Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.
Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.
Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.
Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Darah di Lantai Penjara
Prajurit itu menggigil hebat, napasnya terengah-engah seperti baru lari maraton, suaranya parau dan nyaris pecah. "Faris, Yang Mulia. Dia… dia sudah bangun! Dia kirim pesan dari penjara istana Anda."
Yasmeen tidak menunjukkan reaksi apa pun. Tubuh mungilnya, yang duduk sangat tegak di singgasana Emirah, hanya membeku kaku. Itu keheningan yang seribu kali lebih menakutkan daripada amukan badai. Khalī Tariq di sampingnya bergerak resah, mengambil napas berat yang terdengar seperti janji buruk akan datangnya masalah besar.
"Faris itu... kondisinya masih kritis, Sayyidah," ujar Tariq, suaranya tercekat oleh penyesalan yang pahit. Ia mencoba membela diri. "Saya sudah tempatkan dua pengawal terbaik, dia terikat, bahkan belum boleh dikasih obat supaya dia nggak bisa komunikasi! Saya yakin dia nggak mungkin..."
Yasmeen perlahan menutup gulungan perkamen di tangannya. Ujung jarinya menekan tinta kering Faris—surat itu adalah pengkhianatan yang direncanakan dengan matang, menuduhnya sebagai penguasa yang sengaja memancing konflik berdarah dengan Kabilah Al-Jarrah.
"Prajurit Al-Jarrah," panggil Yasmeen, nadanya datar tapi dingin menusuk. Mata madunya kini berubah menjadi amber yang keras. "Kau bilang ada kurir. Berapa banyak yang berhasil kau tangkap?"
"Hanya satu, Yang Mulia. Dia sudah kami tahan. Kami menyita perkamen itu darinya sebelum ia sempat menyeberangi pos perbatasan selatan menuju rute Kota Agung."
Yasmeen menoleh ke Tariq, pandangannya tajam menginterogasi. "Itu artinya Zahir, atau lebih tepatnya Faris, hanya mengirim satu kurir. Mengingat kecepatan kurir istana menuju Kota Agung, paling lama butuh tiga hari. Sekarang kita sudah di Hari Ketujuh sejak ultimatum Hazarah. Kita punya waktu empat hari sebelum Syekh Al-Jarrah tiba di Hari Kesebelas. Surat ini pasti dimaksudkan agar sampai di Kota Agung dan kembali jadi ancaman di tangan Permaisuri Hazarah. Dia ingin kita terlihat mengkhianati kabilah."
"Syekh Abdulkarim Al-Jarrah tidak akan pernah mengkhianati darah Nayyirah," sela Tariq bersikeras, meskipun nadanya sudah mulai goyah. Ia bertanggung jawab atas keamanan internal, dan ia merasa dirinya sudah gagal total. Kegagalan ini, ia tahu, bisa memicu invasi militer Kesultanan karena Kabilah Al-Jarrah adalah garis pertahanan terakhir Nayyirah.
"Loyalitas adalah satu hal, Khalī Tariq. Akal sehat adalah hal lain. Kalau Syekh tahu aku sedang memancing konflik bersenjata yang tidak perlu, dia mungkin akan mempertimbangkan ulang kesetiaannya," balas Yasmeen tajam. "Kurir itu harus dibungkam. Faris harus dibungkam. Dan kita harus cari tahu siapa Tangan yang menulis dan membawa surat itu keluar dari penjara istana."
Yasmeen bangkit, kaki kecilnya membawanya ke jendela. "Tariq, Faris itu tidak bisa menulis sendiri, apalagi jalan. Jadi, ada orang di dalam penjara yang bekerja untuk Zahir, yang berani mengambil risiko mengirim surat ke luar. Seseorang yang bisa bergerak tanpa dicurigai."
Tariq mengerutkan kening, dahinya berkerut dalam. "Siapa yang bertanggung jawab atas kesehatan Faris, Yang Mulia?"
"Dr. Hafiz. Dia mengirim seorang pembantunya yang bertugas mengganti perban dan memberikan cairan nutrisi," jawab Tariq.
"Nama pembantu itu?"
"Ashraf, Yang Mulia. Seorang pemuda yang terkenal tenang, selalu ikut Dr. Hafiz ke mana-mana."
"Pembantu Dr. Hafiz... Dokter kita adalah pria terhormat, dan Ashraf pasti tidak akan dicurigai. Sempurna," bisik Yasmeen, matanya menyipit. "Suruh pengawalmu amankan Ashraf sekarang juga. Jangan sampai ada kegaduhan, bawa dia ke ruang arsip utara. Dia tidak boleh tahu bahwa kita sudah tahu dia adalah Tangannya Zahir."
Tariq mengangguk cepat dan bergegas menuju pintu. Ketika ia kembali, ia berbicara tentang urgensi lain.
