tatapan iba.
“Apa Tuan Edward memang sering tidak pulang?” tanya Ara.
Martha berhenti mengaduk kopi sejenak, lalu tersenyum tipis.
“Ya, Nyonya. Biasanya tuan pulang seminggu sekali. Katanya urusan bisnis.”
Ara mengangguk. Ia menatap ke arah meja makan besar yang kini terisi penuh makanan. Semuanya sudah tertata rapi, tapi tanpa siapa pun yang akan menikmatinya.
"Kalau begitu, sebaiknya Nyonya istirahat saja. Saya bisa bereskan semuanya di sini," ujar Martha dengan sopan.
Ara menggeleng pelan. "Tidak apa. Aku hanya… ingin menunggu. Siapa tahu hari ini dia pulang lebih cepat."
Namun, dalam hati kecilnya, Ara tahu itu hanyalah harapan kosong. Edward jarang menepati janji, apalagi yang tak pernah diucapkannya.
Ketika Martha pergi melanjutkan pekerjaannya, keheningan kembali menyelimuti ruangan itu. Ara duduk diam menatap makanan yang mulai dingin. Ia mencoba menggerakkan kakinya sedikit, namun rasa nyeri yang tajam membuatnya meringis.
“Ah...” desahnya lirih sambil menggenggam betisnya. Rasa sakit itu kini lebih parah daripada semalam. Seolah ada jarum-jarum kecil yang menembus tulangnya.
Ia mencoba berdiri, tapi hampir terjatuh. Dengan napas tersengal, ia menatap ke arah pintu.
“Sepertinya aku harus ke dokter,” gumamnya. “Tapi... kalau Edward pulang dan tidak menemukan aku di rumah, apa dia akan marah?”
Keraguan itu membuatnya terpaku beberapa saat. Selalu begitu, antara keinginan untuk menjaga dirinya sendiri dan ketakutan akan kemarahan Edward.
Ara masih ingat bagaimana tatapan tajam pria itu bisa membuatnya kehilangan kata-kata, bahkan untuk menjelaskan hal kecil sekalipun.
Tapi, kali ini rasa sakitnya sudah tak bisa ditahan. Setelah menunggu hingga siang dan tetap tidak ada kabar dari Edward, Ara akhirnya menyerah. Ia mengganti bajunya, mengambil tas kecil, lalu keluar dengan langkah pincang.
Martha yang melihatnya segera menghampiri. “Nyonya, mau ke mana? Wajah Anda pucat sekali!”
Ara tersenyum lemah. “Ke rumah sakit sebentar. Jangan khawatir, aku akan segera kembali.”
Martha tampak ragu, tapi tidak bisa menahan Ara. Ia hanya membantu membukakan pintu dan memperhatikan bagaimana nyonya mudanya berjalan pelan menuju gerbang, lalu masuk ke dalam taksi yang baru berhenti di depan rumah.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Ara bersandar di kursi sambil menatap ke luar jendela. Langit pagi itu tampak mendung, seolah mencerminkan hatinya.
“Semoga aku tidak dimarahi,” bisiknya lirih, mencoba menenangkan diri. “Aku hanya ingin sembuh, meksipun itu tidak mungkin.”
Dokter bilang kalau kaki Ara bisa sembuh asalkan Ara melakukan therap rutin. Hanya saja, Ara tak pernah melakukan saran dokter karena biaya therapinya sangat mahal, sementara Ara tak memiliki uang sebanyak itu.
**
Edward duduk di ruang kerjanya yang penuh dengan tumpukan berkas dan layar monitor menampilkan data transaksi bisnisnya. Namun pikirannya sama sekali tidak fokus.
Sesekali, matanya melirik ke arah ponsel di meja, menunggu notifikasi yang tak kunjung muncul. Ara sama sekali tidak menghubunginya.
Biasanya, wanita itu akan sekadar menanyakan apakah ia sudah makan atau belum. Tapi kali ini, hening.
Edward mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, merasa gelisah tanpa alasan yang jelas.
“Tuan, apakah Anda butuh sesuatu?” tanya Bobby, yang baru masuk sambil membawa map berisi laporan pengiriman barang.
Edward mengangkat kepalanya, tatapannya tajam namun kosong.
“Periksa CCTV mansion,” ucapnya datar. “Aku ingin tahu apa yang istriku lakukan.”
Bobby terdiam sejenak, hampir tidak percaya dengan kata yang baru saja keluar dari mulut bosnya.
“Istri?” Bobby tersenyum lebar, mencoba menyembunyikan rasa terkejutnya. “Akhirnya Tuan Edward mengakuinya juga.”
Tatapan Edward menajam. “Jangan banyak bicara. Lakukan saja.”
Bobby terkekeh kecil, namun segera menuruti perintah itu. Ia mengetik cepat di laptop, mengakses sistem keamanan rumah Edward.
Tak butuh waktu lama hingga wajah Ara muncul di layar berjalan dengan langkah pelan menuju gerbang rumah sambil menahan sakit di kakinya.
“Tuan… Nyonya pergi sendirian,” lapor Bobby dengan hati-hati.
Darah Edward mendidih seketika. Rahangnya mengeras, jemarinya mengepal di atas meja.
“Martha juga baru saja mengirim pesan, atanya Nyonya ingin ke rumah sakit,” lanjut Bobby.
“Kenapa dia tidak memberitahuku?” gumamnya pelan menahan emosi.
Bobby hanya diam, tak berani menimpali. Ia tahu, di balik ketenangan Edward yang menakutkan itu, ada sesuatu yang baru tumbuh, rasa cemas yang hanya muncul karena satu wanita bernama Ara.
pernah lihat film ga Thor
si detektif kecil kayak Conan 😄😄😄..
badannya aja yg pitik ga sama isi kepala nya,,
dari pada uncle mu yg 1/2 ons
aihhh mau ngapain merek apa Edward mau ngetes lolipop nya Sam Jul Jul