"Sayyidah, Faris sekarang benar-benar kosong. Bahkan jika Ashraf tertangkap, kita masih punya masalah keamanan di seluruh istana. Kami belum menyingkirkan semua orang yang loyal pada Zahir. Kita harus memutus jaringan ini segera. Ada pelayan lama di dapur yang terang-terangan bilang dia lebih senang Zahir kembali memimpin."
Yasmeen merasakan hawa dingin menjalar di punggungnya. Ia lupa bahwa perang politik paling kotor sering terjadi di balik tirai dapur dan koridor tersembunyi. Aku adalah penguasa Nayyirah, tapi aku tidak bisa mengendalikan pisau di dapurku sendiri.
"Tariq," suara Yasmeen rendah, berbisik seperti angin gurun di malam hari. "Kita hanya punya empat hari sebelum Al-Jarrah datang. Kita harus menutup celah itu, menutupnya rapat-rapat. Mulai malam ini, Nayyirah akan jadi istana yang berdaulat, yang menolak infiltrasi sekecil apa pun."
"Perintah Anda, Sayyidah?"
"Aku perintahkan kuncian total," kata Yasmeen tegas. "Segel seluruh Istana Emir. Mulai malam ini, hanya petugas yang disahkan yang boleh keluar. Siapa pun yang mencoba masuk tanpa lambang Nayyirah, tembak. Semua makanan harus dimasak di hadapan Umm Shalimah, di ruang masak pribadiku, bukan di dapur utama. Tutup gerbang kota luar. Beri tahu Wazir Khalid bahwa ini perintah keamanan darurat demi menyelamatkan Emirat dari penyusup."
Tariq tampak terkejut, matanya membesar. "Menutup gerbang? Sayyidah, ini adalah deklarasi ketidakpercayaan total terhadap Kota Agung. Permaisuri Hazarah akan menganggap ini sebagai provokasi!"
"Biarkan saja. Aku tidak peduli," tukas Yasmeen, sama sekali tidak gentar. "Surat Faris sudah mencapai mereka, atau akan segera tiba. Mereka akan mengirim Harith lebih cepat. Aku tidak punya waktu untuk negosiasi."
Yasmeen mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya penuh bahaya. "Kalau Harith datang ke Istana Nayyirah, aku ingin dia datang ke tempat yang terkunci rapat, berdarah dingin, dan penuh pasukan bersenjata. Dia tidak boleh menganggap Nayyirah sebagai domba, melainkan sebagai Elang yang terluka yang siap mencabik-cabik dirinya sendiri."
Tariq menarik napas dalam-dalam. Tindakan ini, ia tahu, adalah pertaruhan hidup dan mati. "Saya akan kerahkan Pengawal segera. Bagaimana dengan Ashraf? Apa yang harus kami lakukan dengannya?"
"Ashraf... harus memberi tahu kita semua tentang jaringannya. Tidak peduli betapa menyakitkannya proses itu," ujar Yasmeen, tanpa sedikit pun keraguan. "Tariq, aku harus melihat matanya. Bawa Ashraf kepadaku di sini, setelah kau menyelesaikan penguncian."
Tariq bergegas ke pintu. Tiba-tiba, langkah kakinya terhenti oleh teriakan yang sangat tajam dan melengking dari dekat Sayap Timur, tempat Faris ditahan.
"Ada apa itu?" tanya Yasmeen, ketegangannya langsung melonjak.
Tariq segera membuka pintu dan mendapati salah satu pengawal yang ia utus tadi berlari panik, seragamnya kotor oleh darah. Ia jatuh berlutut di ambang pintu, kehabisan napas.
"Yang Mulia! Kami... kami tidak menemukan Ashraf. Dr. Hafiz bilang dia sedang bertugas di sel Faris. Tapi, ketika kami sampai di penjara..." Prajurit itu tersengal-sengal, sulit bernapas.
"Cepat katakan!" tuntut Tariq.
"Penjaga Faris yang bertugas sudah tewas! Tenggorokan mereka tergorok! Dan Faris..."
Dunia Yasmeen runtuh menjadi serpihan. Jika Faris kabur, seluruh Nayyirah akan terbakar. Faris adalah saksi mata, mata yang hidup yang tahu segalanya!
Yasmeen meraih kerah baju prajurit itu, tangannya gemetar. "Di mana Faris?!"
Prajurit itu menatap matanya, ngeri, sebelum akhirnya mampu berbisik:
"Faris... masih ada di sana, Yang Mulia. Dia... dia juga sudah tewas. Tapi tidak ada yang menyentuhnya! Ashraf bunuh diri setelah membunuh dua penjaga itu!"
Keheningan kembali menusuk, lebih tajam dari pisau. Yasmeen menjatuhkan tangannya dari kerah prajurit itu, dan menoleh ke Tariq. Mereka tidak bunuh diri. Mereka dibunuh. Dibunuh agar Faris tidak bisa bicara, dan agar Ashraf tidak bisa diinterogasi. Zahir punya tangan lain di istana, tangan yang begitu kuat dan dingin sehingga ia rela membunuh dirinya sendiri demi melindungi jaringan yang lebih besar.
"Ashraf tewas?" ulang Yasmeen, giginya menggertak. "Dia menusuk lehernya sendiri di sel Faris?"
"Iya, Sayyidah."
"Aku ingin istana ini disegel. Sekarang juga, Khalī Tariq. Jangan biarkan siapa pun masuk atau keluar. Kita sedang dikelilingi oleh serigala. Cari tahu siapa yang bisa bergerak secepat itu. Siapa pembunuh bayaran di istana ini?"
Tariq bergegas ke pintu, suaranya mengaum memerintahkan penutupan total istana.
Yasmeen berjalan kembali ke mejanya, jantungnya berdetak kencang, memukul-mukul rusuknya. Ia tidak lagi bertarung melawan Zahir yang tamak, tapi melawan hantu yang terlatih dan tidak terlihat. Ia harus bergerak lebih dulu, sebelum Zahir melancarkan serangan berikutnya.
Ia mencelupkan pena dan mulai menulis di perkamen baru. Kaligrafi tegas sang Emirah menujukan surat itu langsung kepada Emir Harith. Itu bukanlah permintaan, tetapi ultimatum yang memancing. Ia menulis tentang kekacauan ekonomi yang ia warisi, memohon agar pernikahan ditunda untuk memusatkan energi Nayyirah pada stabilitas. Namun, di tengah surat itu, Yasmeen menambahkan sebuah paragraf sunyi, sebuah kalimat yang merupakan duri logam yang hanya dapat dipahami oleh orang yang haus kekuasaan seperti Harith:
"Aku yakin, Yang Mulia Emir Harith, bahwa aset di sini, meskipun kecil, harus dikelola dengan tangan yang dingin. Aku juga mendengar tentang kegelisahan Ayahmu, Sultan yang terhormat."
Ia meremas surat itu dengan satu tangan, memastikan kalimatnya benar-benar kering. Kekacauan itu milikku. Sekarang Harith akan datang ke rumah ini, tapi untuk membicarakan suksesi di Kota Agung, bukan mahar di Nayyirah.
Tiba-tiba, suara benturan keras dari lorong di luar membuat Yasmeen terperanjat kaget. Pintu kamarnya didobrak terbuka. Itu bukan Tariq.
Yang berdiri di ambang pintu, dikelilingi oleh pengawal Istana yang menahan tubuhnya dengan kasar, adalah Mehra. Wajahnya pucat pasi, dipenuhi air mata, pakaiannya kusut. Entah bagaimana, dalam pengasingannya, dia berhasil menyelinap kembali.
"YASMEEN!" teriak Mehra, membebaskan diri dari pengawal dan berlari masuk. Dia jatuh tersungkur berlutut. "Mereka bilang Zain sakit! Dia sangat lemah dan demam tinggi, persis seperti Ruqayyah tempo hari! Tapi pengawal di perbatasan nggak mengizinkan kami kembali! Aku tahu kau bisa membantunya! Aku tahu kau..."
Yasmeen menatap ibu tirinya dengan mata kosong. "Aku sudah melarang semua orang meninggalkan istana. Kenapa Nyonya kembali?!" tuntut Yasmeen, suaranya sedingin es.
Mehra merangkak maju, memohon putus asa. "Demi putraku! Tolong aku! Berikan obat dari Dr. Hafiz, tolong! Atau izinkan kami menyeberang ke perbatasan yang lebih bersahabat..."
Mehra mengangkat wajahnya, berharap melihat secercah belas kasihan, tetapi yang ia lihat hanyalah kekosongan dingin seorang penguasa.
Yasmeen memerintahkan Tariq yang baru saja kembali ke lorong. "Khalī Tariq, kembalikan Nyonya Mehra ke pengasingannya. Sekarang."
"TIDAK!" teriak Mehra, histeris, saat pengawal Tariq menangkap lengannya. Dia melawan, membiarkan kebencian yang mendalam terpancar dari matanya.
"Dia bilang padaku dia sudah atur segalanya! Dia punya sekutu di Istana, orang yang jauh lebih berkuasa dariku atau Faris! Sekutu itu..."
Mehra ditarik dengan paksa ke ambang pintu. Yasmeen tidak berkedip, tetapi otaknya bekerja sangat keras.
"Siapa? Siapa yang membantunya di pengasingan?" desak Yasmeen, menunjukkan celah kecil dalam kontrolnya yang mutlak.
Mehra berteriak dari lorong, suaranya penuh rasa putus asa karena gagal menyelamatkan putranya, tetapi akhirnya mengungkap kebenaran yang ditunggu Yasmeen.
"Itu adalah... orang dari klan Al-Muntasir yang dijanjikan Zahir untuk tambang perak di selatan! Mereka membantu kami melarikan diri! Mereka... mereka akan datang!"